Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Roesdi dan Misnem: Versi Sunda Ot en Sien

Khazanah sastra anak Sunda modern pernah memiliki buku bacaan anak yang legendaris: Roesdi djeung Misnem.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG bocah lelaki duduk sambil melipat kedua kaki ke belakang. Tangan kanannya menopang, sementara tangan kirinya menjepit sebatang rokok lintingan besar. Asap mengepul keluar dari mulut anak bernama Ujang Roesdi itu. Kepala seekor kambing jantan yang menyembul di belakangnya seakan-akan menemani. Gambar itu ilustrasi dari cerita berjudul “Mabok”.

Alkisah, suatu hari Roesdi diam-diam mengambil tembakau dan daun enau (kawung) dari dompet ayahnya yang tergeletak di atas meja. Ia melinting dan mengisapnya sambil bersembunyi di dekat kandang kambing. Setelah beberapa kali isapan, kepalanya pening lalu ia muntah-muntah.

Citraan tersebut mencuri perhatian di antara ilustrasi lain yang tersebar dalam buku bacaan anak berjudul Roesdi djeung Misnem. Buku berjilid empat seri itu tergolong populer pada zamannya. Sastrawan Ajip Rosidi, 81 tahun, lewat tulisannya pada 1957 mengaku menyukai cerita buku itu semasa kecil. Budayawan Sunda, Wawan “Hawe” Setiawan, secara khusus mengkaji buku tersebut sebagai bahan tesisnya di program studi seni rupa Institut Teknologi Bandung pada 2008.

Risetnya tentang aspek ikonografis ilustrasi itu kemudian dibukukan dengan judul Bocah Sunda di Mata Belanda terbitan 2019. Telaahnya berangkat dari perkembangan kesusastraan Sunda modern yang diwarnai pengaruh kolonial Belanda. Bagi sebagian orang yang pernah membacanya saat kecil, buku itu tergolong legenda. “Itu buku fiksi,” kata Hawe saat mendiskusikan bukunya di Aula Pikiran Rakyat, Bandung, Jumat, 5 April lalu.

Buku Roesdi djeung Misnem terbit di Den Haag, Belanda, pada 1911. Judul awalnya Boekoe Batjaan pikeun Moerid-moerid di Sakola Soenda atau Buku Bacaan untuk Murid-murid di Sekolah Sunda. Penulisnya Antonie Cornelis Deenik (1879-1929) dan Raden Kanduruan Djajadiredja (1882-1942). Ilustrasinya, yang total berjumlah 158 gambar, buatan W.K. de Bruin (1871-1945). Buku itu salah satu yang beredar sebagai bacaan di sekolah rakyat di Jawa Barat.

Roesdi Djeung Misnem

Buku bacaan ini dan beberapa judul lain pada masa itu diterbitkan terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial membuka sekolah bagi anak pribumi. Dari semula hanya menampung siswa dari keluarga elite, sekolah kemudian menerima beragam kalangan. Selain buku ajar, kitab bacaan disebarkan. Tujuannya, seperti termaktub dalam pengantar buku Roesdi, antara lain murid menjadi lancar membaca dan menambah pengetahuan umum. Khusus untuk sekolah pribumi lokal, menurut Hawe, bahasa pengantarnya adalah Sunda.

Pada setiap jilidnya, buku Roesdi djeung Misnem mengisahkan keseharian kakak-adik itu. Roesdi berusia tujuh tahun dan bersekolah, sementara Misnem masih lima tahun. Pengembangan ceritanya terkait dengan aspek sosial, adat, budaya, dan rekaman peristiwa lain pada zaman penjajahan. “Buku ini merupakan versi Sunda dari Ot en Sien,” ujar Hawe. Buku Ot en Sien merupakan buku bacaan anak populer di Belanda pada awal abad ke-20. Isinya bercerita tentang keseharian dua anak, Ot dan Sien, di sekitar rumah mereka.

Menurut Hawe, citraan pada buku Roesdi bercorak realistis. Figur, rumah, alam, dan kegiatan masyarakat digambar senyata mungkin walau terbuka kemungkinan ada yang hasil imajinasi. Hawe menilai ilustrasi De Bruin menyiratkan adanya observasi etnografis untuk memperjelas maksud teks. Idiom visual lain mengangkat simbol dari wayang kulit dan motif batik.

Kajian ikonografis Hawe lebih memperhatikan isi gambar daripada bentuk. Mengutip pengertian dari ahli sejarah seni berkebangsaan Jerman, Erwin Panofsky (1862-1968), ikonografi merupakan cabang sejarah seni yang memusatkan perhatiannya pada isi atau makna karya seni yang dibedakan dari bentuknya.

Hawe mengambil beberapa sisi yang dianggap mewakili motif dan keberagaman makna gambar pada buku Roesdi, soal sosok dan penampilan Roesdi serta Misnem sebagai tokoh sentral. Roesdi punya nama alias Ujang Gembru karena perutnya besar. Ilustrasi memperjelas gambaran sosoknya yang samar pada teks. Tubuhnya pendek dan gemuk, kulitnya gelap. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Ia mengenakan ikat kepala, pakaiannya robek dan tidak dikancingkan.

