Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Dermawan T.*
Pada suatu hari, 58 tahun lalu, Lee Man Fong atau LMF, yang bermukim di Jakarta, menulis surat kepada Chan Ling Siong di Surabaya. Surat yang dilayangkan ke NV Perusahaan Dagang Wisnu, Jalan Sarkara 4, itu berisi pemenuhan permintaan Chan, yang ingin dikirimi foto lukisan ciptaan LMF terbaru. Menyertai sembilan foto hitam-putih yang terbikin sangat profesional, LMF menulis surat demikian ini.
Engko Ling Siong jang baik.
Engko punja surat saja baru terima waktu saja pulang dari Djawa Tengah, untuk mana saja utjapkan banjak terima kasih.
Mengenai itu foto2, bersama ini saja kirimkan sebagian dan jang lain nanti saja kirim lain kali. Dan dengan ini saja minta supaja Engko suka bikinkan dari Engko punja collectie gambar2 jang mana ada gambar saja tulung bikin photo-colour tiap2 gambar dua photo. Berapa ongkosnja harap Engko perhitungkan dan nanti saja bajar kemudian.
Pada tanggal 28 bulan ini perkumpulan kami (JIN HOA) akan mengadakan pameran di Hotel des Indes–Djakarta. Kalau Engko ada waktu saja akan senang sekali apabila Engko bisa datang ke Djakarta untuk menjaksikannja. Sekianlah.
Surat bertanggal 20 September 1957 itu, plus amplop dan foto-fotonya, terus disimpan Chan Ling Siong, yang kemudian dikenal dengan nama Raka Sumichan, kolektor besar lukisan Affandi. Sebelum wafat, Raka mewariskan surat itu kepada putranya, Sardjana Sumichan, yang juga kolektor. Kenapa paket surat itu disimpan cermat?
"Kata ayah saya, surat itu menunjukkan profesionalisme Man Fong sebagai pelukis. Pada masa itu, hanya segelintir pelukis yang mau dan mampu melakukannya," tutur Sardjana.
Profesionalisme LMF memang bisa diraba di banyak sisi surat itu. Apa yang diperkatakan diketik dengan rapi dan ditulis dengan bahasa yang relatif baik. Foto-foto yang dikirim dibikin di studio foto-reklame Tati, milik familinya, Lee Man Siong. Isi surat itu menunjukkan kesetaraan pelukis dan kolektornya, yang bisa saling minta tulung tanpa utang budi. Menurut sinolog C.M. Hsu, surat seperti itu sering ada tinÂdasannya, yang termaktub di kertas tipis dengan tinta karbon. LMF perlu mengarsipkannya karena isi surat biasanya akan berkelanjutan dengan pembicaraan harga.
Namun, dalam wacana seni rupa Indonesia 1950-an yang diwarnai ketegangan ideologi seni, profesionalitas gaya LMF ini dikonotasikan sebagai komersialisme. Surat LMF seperti di atas dianggap sebagai modus jual-beli di tengah deru paradigma "seni sebagai seni" atau "seni sebagai alat politik". Dengan begitu, sikap kesenian LMF tampak terjepit dan diposisikan sebagai fenomena yang pantas diabaikan oleh sejarah seni pada zamannya.
LMF tentulah tidak peduli terhadap kenyataan itu. Tapi LMF menyadari sepenuhnya bahwa dia adalah seniman "cipta niaga", sehingga roda kesenimanannya harus menggelinding di atas prinsip kreasi, produksi, dan distribusi. Bila hari sekarang adalah penciptaan, hari berikut bisa jadi penjualan. Kritikus Kusnadi, yang pernah jadi mediator penjualan lukisan LMF, menyebut sikap itu sebagai khas karakter pelukis Cindo (Cina Indonesia), yang memang memiliki naluri berjualan dari sono-nya. Namun LMF sendiri pernah mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan justru meniru profesionalisme para perupa Eropa, ketika ia belajar seni di Amsterdam selama 1949-1952 atas sponsor Malino Scholarship.
Tapi, bahwa LMF adalah perupa yang sangat cerdik mengÂekonomikan kemampuannya, itu bisa dibaca lewat manaÂjemen dan cara kerjanya. Sesosok figur, misalnya, ia tangkap dengan pensilnya, sehingga dihasilkanlah selembar sketsa. Sketsa ini dipakai sebagai contoh untuk menciptakan drawing di kerÂtas lain, dengan menggunakan bahan pensil arang atau charcoal. Gambar pensil arang ini lalu dipakai sebagai panduan melukis dengan medium pastel. Setelah selesai, lukisan pastel itu dicontoh untuk menggubah lukisan cat air. Dan lukisÂan cat air itu ia gunakan untuk melahirkan lukisan cat minyak.
Lukisan cat minyak ini bisa ia kerjakan di harbot (hardÂboard) dengan gaya Western-Chinese painting, dan di kanvas dengan gaya Western painting. Di kala lain, ia menggubah obyek itu ke dalam seni grafis cungkil harbot atau kayu. Dalam setahun, ia bisa melukis puluhan figur. Di kemudian hari, figur yang ia lukis satu per satu dengan pose berbeda-beda itu dikompilasikan dalam kanvas besar, sehingga jadi lukisan grup figur, seperti yang diwujudkan dalam lukisan Bali Life.
Dengan begitu, satu obyek LMF menghasilkan delapan macam seni rupa, yakni karya sketsa, drawing pensil arang, lukisan pastel, lukisan cat air, lukisan cat minyak di harbot, lukisan cat minyak di kanvas, lukisan grup atau kolosal, dan seni grafis. Dan ia tahu betul bahwa semua jenis karya itu bisa ia jual. Sejarah kemudian menulis, sejak 1990-an, karya sketsa dan drawing-nya yang berukuran A3 diperebutkan dengan harga belasan sampai puluhan juta rupiah per lembar. Lukisan cat air dan pastelnya terjual puluhan sampai ratusan juta rupiah. Dalam berbagai lelang internasional, lukisan cat minyak LMF yang berukuran sekitar dua depa terjual sampai Rp 15 miliar.
Atas sikap kesenian itu, sejarah seni rupa Indonesia lantas lengah dalam memperhatikan kehebatan pelukis kelahiran Guangzhou, Cina, 14 November 1913, ini. Padahal peneliti seni rupa asal Belanda, J. de Loos-Haaxman, dalam kitabnya Verlaat Rapport Indie, telah menegaskan kehadiran nama LMF dalam jajaran pelukis yang terpandang pada 1930-1938. Di sini nama LMF disejajarkan dengan S. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Frida Holleman, Isaac Israel, M. Vervoort, dan lain-lain.
LMF memang pelukis yang terus bergerak ke depan dalam kediaman dan ketenangan. "Karena saya ber-shio kerbau, keturunan bison," katanya. Pada 1955, ia mendirikan Yin Hua, organisasi pelukis Tionghoa, di kawasan Prinsen Park (kini Lokasari), Mangga Besar, Jakarta. Kesanggupannya dalam mengelola perkumpulan, dan tentu keterampilannya dalam mengolah keindahan yang khas lewat lukisan, menyebabkan Presiden Sukarno tertarik. Bung Karno lantas mengangkat LMF menjadi Pelukis Istana Presiden pada 1962, menggantikan Dullah, yang pamitan pada 1960.
Namun, baru beberapa bulan berada di Istana, ia sudah tidak kerasan. Kebebasannya terganggu. Meski tidak kerasan, LMF tetap lekat dengan Istana, sehingga pada 1964 menghasilkan buku monumental Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno, dalam lima jilid.
Tragedi politik Gerakan 30 September 1965 meletus. Bencana politik itu dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sementara PKI diketahui membina hubungan dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Di titik ini, LMF kena. Sebagai seniman Cindo, ia dicurigai memiliki kedekatan dengan politik Cina. Pilihan Bung Karno atas LMF dicurigai karena faktor diplomasi politik-seni dengan RRC. Kedekatan LMF dengan Bung Karno disimpulkan menjadi: "LMF Sukarnois!" LMF tentu saja ngeri. Ia pun lari ke Singapura. Seperti dugaannya, di Negeri Singa, ia diterima dengan tangan terbuka. Ia difasilitasi, dilindungi, diposisikan terhormat, sekaligus ditokohkan. Namun, sejauh itu, LMF tetap menyatakan diri sebagai pelukis Indonesia.
Setelah sekitar 20 tahun seni rupa Indonesia (berusaha) melupakannya, pada 1987 nama LMF kembali diingat oleh publik seni rupa Indonesia. Oleh komunitas seni Tionghoa, kedatangannya disebut sebagai "kembalinya si orang hilang". Kebetulan pada kurun itu seni rupa Indonesia sedang berada di atmosfer yang merangsang untuk pengoleksian seni lukis (terjadi "bom seni lukis"). Karya-karya LMF yang beres, manis, perfek, dan menyandang tema familiar segera menjadi komoditas para kolektor. Nama LMF pun tiba-tiba melintas-lintas luar biasa.
Lukisan-lukisannya, yang sangat komunikatif, menjabarkan cerita lewat rupa, bebas dari wacana dan teks, extemÂpore, diperebutkan dengan penuh sukacita oleh para penikmat lukisan. Karya-karya LMF pun menjadi salah satu bendera penting dari pasar. Bahkan termasuk lukisan-lukisan dunia satwanya, yang semula dicipta dengan konsep iseng dan sederhana: merujuk pada 12 shio astrologi Cina. Pada momentum yang menghebohkan ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan terpaksa berkata dalam sebuah pidato:
"Apabila para connoisseur mancanegara sejak lama telah menghargai lukisan Wu Guanzhong, Gustav Klimt, Pablo Picasso, Henri Matisse, atau Andy Warhol, sungguh sudah waktunya para pencinta seni rupa Indonesia menghormati ciptaan-ciptaan Lee Man Fong."
Menurut Fuad, juga menurut para ahli seni di beberapa negara, LMF adalah inspirator pertumbuhan seni di Asia Tenggara. Pengakuan ini terkristal pada 2004, ketika di Singapura diadakan pameran untuk merayakan kebesarannya dalam tajuk "Lee Man Fong: A Pioneer Southeast Asian Artist"—sebuah judul pameran yang menyimpan konotasi tersembunyi.
Penegasan kata "Southeast Asian" disengaja oleh kurator untuk mengeliminasi persoalan pengakuan, pemosisian, dan klaim kewarganegaraan LMF yang beringsut antara Indonesia, Singapura, dan Cina. Memang LMF, yang sudah warga negara Indonesia sejak menjadi Pelukis Istana Presiden Sukarno pada 1962, sering diklaim sebagai pelukis milik Singapura. Bahkan, oleh sejumlah pengamat seni rupa Cina, LMF dimaktubkan sebagai maestro seni lukis post-tradisional Cina abad ke-20. Ia didampingkan dengan nama raksasa Xu Beihong dan Liu Haisu. Di sini terlihat betapa demikian berharga LMF, sehingga kewarganegaraannya "diperebutkan". l
*) Kritikus dan penulis buku seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo