Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM tiga edisi terakhir, penyelenggara dan kurator perhelatan Venice Biennale di Italia berupaya membangun relevansi dengan wacana dan diskusi seputar internasionalisme pada hari-hari ini. Sebagaimana yang teramati, dekolonisasi dan fokus pada kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, seperti masyarakat ulayat serta kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender, atau narasi para pelarian, menjadi tema yang dirujuk oleh banyak perhelatan besar di seluruh dunia. Venice Biennale sendiri mempunyai sejarah mengenai kolonialisme yang sangat kuat. Ia lahir dari inspirasi ekspo-kolonial, yang pada awalnya hanya melibatkan negara-negara imperialis, untuk menunjukkan dinamika seni lokal semenjak akhir abad ke-19. Dengan sejarah semacam itu, bagaimana penyelenggara dan para perancang paviliun nasional dari kawasan Barat menanggapi perkembangan wacana masa kini?
Dalam Venice Biennale 2022, pergeseran pemahaman dan tren ini ditandai dengan makin banyaknya pengakuan terhadap seniman-seniman perempuan dan orang kulit hitam. Penghargaan tertinggi paviliun nasional, Golden Lion, misalnya, diberikan kepada paviliun Inggris yang menampilkan karya seniman keturunan Karibia, Sonia Boyce. Penghargaan khusus diberikan kepada paviliun Prancis yang membawa karya-karya Zineb Sedira, seorang imigran keturunan Libanon. Bagaimana pada 2024 ini?
Saya sangat beruntung tahun ini terpilih menjadi juri untuk menilai semua karya yang terlibat dalam Venice Biennale. Panitia memfasilitasi saya dengan cara paling efektif untuk bisa melihat semua karya yang tersebar di dua pameran internasional dan 87 paviliun nasional, termasuk menyaksikan berbagai performance yang menjadi ruang aktivasi gagasan seniman. Semua harus diselesaikan dalam empat hari saja. Sungguh pengalaman yang sangat intens, tapi juga amat menguras pikiran dan energi. Setiap karya yang dimunculkan tentu sudah melampaui perkara estetika dan bentuk. Karya-karya tersebut juga menjadi wahana untuk mengolah pemikiran kritis dan empati kemanusiaan, mendorong keberpihakan dan solidaritas global, serta membayangkan satu dunia baru yang lebih berkeadilan sosial.
Isu-isu masyarakat adat, situasi-situasi konflik pascaperang dan kemanusiaan masa kini, termasuk pengaruh kolonialisme masa lalu pada hierarki sosial pada masa sekarang, menjadi tema yang banyak diolah para seniman yang mewakili paviliun nasional. Penghargaan tertinggi Golden Lion juga diberikan kepada paviliun Australia yang diisi oleh karya instalasi tunggal karya seniman Aborigin (meskipun istilah ini tidak lagi mereka gunakan, diubah menjadi warga pertama atau first nation), Archie Moore, dengan kurator Ellie Buttrose. Karya ini diberi judul Kith and Kin, yang menekankan sejarah penguasaan tanah, budaya, dan identitas masyarakat asli. Moore menggunakan visualisasi pohon keluarga sebagai metafora.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengunjung di instalasi karya Archie Moore berjudul Kith and Kin di paviliun Australia Venice Biennale 2024. Andrea Rossetti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan seluas hampir 600 meter persegi itu dicat dengan warna hitam. Kemudian Archie Moore menggambarkan pohon keluarga dengan kapur putih, yang juga menjadi simbol bagi sesuatu yang sementara dan mudah terhapus. Berdiri di dalam ruangan, pengunjung seolah-olah dinaungi oleh sejarah panjang peradaban dan keterhubungan dengan leluhur. Kita juga akan mengamini bahwa kekerasan dan konflik yang membentuk kita sekarang tidak bisa begitu saja diabaikan dan dilupakan. Di tengah ruangan, Moore memajang arsip-arsip penelusurannya atas sejarah nenek moyangnya (3.000 keluarga berhasil ia sambungkan). Penelusurannya tersebut mempertemukannya dengan berbagai arsip lain mengenai sejarah kekerasan dan perlawanan para pemilik tanah yang dirampas atau dipisahkan dengan keluarga mereka. Ada ratusan bahkan ribuan warga Aborigin yang tewas memperjuangkan hak mereka selama masa pemerintahan modern. Ada pula yang mesti masuk bui karena perlawanan mereka. Di bawahnya, kolam air merefleksikan tulisan-tulisan dari atap, sesekali bergerak dengan geliat yang perlahan.
