Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKAM yang membujur ke utara di persawahan Dukuh Jatimalang Wetan, Desa Jatimulyo, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, itu berlatar pemandangan Bukit Bangkong. Bentuknya khas bangunan makam Cina atau bong lain yang besar dan lapang. Adapun dindingnya yang berkelir merah mirip sandaran kursi yang melengkung. Di hadapan pusara terdapat altar dengan ceruk berbentuk kotak untuk meletakkan hio. Saat Tempo menyambanginya, Kamis, 29 Oktober lalu, terlihat sejumlah batang hio merah bekas pakai yang dibiarkan tetap di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di situlah Tan Peng Nio beristirahat untuk selamanya. Tan Peng Nio adalah perempuan pendekar pada pertengahan abad ke-18. Dia disebut-sebut sebagai anggota laskar Cina pimpinan Kapitan Sepanjang yang ikut dalam perang melawan kongsi dagang Hindia Belanda (VOC) di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Ia adalah putri Tan Wan Swee, jenderal yang lari dari Cina semasa Dinasti Qing. Wan See, yang ikut berperang melawan VOC saat terjadi Geger Pecinan, disebut sebagai tokoh yang membawa beladiri kuntao atau konto ke Kebumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makam Tan Peng Nio di area persawahan Dukuh Jatimalang Wetan, Desa Jatimulyo, Kebumen, Jawa Tengah. TEMPO/Pito Agustin
Di gelanggang Geger Pecinan, Tan Peng Nio ibarat Mulan, tokoh kartun Disney. Ia menyaru sebagai laki-laki dan sempat tak dikenali identitasnya di medan laga. Setelah perang berakhir, Peng Nio menikah dengan bangsawan Jawa, Raden Mas Soleman Kertawangsa, penguasa Panjer pada 1751-1790. Pernikahan inilah yang membuat sang putri Cina mendapat gelar Raden Ayu Kolopaking III. Dua nama itu, baik Cina maupun Jawa, terukir di pusara. Begitu pun nama sang suami beserta anak, menantu, dan lima cucunya. Di sisi barat makam itu ada cungkup kecil bertulisan “Fu Shen”, yang dalam mitologi Cina dipercaya sebagai dewa rezeki.
Area itu nyaris terselimuti ilalang. Tak aneh bila keberadaan makam ini terabaikan oleh lalu-lalang pejalan kaki ataupun pengendara sepeda motor. “Bahkan pernah rumput yang tinggi-tinggi sampai menutupi makam. Namun akhirnya ada juga yang membersihkannya,” kata Parwati, warga setempat, saat ditemui pada 29 Oktober lalu.
Untuk menyambangi makam istri kedua Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Kolopaking III itu pun membutuhkan perjuangan. Tak ada akses yang memudahkan perjalanan ke sana. Siapa saja mesti menyeberang melalui pematang sawah yang licin, bahkan becek di musim hujan. Sesampai di tepi fondasi makam, peziarah pun mesti melompat dulu. “Padahal yang berkunjung ke situ kebanyakan orang Cina yang sudah sepuh,” ujar Parwati, yang memiliki toko bangunan tak jauh dari makam tersebut. Para peziarah itu berasal dari berbagai daerah, seperti Kebumen, Banyumas, Jakarta, juga Surabaya. Sebagian pengunjung, menurut Parwati, mengaku sebagai keturunan Tan Peng Nio.
Nisan yang bertuliskan nama-nama anak, menantu, dan cucu Tan Peng Nio. TEMPO/Pito Agustin
Kepala Seksi Pemerintahan Desa Jatimulyo, Mei Heri Kusworo, menjelaskan bahwa makam itu awalnya hanya berupa gundukan tanah di tengah sawah. Baru pada sekitar 2000 Pemerintah Kabupaten Kebumen membangunnya dengan arsitektur Cina seperti yang tampak sekarang. Dulu ada warga setempat yang ditunjuk sebagai juru kunci, tapi tugas itu tak berkelanjutan. Heri menduga akses ke makam yang berliku menjadi kendala.
Menurut Heri, makam itu pernah dipugar dan hendak dibuatkan akses yang layak. Sebab, banyak pejabat pemerintah Kebumen dan kerabat Tan Peng Nio yang berziarah ke sana. Namun rencana itu tak terealisasi karena warga pemilik sawah berkeberatan. Walhasil, para kerabat Bupati Kebumen memilih berziarah ke makam suami Tan Peng Nio, KRT Kolopaking III, di Dusun Kuncen. Di situlah para keturunan trah Kolopaking dimakamkan. “Jadi di sawah itu hanya ada makam Tan Peng Nio seorang,” ucapnya.
Heri menjelaskan, makam Tan Peng Nio terpisah karena status etnisnya yang berbeda. Area itu kabarnya ditunjuk sendiri oleh Peng Nio semasa hidup. Bagi Peng Nio, kawasan ini bersejarah karena saat pecah Geger Pecinan menjadi salah satu lokasi pertempuran sekaligus tempatnya berjumpa dengan Soleman, yang kelak menikah dengannya. Sedangkan bagi penduduk setempat, lokasi itu menjadi cikal-bakal perdukuhan Jatimalang. Informasi tersebut digali Heri dari sejumlah leluhur dan warga dusun yang diceritakan turun-temurun.