Adapun ilustrasi Misnem, Hawe melanjutkan, kurang senada dengan teks. Misalnya baju dan kainnya rapi tanpa sobekan. Kesan rakus seperti kakaknya pun sirna pada gambar. Di luar naskah, ilustrator De Bruin antara lain menggambarkan Roesdi memegang pisang. Hawe mengaitkan gambar itu dengan pandangan sebagian orang Eropa yang menyamakan manusia pribumi jajahan dengan monyet atau sejenisnya. Hawe antara lain merujuk pada buku Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1924 karya ahli sejarah Frances Gouda.

Hal lain yang disorot Hawe pada gambar buku itu adalah keseharian Roesdi dan Misnem, lingkungan sosial dan fisiknya, serta adat istiadat atau kebiasaan masyarakat sekitar. Gambaran kehidupan pribumi dengan alam liar, termasuk anak-anak, menjadi cerita yang menonjol pada buku bacaan ini.

Sebagaimana foto-foto kartu pos buatan kolonial yang memakai model warga pribumi, ilustrasi sebagai karya seni yang dipakai pada buku akhirnya turut dicetak. Hawe menempatkan ilustrasi De Bruin dalam kerangka serupa. Ada realitas semu pada citraan karya kolonialisme mengenai kehidupan dan keseharian warga di sebuah koloni. “Pabrikasi (citra) itu disebut sebagai kolonialisme visual,” tutur Hawe.

Karya ilustrasi De Bruin tersebar dalam banyak buku berbahasa Belanda, juga Sunda, Jawa, dan Madura. Di antaranya dalam De Wereld in! karya Jan Ligthart dan Hendricus Scheepstra serta Panggelar-Boedi karangan W. Keizer. Teknik ilustrasinya memakai cat air atau gambar hitam-putih dengan pulpen. Sebagian besar ilustrasi De Bruin berupa gambar yang dibuat dengan pulpen atau sangat mungkin merupakan etsa.

Meskipun De Bruin dinilai piawai membuat ilustrasi, khususnya tentang Hindia Belanda, sejauh ini belum diperoleh riwayat kedatangannya ke negeri yang digambarnya. Ilustrator kelahiran Den Haag, 14 Desember 1871, itu besar, bekerja, dan wafat di kota kelahirannya. Lantas dari mana pengetahuan obyek gambarnya bisa seperti kondisi nyata di lokasi?

Menurut Hawe, mengutip tulisan Margreet van Wijk-Sluyterman, De Bruin mengandalkan aneka buku dan pelat gambar tentang suasana Hindia Belanda. Dalam proses pembuatan buku lain, yaitu Panggelar-Boedi edisi bahasa Jawa terbitan 1934, anak perempuannya rutin mengirimkan foto dan gambar yang diminta De Bruin dari Hindia Belanda. Dugaan lain, dalam pembuatan ilustrasi buku Roesdi djeung Misnem, informasi suasana lokal dipasok dari kedua penulisnya. Djajadiredja, misalnya, selain produktif menulis buku cerita anak berbahasa Sunda, Hawe menjelaskan, adalah guru gambar dengan sebutan “Eyang Gambar” dalam keluarganya.

Pengkaji sastra Sunda, Atep Kurnia, menyebutkan ilustrasi karya De Bruin juga menghiasi beberapa buku Sunda lain. Atep menemukan empat buku Sunda yang memiliki ilustrasi De Bruin. Salah satunya Pěpětetan (kapoengkoer, ngaranna boekoe batjaan): roepa-roepa tjarita, batjaeun moerid-moerid kělas doea di sakola Soenda yang tanpa nama penulis dan tanpa tahun. Kemudian Panggělar Boedi: boekoe batjaan pikeun moerid-2 di sakola Soenda; Kadjajaan, pikeun batjaan moerid sakola Soenda; dan Braj Beurang: Boekoe Batjaan (1921). “Semua buku itu, termasuk buku Roesdi, mula-mula diterbitkan di Rijswik, Belanda, oleh penerbit Blankwaardt & Schoonhoven,” ujar Atep.

Ilustrator lain yang menghiasi buku bacaan Sunda adalah C. Jetses dan M.A. Koekkoek. Keduanya memberi ilustrasi pada buku Di Padesan (1926). Buku yang tampaknya diterjemahkan dari In en om de desa: leesboekje over menschen, dieren en plantenvoor de Indischescholen (1926) ini pun mulanya diterbitkan di Belanda, oleh penerbit J.B. Wolters, sebelum dicetak lagi di Weltevreden (sekarang Menteng, Jakarta).

Menurut Atep, banyaknya buku bacaan berbahasa Sunda untuk siswa sekolah dasar bumiputra itu disebabkan oleh munculnya permintaan atau peluang pasar yang sangat besar akibat perluasan pendidikan bagi kalangan penduduk pribumi. Bahkan penerbit partikelir yang jauh di Belanda turut menerbitkan buku bacaan anak sekolah berbahasa Sunda. “Juga pihak swasta di tanah jajahan yang ikut ambil bagian dalam penyediaan bahan bacaan tersebut,” kata Atep.

ANWAR SISWADI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus