Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mudik tak hanya terjadi di Indonesia.
Perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat menjadi momen untuk mudik.
Pulang kampung menjadi cara untuk mengingat akar dan leluhur.
MUDIK menjadi kewajiban setelah menikah. Setidaknya itu menurut Anneila Firza Kadriyanti, yang rajin menjalani tradisi ini setelah bersuami. Saban tahun, perempuan 31 tahun asal Pekanbaru, Riau, ini pulang ke kampung suaminya di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. “Ada semacam tradisi kalau orang Batak Mandailing harus mudik. Lebaran di kampung,” katanya kepada Tempo pada Kamis, 13 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan ayah-ibunya yang sering mengunjunginya selama dia kuliah di Universitas Indonesia, Annelia mengatakan, keluarga sang suami agak sulit bepergian. Karena itu, dia berupaya bisa mudik setiap tahun ke Padang Lawas ataupun ke Pekanbaru. Mudik, menurut Anneila, menjadi penting untuk berjumpa dengan mertua dan kerabat. "Ada tradisi khas yang tidak bisa dirasakan di waktu lain.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mudik—diambil dari istilah "pergi ke udik" atau pulang kampung—adalah tradisi tahunan yang tak bisa dilewatkan. Menurut sejarawan JJ Rizal, mudik tak hanya ada di Indonesia, tapi juga antara lain di jazirah Arab meski di sana Idul Fitri tak semeriah di Indonesia karena perayaan besar biasanya berlangsung pada Idul Adha dan rangkaian ibadah haji. “Pada setiap kebudayaan, tuntutan kembali ke kampung halaman itu menjadi penting untuk mengingat dari mana kita berasal,” ujarnya pada Jumat, 14 April lalu.
Masyarakat Amerika Serikat, menurut Rizal, punya kebiasaan serupa di Hari Thanksgiving yang jatuh pada pekan keempat November. Pada hari-hari itu biasanya bandar udara dan jalanan di Negeri Abang Sam lebih ramai dari biasanya.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, Rizal menuturkan, perayaan hari besar keagamaan dirayakan dengan aktivitas seperti pawai dan arak-arakan. Begitu Islam muncul, selain pawai, ada tradisi ziarah atau berkunjung ke makam orang tua atau leluhur. Menurut Rizal, tradisi ini seperti menjadi tali yang mengikat seseorang dengan asal-usulnya. “Dalam tradisi kita, kuburan menjadi penting.”
Kembali ke asal, kembali ke akar, menjadi kata kunci mudik. Masyarakat yang berasal dari berbagai daerah lalu bekerja di Ibu Kota memanfaatkan libur Idul Fitri untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga besar.
Guru besar antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Setiadi, mengatakan sejarah mudik tidak identik dengan agama tertentu. Aktivitas ini, menurut dia, melekat dengan fenomena migrasi penduduk, seperti perantau dari desa ke kota. Setelah seseorang bermigrasi, tutur Setiadi, di satu titik mereka akan menemukan momen untuk pulang. Orang yang bermigrasi, menurut Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM ini, tak lepas dari ikatan kultural atau kewajiban sosial dengan daerah asal, keluarga, dan masyarakat kampungnya. “Karena itu, mudik biasanya juga dikaitkan dengan siklus hidup seseorang,” ujarnya pada Sabtu, 15 April lalu.
Menurut Setiadi, dari sudut pandang antropologi, kebiasaan pulang ke daerah asal muncul sejak manusia mengenal tradisi merantau. Di Indonesia, kata dia, tradisi ini makin marak bersamaan dengan gelombang urbanisasi pada 1960-1970-an. Namun dia melihat momen mudik Idul Fitri punya nilai berbeda yang memberikan nuansa khas.
Mudik Lebaran sebagai tradisi keagamaan, Setiadi melanjutkan, juga lekat dengan aktivitas sosial-ekonomi-kultural yang tidak muncul dalam aktivitas pulang kampung lain. Para pemudik kemudian membangun ikatan dengan masyarakat sekampung yang sama-sama merantau. "Muncul agenda penguatan asal-usul, bahkan sampai akhirnya membangun kelompok di tempat perantauan seperti komunitas masyarakat sebuah desa di Jakarta.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Ingat Kampung dan Leluhur"