•••
SENTIMEN anti-Cina yang terjadi ketika itu menjadi awal dari serangkaian perang di sepanjang Jawa, dengan komoditas gula menjadi pelatuknya. Pada 1740-an, di Nusantara, gula menjadi primadona selain rempah-rempah. Bahkan, kata pengamat warisan budaya kolonial Lilie Suratminto, di Tangerang, Banten, pada masa itu ada 130 pabrik gula yang lebih dari separuhnya dikelola penduduk keturunan Cina. Adapun tenaga kerja di pabrik-pabrik itu bukan hanya warga lokal, tapi juga orang Cirebon, Jawa Barat; dan Mataram, Nusa Tenggara Timur.
Namun, di tengah kejayaan bisnis gula, tiba-tiba terjadi krisis. Harga gula jatuh, memukul industri tersebut. Salah satu yang terkena imbas adalah pabrik yang dipimpin kapitan Cina, Nie Hoe Kong. Penganggur juga mulai muncul di mana-mana. Begitu pun kekacauan yang mulai disulut warga keturunan Cina di Batavia. Suasana kota mencekam, hingga akhirnya Dewan Hindia bersidang dan membuahkan Resolusi 25 Juli 1740.
Pintu masuk makam trah Tumenggung Kalapaking di Dusun Kuncen, Desa Kalijirek, Kebumen, Jawa Tengah. TEMPO/Pito Agustin
Lilie menjelaskan, Ketua Dewan Hindia Baron van Imhoff meneken keputusan: siapa pun yang dicurigai sebagai Cina gelandangan, baik yang punya izin tinggal maupun tidak, harus ditangkap, dibawa ke kapal, dan dikirim paksa ke Ceylon (Sri Lanka) untuk dipekerjakan di perkebunan sana. Namun Resolusi 1740 diterapkan dengan sewenang-wenang. “Lebih kejam dari apa yang digariskan. Bahkan ada isu di kalangan orang Cina bahwa mereka yang diangkut ke Sri Lanka diceburkan ke tengah laut dalam perjalanan,” ujarnya dalam diskusi daring (online) “280 Tahun Geger Pecinan”, 10 Oktober lalu.
Beredarnya hoaks itu membuat orang Cina di Batavia makin geram. Mereka pun menyusun kekuatan di gudang milik Nie Hoe Kong, tapi tanpa setahu pemilik rumah. Pada 7 Oktober, mereka mulai menyerang Batavia. Namun awalnya serangan masih bisa ditahan berkat adanya tembok kota. Kondisi itu membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Adriaan Valckenier panik. Dia takut orang Cina di dalam kota bersatu dengan luar Batavia. Walhasil, ia memerintahkan orang-orang Cina di dalam benteng dibunuh saja.
Kacaunya situasi ketika itu diwarnai tegangnya tensi politik di Batavia. Valckenier dan Baron van Imhoff diketahui tak akur, bahkan sempat memperebutkan takhta Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ditinggalkan Abraham Patras. Dewan Hindia atau Raad van Indie kemudian memilih Valckenier. Pemilihan itu memicu kecemburuan Van Imhoff. Bahkan, saat Van Imhoff di kemudian hari menduduki jabatan itu, perang dingin di antara keduanya belum berakhir.
Gambar tahanan Tionghoa yang dibunuh oleh pasukan Belanda pada Oktober 1740. Wikipedia
Pada 9-11 Oktober 1740, serdadu Hindia Belanda melakukan pembantaian. Kekejian itu menewaskan setidaknya 10 ribu orang Cina di Batavia. Seorang pedagang bernama Ary Huysers menuliskan kejadian tersebut. “Tiba-tiba kami mendengar sesuatu yang menimbulkan kekuatan luar biasa. Tidak ada yang terdengar kecuali tangisan pembunuhan dan pemerkosaan tak terkendali yang paling kejam: pria Cina, wanita, dan anak-anak, semua ditikam pedang. Baik wanita hamil maupun bayi yang digendong tak terselamatkan. Tawanan yang dirantai besi, berjumlah sekitar 100 orang, dipotong lehernya seperti domba. Orang Cina kaya disediakan tempat tinggal oleh Belanda, lalu dibunuh di hari yang sama. Singkatnya, bangsa Cina hampir sepenuhnya dibantai hari itu; bersalah atau tidak, tak pandang bulu (Blussé, 1986 : 95).
Abdur Rahman, pada abad itu, mencatat pembunuhan massal terhadap warga Cina di Batavia dalam Syair Hemop. Pembantaian itu juga diduga menjadi awal mula penamaan sejumlah daerah di Jakarta, seperti Tanah Abang atau tanah merah yang merujuk pada lokasi yang berlumur darah warga yang dibunuh. Juga Rawa Bangkai dan Muara Angke—dari kata bangkai—di Tambora, Jakarta Barat.
