Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peringatan seabad Koentjaraningrat.
Diperingati dengan serangkaian acara.
Dia Bapak Antropologi Indonesia, ilmuwan, sekaligus seniman.
MALAM itu Bentara Budaya di kawasan Palmerah, Jakarta, riuh oleh bunyi gamelan dari pengrawit. Sanggar Suko Reno Sekaring Budhaya menampilkan 13 pengrawit dan 16 penari membawakan cerita wayang orang Bharata berjudul Gatutkaca Kinormatan (Gatutkaca Mendapat Beasiswa). Pentas itu istimewa untuk memperingati seabad Koentjaraningrat, yang dikenal sebagai Bapak Antropologi Indonesia. Pentas dilaksanakan tepat pada hari lahir Pak Koen—demikian Koentjaraningrat akrab dipanggil para mahasiswa dan koleganya—yakni 15 Juni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tempat yang sama, sebuah pameran lukisan dan sketsa karya Koentjaraningrat digelar. Lukisan cat minyak, cat air, pensil warna, krayon, dan tinta cina memenuhi bidang-bidang dinding di Bentara. Obyek lukisan Pak Koen kebanyakan menyorot manusia dan aktivitasnya. Dari lukisan istri, anak, dan cucu tersayang; kolega; sampai kegiatan masyarakat sejumlah suku di Indonesia atau di beberapa negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran Lukisan, Buku, Benda Koleksi Koentjaraningrat di Bentara Budaya Jakarta, 15 Juni 2023. Tempo-Magang/Reyhan
Sementara itu, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia digelar diskusi, seminar, dan peluncuran buku tentang sang guru. Sebagian besar yang hadir adalah mahasiswa Koentjaraningrat yang sudah sepuh. “Seperti homecoming, reunian,” ujar salah seorang hadirin. Mereka mengenang kembali guru yang mereka kagumi. Sebuah buku kumpulan kenangan tentang Koentjaraningrat, Seabad Koentjaraningrat: Persembahan dan Kenangan, diluncurkan di Bentara Budaya, tapi kemudian dibincangkan di kampus asri itu.
Koentjaraningrat lahir di Yogyakarta pada Jumat Pahing, 15 Juni 1923, sebagai keturunan darah biru, buyut Pakualam VI. Dia diperbolehkan mengenyam pendidikan anak-anak Belanda di Europeesche Lagere School dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs karena keturunan bangsawan. Koen muda sering menghabiskan waktu bermain di lingkungan keraton. Di sana ia mendapat pengaruh seni budaya Jawa. Pada waktu senggang saat menempuh ilmu di sekolah menengah atas, Koen yang terbiasa berdisiplin dan mandiri sejak kecil belajar melukis dan menari di Tejakusuman.
Dia kemudian meneruskan sekolah di Algemeene Middelbare School Yogyakarta—sekarang SMA Negeri 3 Yogyakarta, yang dikenal sebagai SMA 3B atau Padmanaba. Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, mahasiswa Koentjaraningrat sekaligus guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat itu Koen banyak berkesenian ketika orang tuanya pindah ke Jakarta. Ia tinggal bersama pamannya, adik ayahnya.
Sebelumnya, Koen dilarang berkesenian oleh ibunya, yang dinilai “berorientasi Belanda”. Dia kemudian masuk ke Universitas Gadjah Mada. Ia mahasiswa angkatan awal di Jurusan Bahasa Indonesia. Koen kemudian pindah ke Jakarta karena sebagian dosen dan mahasiswa UGM ditarik ke sana untuk mengisi universitas yang ditinggalkan Belanda. “Ketika tinggal bersama omnya, Pak Koen lantas bebas berkesenian... nggamel, menari (di Tejakusuman), melukis. Dan Pak Koen kemudian juga menjadi guru tari,” ucap Heddy. Koen muda adalah orang yang berbakat dan konon pernah membuat koreografi tari Jawa baru.
(dari kiri) Guru Besar Universitas Gajah Mada, Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra, Prof Amri Marzali, dan Mulyawan Karim dalam peluncuran dan diskusi buku Koentjaraningrat Bapak Antropologi Indonesia di FIB UI, Depok, Jawa Barat, 15 Juni 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
Namun, menurut istri Koentjaraningrat, Kustiani, Koen hijrah juga mengikuti kedua orang tuanya. “Ayahnya (Raden Mas Emawan Brotokoesoemo) kan mendapat pekerjaan di Jakarta. Beliau ini pindah-pindah pekerjaan,” ucap Stien—panggilan akrab Kustiani. Koentjaraningrat sepertinya mendapat didikan yang tegas, keras, dan berdisiplin dari ibunya, Raden Ajeng Pratities Tirtotenoyo. Menurut Stien, ibu Koen sangat kebelanda-belandaan. Bahkan dalam berkomunikasi pun dia berbahasa Belanda. Tak aneh bila Koentjaraningrat sangat bagus dalam berbahasa Belanda, selain karena pergaulannya dengan teman-teman Belandanya di sekolah. “Kalau tahu belajar menari mungkin dilarang juga sama ibunya.”