Karya Moore secara sublim dan puitis merekam kompleksitas kependudukan kolonial dengan mempertahankan suasana yang seperti muram tapi juga terasa indah. Di tengah ekspresi baru kelompok seniman ulayat dengan identitas visual mereka yang sering dimunculkan secara stereotipikal, karya Moore mampu melampaui gambaran yang umum itu. Hal ini menunjukkan isu ulayat menjadi bagian dari dinamika estetika kontemporer.
Bandingkan dengan paviliun Brasil, misalnya, yang sama-sama membicarakan persoalan komunitas ulayat dan relasinya dengan kehidupan bumi. Paviliun ini hampir secara mentah-mentah memindahkan apa yang ada dalam Hutan Amazon ke ruang pameran. Tentu saja, karena ditampilkan dan menjadi wahana ekspresi dan artikulasi masyarakat sendiri, tampilan ini tidak muncul dengan tatapan eksotis. Tapi penonton sulit menghindari posisi seperti dihadapkan pada “tontonan” mengenai sesuatu yang asing dan barangkali tak terjangkau bagi pengunjung Eropa. Mereka membawa suasana hutan, perlengkapan ritual, tanah, senjata, dan peranti lain ke dalam paviliun. Para seniman Brasil itu menunjukkan relasi yang kompleks antara institusionalisasi praktik keseharian dan pengetahuan.
Paviliun Spanyol untuk pertama kalinya diwakili oleh seorang seniman diaspora yang separuh Spanyol dan separuh Peru. Ia adalah Sandra Gamarra yang mengusung karya bertajuk Pinacoteca Migrante. Bagi saya, paviliun ini merupakan salah satu favorit karena ketekunan luar biasa senimannya untuk meriset dampak kolonialisme terhadap pengetahuan dan tata kehidupan sosial perempuan. Gamarra berkolaborasi dengan para pemikir feminisme dekolonial, seperti Françoise Vergès, atau mengambil sari gagasan Maria Lugones, untuk membicarakan pentingnya proses rematriasi dan pemulihan dari proses kolonisasi yang telah menghapus ruang, peran, dan kontribusi perempuan masyarakat adat dalam praktik keseharian pasca-kolonial. Gamara menata lukisan-lukisan yang bergaya abad ke-17 ala museum. Tapi semua bangunan pengetahuan dan tafsirnya merupakan artikulasi kritis dari pengalaman terepresi dan terhapuskan. Sementara saat memasuki museum Abad Pertengahan biasanya kita dihadapkan dengan sosok laki-laki sebagai sumber sejarah, dalam museum yang dibangun Gamarra, perempuanlah yang menjadi sentral.
Beberapa paviliun lain, seperti Belanda dan Belgia, tampaknya juga berupaya membincangkan narasi kuasa dalam spirit dekolonisasi, tapi bentuk presentasinya justru tampak seperti antara takut kehilangan status quo dan tidak mau “ketinggalan kereta”. Dalam proyek ini, duo seniman dan kurator Renzo Martens dan Hicham Khalidi berkolaborasi dengan Cercle d’Art des Travailleurs de Plantation Congolaise, sebuah kolektif pekerja agrikultur di Kongo. Mereka menciptakan replika patung-patung Benin yang dijarah oleh negara Eropa yang terbuat dari cokelat—komoditas utama Kongo pada masa kolonial—dan menjadi bagian dari koleksi museum mereka. Yang cukup problematis, proyek ini dipresentasikan dalam konteks paviliun nasional, yang bisa jadi justru mereplikasi ulang sistem koloni pengetahuan dan sistem seni. Menonton bentuk-bentuk kolaborasi semacam ini memang membutuhkan kejelian untuk bisa membongkar relasi kuasa yang berlangsung di antara agen-agen yang bermain di sana. Dengan begitu, kita tidak begitu saja menerima retorika dekolonisasi dari institusi Barat.
Ada tiga negara yang baru pertama kali berpartisipasi dalam perhelatan ini, yaitu Etiopia, Tanzania, dan Timor Leste. Paviliun Timor Leste diwakili oleh seniman Maria Madeira dengan pameran berjudul “Kiss and Don’t Tell”, yang menampilkan bagaimana para perempuan setempat bertahan menghadapi sejarah kelam dan menyimpan ingatan dalam tubuh mereka. Ihwal konteks gagasan tentang bangsa, Venice Biennale memang masih termasuk konservatif. Hong Kong dan Taiwan, misalnya, belum diakui sebagai paviliun nasional yang resmi, masih menjadi bagian dari acara kolateral. Demikian juga Palestina. Saya kira, dalam politik global masa kini, gagasan dekolonisasi tidak bisa dibicarakan menjadi tema atau narasi ilusif semata.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Alia Swastika adalah kurator dan Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta. Dia menuliskan laporan ini dari Venesia. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Paviliun Nasional dalam Konteks Dekolonialisasi".