Pembantaian itu menyulut amarah warga Cina di luar Batavia. Mereka yang selamat lantas lari ke Jawa Tengah dan sampai di tujuan pada pertengahan 1741. Di Jawa Tengah, mereka meminta pertolongan kepada Keraton Mataram Kartasura dan disambut baik oleh Pakubuwono II. Dua laskar pun mulai menyatukan kekuatan dan berbalik menyerang VOC. Penulis buku Geger Pacinan 1740-1743 yang juga kerabat Pura Mangkunegaran, Raden Mas Daradjadi, menyatakan jumlah personel pasukan Cina yang ikut dalam pertempuran terus bertambah. “Pasukan Cina ini gabungan pelarian Batavia dengan mereka yang bergabung di tengah jalan karena tak terima dengan perlakuan VOC,” katanya melalui sambungan telepon, Jumat, 6 November lalu.
Dalam perang terbuka yang berlangsung sejak 5 Agustus 1741, semua bupati di Jawa terlibat karena tergugah oleh tragedi pembantaian itu. Pun walau pada awal 1742 Sunan Pakubuwono II berbalik arah dan mendukung VOC, kebanyakan pemimpin di Jawa tetap melanjutkan pertempuran. Dalam perang ini, pasukan gabungan Jawa-Cina berhasil merebut sejumlah kota, di antaranya Jepara, Rembang, dan Demak, termasuk Keraton Kartasura.
Dalam Geger Pecinan ini, Daradjadi menambahkan, keterlibatan Tan Peng Nio dalam pasukan Cina yang dikomandoi Kapitan Sepanjang menjadi perdebatan. “Apakah dia turun bertempur saat Geger Pecinan ataukah sekitar Perang Diponegoro (1825-1830). Sebab, sumber-sumber sejarahnya sudah bercampur-baur dengan legenda lokal,” tuturnya. Daradjadi menjelaskan, ia belum mendapati arsip sejarah ataupun babad dalam Geger Pecinan yang mengisahkan pendekar perempuan bernama Tan Peng Nio.
Daradjadi menduga sosok Tan Peng Nio dimunculkan karena warga ingin menampilkan figur perempuan tangguh yang punya pengaruh terhadap pemegang kekuasaan. “Sepertinya soal Tan Peng Nio ini masih dicari-cari, karena memang kita butuh sosok untuk merekatkan bangsa yang sedang terpolarisasi ini,” ucapnya.
Adapun menurut Mei Heri Kusworo, Tan Peng Nio datang ke Panjer dalam pelariannya saat terjadi Geger Pecinan. Ketika itu, Peng Nio bersama Lia Beeng Goe, pembuat peti mati dan ahli bela diri. Setiba di Kutowinangun, kecamatan di sisi timur Kebumen, mereka bertemu dengan perajin senjata bernama Tumenggung Honggoyudho. Honggoyudho-lah yang lalu menyembunyikan mereka sekaligus melatih keduanya ilmu kanuragan.
Sementara itu, Raja Keraton Kartasura, Sunan Amangkurat V, yang bernama kecil Raden Mas Garendi, sedang menyiapkan pasukan Jawa-Cina untuk menyerang VOC di Batavia. Honggoyudho pun menyarankan Tan Peng Nio mendaftar sebagai prajurit, dengan menyamar sebagai laki-laki. Peng Nio lolos seleksi. Dia lalu bergabung dengan pasukan dari Panjer yang dikomandoi Soleman Kertawangsa.
Gubernur Jendral Hindia Belanda Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Rijksmuseum
Kepiawaian Tan Peng Nio beradu senjata menarik perhatian Soleman. Ia lantas penasaran menjajal kemampuan Peng Nio di lokasi tempat sang prajurit kemudian dimakamkan. Dalam adu kesaktian itu, kata Heri, ikat kepala Peng Nio tertarik dan rambutnya terurai. “Secara logika, Tan Peng Nio kalah,” ujar Heri. Melihat paras Tan Peng Nio, Soleman jatuh hati. Ia pun mengutarakan niatnya menjadikan Peng Nio sebagai selir. Peng Nio tak menampiknya karena kesaktian Soleman ia anggap lebih unggul.
Namun juru kunci permakaman keluarga Kolopaking, Mulyadi, mengungkapkan versi berbeda. Menurut Mulyadi, Tan Peng Nio bersedia menjadi selir Soleman karena sayembara yang ia gelar waktu itu. Tan Peng Nio berikrar, siapa pun yang bisa mengalahkannya berhak mempersunting dirinya. Ternyata Soleman yang menjadi juara.
Duel antara Tan Peng Nio dan Soleman disebut Heri terkait dengan sejarah perdukuhan Jatimalang. Konon, saat keduanya berduel, pohon-pohon jati yang kokoh di sekitar tempat itu sampai bertumbangan terpengaruh ilmu silat dan kanuragan. Itulah sebabnya daerah tersebut kemudian disebut Jatimalang, yang berarti pohon jati berposisi melintang. Meskipun demikian, hingga hari ini tak ada ritual khusus di dusun untuk mengenang sang perempuan pendekar. Pun jarang ada yang mengenal Tan Peng Nio sebagai sosok legendaris di dusunnya.
PITO AGUSTIN RUDIANA (KEBUMEN), ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo