Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANEKA bentuk cangkang kerang, bintang laut, juga sosok seperti nautilus melayang-layang di sapuan warna biru yang bercampur dengan rona putih kekuningan dan kecokelatan. Gambar-gambar hewan laut itu sebagian masih terlihat jelas bentuknya, sedangkan beberapa lainnya ada yang berpadu dengan corak abstrak. Di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Concetta De Pasquale menggelar sebagian karyanya dalam pameran tunggal bertajuk "The Breathing Sea" selama 17 Juni-16 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman asal Italia kelahiran Salò pada 1959 itu menampilkan 21 karya dari empat seri lukisannya yang berjudul Sea Universe dan Siladen Island Sketchbook buatan 2019, kemudian seri karya terbarunya garapan 2023 berjudul The Breathing Sea dan Bali Island Sketchbook. Karyanya pada pameran ini berasal dari pengalaman dan kenangannya ketika pertama kali datang ke Indonesia. Perjalanan jauhnya itu untuk memenuhi undangan dari kolektor karya seninya, Klaus Schnappenberger dan Lucia Schnappenberger, yang memiliki resor sekaligus pusat scuba diving di Pulau Siladen, sebuah lokasi tujuan wisata di Kecamatan Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Breathing Sea X, karya Concetta De Pasquale di Selasar Budaya Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, 16 Juni 2023. Tempo/Prima Mulia
Pada Maret 2019, De Pasquale tinggal di sana sementara waktu untuk melakukan residensi seni. “Kesempatan itu tidak pernah terbayangkan sebelumnya,” katanya. Dari Italia, dia menyiapkan kertas cotton paper atau serat kapas yang tipis dan cat air yang mudah dibawa.
Di sela aktivitas kesehariannya, seperti snorkeling, menyelam, dan berjalan-jalan di pantai, De Pasquale mengumpulkan kerang-kerang dari laut yang telah rusak. Obyek temuan itu yang menjadi protagonis dalam ceritanya dan tumbuh menjadi simbol dunia batinnya. Dia pun menjadikan mereka sebagai model untuk lukisan. “Proses yang dilakukan itu menghasilkan gambar-gambar seperti buku harian,” ujarnya.
De Pasquale menghasilkan 17 lukisan berbahan kertas buatan tangan dan cat air sebagai representasi yang menawan atas waktunya di pulau tersebut.
Seniman yang gemar memakai kertas itu melukis dengan cat minyak yang diperlakukan seperti cat air juga bahan tar. De Pasquale juga meninggalkan jejak cetakan dari tubuhnya, seperti telapak kaki, dan melukis dengan tangan tanpa kuas seperti kebiasaan lamanya.
Kisah perjalanannya ke Indonesia itu pun dikaitkan dengan tradisi lama negaranya, yaitu menyertakan seniman di setiap kapal yang berlayar untuk melukiskan apa yang terjadi selama pelayaran. Penulis esai pameran Dikdik Sayahdikumullah mengatakan kekaryaan De Pasquale bertema rute perjalanan hidup dan ruang imajinatif tanpa batas dari semesta laut. Secara historis, pengalaman seniman itu mengingatkan pada kisah perjalanan para pelukis Eropa menuju dunia Timur sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20.
Pada seri lukisan Sea Universe, De Pasquale menggunakan campuran cat minyak, kertas serat kapas, helaian emas, dan jejak tar di atas kertas. Sementara itu, karya Siladen Island Sketchbook seperti terinspirasi dari buku sketsa perjalanan yang lazim dikenal di Italia sejak abad ke-15. Ini adalah komitmen pelukis untuk mengungkapkan visi perjalanan imajiner yang dibangun berdasarkan rekonstruksi peta topografi bahari, lalu dipertegas menjadi penanda situs artistik yang bersifat multitafsir.
Sebagian besar karya De Pasquale, menurut Dikdik, memperlihatkan kemampuan menata konfigurasi komponen visual yang rapi, selalu memiliki sentuhan responsif, serta konsisten memilih warna transparan yang jernih dan tak terduga. Sang seniman juga berupaya mengkomposisikan abstraksi obyek-obyek bentang alam. Ia pun membuat pengulangan bentuk cangkang fauna purba, jejak kaki, dan nuansa obyek yang samar menjelajahi setiap tekstur kertas dan kanvasnya. Melalui pameran ini, kekaryaan De Pasquale dinilai Dikdik merepresentasikan suatu pengingat. “Sekaligus akar kesadaran intens atas pengalaman yang berpijak pada pemahaman siklus tubuh yang hidup dan menyatu dengan alam,” ujarnya.
Pelukis Italia, Concetta De Pasquale, saat pembukaan pameran The Breathing Sea di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, 16 Juni 2023. Tempo/Prima mulia
Selain di Bandung, lukisan De Pasquale yang lain tengah dipamerkan bersama karya seniman Italia lain di Bali. Pameran kolektif bertajuk "The Italian Artists of the 2nd and 3rd Waves in Indonesia" itu diadakan di Museum Pasifika, Nusa Dua, yang berlangsung pada 10 Juni-9 Juli 2023. Pameran ini bertujuan memeriahkan hari nasional Italia. Maria Battaglia, Direktur Institut Kebudayaan Italia, mengatakan dalam pameran tunggal di Bandung ini De Pasquale hendak menceritakan hubungan istimewanya dengan lautan, dari perairan Mediterania hingga Laut Sulawesi. De Pasquale mendefinisikan dirinya sebagai pelukis kapal. Dia mengukir buku harian perjalanan yang intim serta membuat plot yang nyata dan imajiner berdasarkan grafik bahari kuno. Kertas baginya menyimpan jejak gerakan tubuh. “Ini adalah bagaimana bentuk baru yang tak terduga dapat terwujud, di mana semua orang bisa menyematkan makna yang berbeda. Ini adalah apa yang saya sebut dengan tubuh yang tak tampak,” ujar De Pasquale.
Sementara itu, bagi kurator pemangku Selasar Sunaryo Art Space, Heru Hikayat, lukisan Concetta De Pasquale mengingatkan kita akan tautan antara karya seni dan perjalanan atau peziarahan. Perjalanan ini bukan semata perpindahan ruang fisik, tapi lebih substansial menyangkut pertemuan antar-kebudayaan dan perjumpaan dengan alam yang berbeda nuansanya. Ada masanya para pelukis Eropa melakukan perjalanan jauh dan sulit pada abad-abad silam demi menghasilkan karya-karya yang memukau hingga sekarang. De Pasquale mengingatkan keteladanan itu. “Ketika karya seni dibuat berdasarkan pengalaman spiritual yang dipantik oleh praktik perjalanan, kali ini di wilayah maritim,” tutur Heru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menengok Laut Bunaken Bernapas"