Stien mengisahkan, Koen muda kemudian mendapatkan pekerjaan di Museum Nasional. Saat itu tentara Jepang menguasai Indonesia. Khawatir sebagian dokumen dan benda museum rusak, barang-barang itu lalu diputuskan untuk dipindahkan ke Yogyakarta. “Nah, Pak Koen yang disuruh mengawal barang-barang itu. Tapi kemudian dia tidak bisa balik lagi ke Jakarta, komunikasi terputus,” ujarnya. Di masa itulah Koen bergaul dengan para seniman muda, juga belajar melukis. Koen ikut dalam kelompok seniman yang menyuarakan propaganda kemerdekaan. “Pokoknya ikut mencoret-coret kereta api,” kata Stien. Koen juga bersahabat dengan Koesnadi (fotografer) dan Rosihan Anwar (tokoh pers). Ia dikatakan sering menyambangi rumah seorang dokter keturunan Tionghoa untuk membaca, di antaranya disertasi tentang antropologi.
•••
KOENTJARANINGRAT pernah menjadi guru di SMA Boedi Oetomo, Jakarta. Kustiani adalah muridnya. Juga Harsja W. Bachtiar. Ia mengajar sejarah budaya. Metode mengajarnya unik, berbeda dengan guru lain. Stien mengingat, biasanya guru yang lain hanya menerangkan sambil asyik di papan tulis, sedangkan Koentjaraningrat selalu membuat muridnya “bersiaga”, harus siap jika nanti ditunjuk. Biasanya Koentjaraningrat meminta muridnya mengulang pelajaran sepekan sebelumnya. Dia menunjuk murid yang berbaju dengan warna tertentu. Stien mengingat, selama diajar, ia belum pernah ditunjuk untuk mengulang pelajaran yang telah lalu. “Seingat saya tidak pernah ditunjuk. Enggak tahu kenapa,” tutur perempuan sepuh ini.
Profesor Dr Koentjaraningrat berpidato dalam Kongres I Asosiasi Antropologi Indonesia di Puncak, Bogor, Jawa Barat, 1985.
Koentjaraningrat kemudian kuliah di Universitas Indonesia dan menyelesaikan studinya dengan baik. Begitu dia merampungkan kuliah di Jurusan Sastra Asia Timur (1952), Stien masuk ke Fakultas Sastra juga. Tapi Stien tak menyelesaikan studinya, hanya dua semester. Koentjaraningrat keburu melamarnya. Stien mengakui bahwa Koen bukan lelaki yang romantis. Koen datang meminang kepada orang tuanya. Setelah itu, Koen pergi belajar ke Yale University, Amerika Serikat, mengambil jurusan antropologi.
Koen dan Stien kemudian menikah secara jarak jauh. Paman Koen mewakilkan kehadiran keponakannya dengan sebilah keris pada saat pernikahan. Setelah beberapa lama, Stien menyusul ke Amerika. Koen menyelesaikan masternya pada 1956, tapi kemudian ia diminta meneruskan ke tingkat doktor. Dia pun mendapatkan kesempatan kuliah setahun lagi di negara itu dengan beasiswa. Koen lalu kembali ke Tanah Air dan meraih gelar doktor di Universitas Indonesia pada 1958 dengan promotor Profesor Dr E. Allard serta menjadi guru besar antropologi pada 1962.
Pada usia 35 tahun, Koen mendapat tugas dari Dekan Fakultas Sastra Profesor Prijono untuk membangun dan mengembangkan Jurusan Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tugas yang sama ia terima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di berbagai universitas di Indonesia. Heddy Shri Ahimsa-Putra melihat dari sini muncul visi dan misi Koentjaraningrat mengembangkan dasar-dasar antropologi di Indonesia tentang ilmu antropologi, sarjana antropologi, dan pendidikan antropologi. “Beliau memiliki gambaran yang cukup jelas dan apa yang harus ia bangun dan kembangkan. Ini bisa kita lihat di buku Arti Antropologi untuk Indonesia Masa Ini,” tutur Heddy di hadapan hadirin saat bedah buku di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Buku ini, kata dia, perlu dibaca para mahasiswa antropologi Indonesia.
Profesor Koentjaraningrat dalam pengukuhan guru besar Fakultas Sastra UI, Profesor Achdiat Ikram, di aula Fakultas Kedokteran UI di Jakarta, 1985.
Menurut Heddy, antropologi Indonesia perlu memberikan perhatian pada tiga masalah, yaitu pembentukan negara kesatuan dan negara kebangsaan yang demokratis, pembangunan ekonomi dan modernisasi, serta pembentukan persahabatan yang baik di dalam dan luar negeri. Dengan antropologi, kita bisa meneliti dan menganalisis faktor sosial-budaya yang berhubungan untuk pembangunan Indonesia yang baru merdeka. Termasuk di dalamnya menganalisis kehidupan masyarakat di desa, untuk memajukan dan membangun masyarakat. “Karena itu, wajib memiliki pengetahuan aneka warna masyarakat dan kebudayaan di Indonesia dari Sabang sampai mereka,” ujar Heddy sambil mengutip halaman buku Arti Antropologi untuk Indonesia Masa Ini.
Dalam membangun dasar ilmu antropologi, menurut Heddy, Koentjaraningrat mengembangkan pola UI dan pola non-UI. Pola non-UI dibagi menjadi pola universitas serta pola institut keguruan dan ilmu pendidikan atau IKIP. Caranya, dia mendirikan Jurusan Antropologi di UI dan mengembangkan kurikulumnya—mengajar hingga membuka program pascasarjana. Ia meminjam dosen dari jurusan fakultas atau jurusan lain, bahkan dari luar negeri. Lalu dia merekrut mahasiswa menjadi asisten dan dosen baru; menyekolahkan dan mengembangkan bidang kajian baru. Juga dengan metode mencangkokkan mahasiswa.
“Cara Pak Koen salah satunya adalah mencangkokkan mahasiswa dari berbagai universitas lain untuk belajar di UI, bahkan di universitas lain di luar negeri. Saya adalah salah satunya,” ujar Heddy. Koentjaraningrat ternyata sangat menaruh perhatian pada pengajaran antropologi di IKIP. Heddy baru menyadari setelah ia menelaah sejumlah buku. “Ternyata beliau memperhatikan sampai sana. Ia membuat kurikulum untuk para guru, calon pengajar di SMA.” Dalam Memorial Lecture, kolega Koentjaraningrat yang juga seorang profesor dari Australian National University, James Fox, mengenang Koentjaraningrat sebagai sosok yang ulet. “Saya kagum pada ketekunannya belajar,” ucapnya. Fox mengingat sahabatnya sangat bersemangat membangun dasar-dasar antropologi di Indonesia.
Istri Koentjaraningrat, Kustiani Sarwono Prawirohardjo, di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok, 15 Juni 2023.
Sebuah pengalaman yang membekas di pikiran Fox adalah ketika dia diajak dalam sebuah diskusi atau seminar tertutup yang diadakan oleh militer. Di akhir diskusi, kata Fox, Koentjaraningrat mengecam tindakan militer membunuh Arnold Ap, budayawan, antropolog, sekaligus kurator Museum Universitas Cenderawasih, Papua. Menurut dia, pembunuhan itu sebuah tindakan tidak etis dan tidak bermoral. Suraya Afiff, Ketua Umum Asosiasi Antropologi Indonesia, menilai Koentjaraningrat sebenarnya ilmuwan yang kritis. Ia menjalankan sebuah aktivisme, tapi tidak dalam arti melawan negara. Ilmuwan seperti Koentjaraningrat lebih banyak terlibat di masyarakat. “Pak Koen memiliki karakteristik itu. Dia orang Jawa tapi tidak mau mengedepankan kejawaannya,” ujarnya.
Saat itu sistem yang ada tersentral. Koentjaraningrat memilih agak “melipir” karena situasi tak memungkinkan. “Dia hati-hati karena situasi tidak memungkinkan.” Suraya menyebutkan baru mengetahui ternyata Koentjaraningrat ikut mendukung gerakan Reformasi 1998. Dia datang bersama istrinya. Hal itu memperlihatkan cara Koentjaraningrat mengkritik situasi. Suraya juga melihat kekritisan Koentjaraningrat saat terjadi pembunuhan Arnold Ap. Menurut Suraya, saat itu Arnold tengah menggunakan dan mengembangkan kebudayaan Papua, selebrasi kebanggaan Papua. Arnold membangkitkan kebanggaan tersebut. Pada masa itu pemerintah melihat hal tersebut sebagai upaya separatisme. Menurut Koentjaraningrat, seharusnya antropologi bisa mendampingi masyarakat. Dan dia melakukannya melalui pendekatan ilmu dan budaya.
•••
KOENTJARANINGRAT dikenal sebagai pengajar yang baik tapi sangat serius. Cara dia mengajar membuat mahasiswanya harus selalu belajar. Salah satu mahasiswanya mengingat, meskipun baik dan perhatian dalam mengajar, Pak Koen disebut pelit dalam soal nilai. “Saya cuma dapat nilai 7, sedangkan dari Pak Harsja pernah dapat 10,” ujarnya. Ia juga hampir tak pernah melihat dosennya itu tertawa terbahak, paling tersenyum saja. “Pernah suatu ketika ada kegiatan lapangan, ada yang bikin teka-teki, dan Pak Koen tertawa. Baru kali itu beliau tertawa.”
Namun Koentjaraningrat adalah dosen yang sangat memperhatikan mahasiswanya. Dia akan melihat potensi mahasiswanya dan mendorongnya lebih maju. Koentjaraningrat akan mengirimnya belajar meraih jenjang yang lebih tinggi. Jika bertemu dengan kolega ilmuwan dari universitas lain di luar negeri, Pak Koen akan menjalin jaringan untuk kepentingan membangun keilmuan antropologinya. Ia sangat bangga ketika diminta menghadiri promosi salah satu mahasiswanya yang dikirim kuliah ke Leiden, Belanda. Sebuah peristiwa hampir saja membuat Koentjaraningrat batal menghadiri acara promosi doktor mahasiswanya ketika serangan penyakitnya tiba-tiba datang. “Waktu itu badannya kaku seperti robot, matanya tanpa ekspresi,” ujar Kustiani. Ia lalu meminta suaminya berebah, kemudian memijit telapak kakinya, seperti yang diajarkan ahli terapi tradisional dari Purwakarta, Jawa Barat. Beruntunglah kondisi Pak Koen membaik sehingga ia bisa menghadiri acara penting itu.
Koentjaraningrat memang orang yang serius tak hanya di kampus, tapi juga di rumah. Dia selalu berkutat dengan buku dan tulisan. Ia biasanya menulis sepanjang waktu atau menyelingi dengan melukis. Tapi sampai di tempat tidur pun Pak Koen tetap membaca dan menulis. “Seprai kotor oleh tinta karena dia lupa menutup penanya,” ujar Stien. Pak Koen biasanya bangun sekitar pukul 06.00. Dia kemudian membaca dan menikmati kopi tubruk, lalu menyantap sarapan. Ia sering membuat sendiri sarapannya: nasi goreng. Setelah itu, Pak Koen pergi ke kampus. Saat Universitas Indonesia masih berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, ia hanya tinggal berjalan kaki ke kampus. Yang tak pernah ketinggalan, dia selalu meninggalkan daftar yang harus dikerjakan oleh Stien, terutama soal tulisan atau ketikan.
Kustiani memang selalu diminta membantu mencarikan buku atau bahan tulisan dan mengetik apa yang menjadi buah pikiran Koentjaraningrat. Keterampilan mengetik Stien diperoleh sebelum ia masuk kuliah, kursus bersama Pia Alisjahbana. Koen juga memberikan deadline. Stien bangga jika bisa menyelesaikannya, bahkan sebelum waktunya. Dalam berkomunikasi, mereka lebih sering menggunakan bahasa Belanda. Di kompleks perumahan dosen UI di Rawamangun, mereka bertetangga dengan Fuad Hassan dan Nugroho Notosusanto (keduanya pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Saat peristiwa 1965, situasi tak menentu. Menurut Stien, mereka bertiga setiap malam melakukan ronda sampai pagi. Keadaan cukup aman di wilayah tersebut.
Stien mengaku tak pernah berbincang tentang situasi yang serius, dari soal urusan kampus sampai situasi negara. Jika situasi politik mulai memanas, tak menentu, dan meresahkan, suaminya akan pergi ke salah satu kediaman sahabatnya, Soedjatmoko, ahli politik, intelektual, dan diplomat. “Biasanya dia akan bilang, ‘Aku ke rumah Koko dulu,’” kata Stien menirukan ucapan suaminya. Sepulang dari rumah Soedjatmoko, biasanya Pak Koen merasa lega karena mendapat informasi yang lebih jelas.
Dedikasi Koentjaraningrat untuk perkembangan ilmu antropologi, pendidikan antropologi, serta segala sudut pandang yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesukubangsaan di Indonesia membuatnya diganjar doctor honoris causa dalam ilmu-ilmu sosial dari Rijksuniversiteit Utrecht, Belanda, pada 1978. Dia juga menerima grand prize dari 6th Fukuoka Asian Cultural Prizes pada 1955. Pada 1968 dan 1982, Koentjaraningrat menerima anugerah Satyalancana Dwidya Sistha dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.
Pemikiran Koentjaraningrat mengenai budaya dan antropologi sejak 1957 sampai 1999 dituangkan ke dalam 22 buku serta lebih dari 200 artikel di berbagai makalah, jurnal, dan surat kabar. Pak Koen selalu berseri-seri dan bersemangat jika buku barunya terbit. “Kalau sudah begitu, ia akan sangat senang. Dielus-elusnya buku itu,” ujar Kustiani. Antropolog pertama Indonesia yang memiliki nama lengkap Kanjeng Pangeran Haryo Profesor Dr Koentjaraningrat itu wafat pada Selasa, 23 Maret 1999.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo