Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dari Gerai ke Gerai dengan Kursor

Art Jakarta tahun ini berlangsung daring. Tampilan virtual Art Jakarta patut diakui lebih interaktif ketimbang pasar seni lain yang lebih dulu diadakan secara virtual, misalnya Art Basel di Hong Kong.

7 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN yang terpampang di dinding akan berubah menjadi video jika kursor diarahkan mendekatinya. Video lantas menayangkan penjelasan dari seniman tentang karya apa yang bisa dia kerjakan sesuai dengan pesanan. Tampilan di gerai Colaborea yang berpartisipasi dalam Art Jakarta virtual tahun ini tersebut agak berbeda dengan gerai-gerai galeri lain. Bekerja sama dengan para seniman di bawah naungan kelompok kolektif Bandung, Omnispace, Colaborea menawarkan konsep “Open P.O.”, sebuah istilah dalam jual-beli daring (online) yang berarti memesan dulu alih-alih membeli yang sudah jadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam salah satu video, misalnya, seniman Patriot Mukmin menjelaskan bahwa dia dapat membuat lukisan tiga sisi ilusif dengan tema keluarga. Karya itu akan bersifat site-specific, yaitu dirancang khusus untuk lokasi tertentu di dalam rumah pemesan. Untuk metode penciptaannya, seniman itu akan datang ke rumah pemesan guna melakukan pengukuran, mencari sudut yang pas buat melihat karya, dan mewawancarai kolektor demi menggali memori keluarga yang hendak dihidupkan lewat karya pesanan. “Dengan karya ini, saya harap keluarga bisa menghidupkan kembali memori yang hilang,” ujar pengajar seni rupa Institut Teknologi Bandung itu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengaggalan video persentasi Patriot Mukmin yang menampilkan Treachery of Paintings pada situs openpo. omnispace.info.

Ini kedua kalinya Omnispace menghadirkan konsep Open P.O. dalam Art Jakarta. Namun, karena pergelaran kali ini berlangsung virtual, persiapan dan presentasi karya harus dilakukan dengan ekstra. “Sebelumnya kami cukup bermodalkan katalog, lalu disebarkan ke pengunjung dan kolektor. Sekarang tidak bisa begitu,” kata pencetus inisiatif Omnispace, Erwin Windu Pranata. 

Sebelum pergelaran dimulai, Omnispace menyiapkan situs berisi informasi lengkap tentang karya dan seniman yang dibawa. Mereka juga gencar memanfaatkan media sosial untuk publikasi. Karena terbatasnya kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan calon pembeli, mereka lantas menyediakan video presentasi dari tiap seniman. Selain Patriot, seniman yang terlibat dalam proyek Open P.O. adalah Monica Hapsari, Nurul Aulia Sari, Bonggal Hutagalung, Jabbar Muhammad, Bottlesmoker, Eldwin Pradipta, dan Hilmy P. Soepadmo. 

Pemilihan seniman dilakukan berdasarkan keberagaman medium yang bisa ditawarkan kepada pemesan. Nurul Aulia Sari, misalnya, adalah seniman keramik. Adapun Jabbar Muhammad bisa membuat lukisan potret dari kumpulan foto dan Bottlesmoker dapat membuatkan komposisi musik serta suara untuk dimainkan selama satu jam. Harga yang dipatok untuk sebuah karya Open P.O. berkisar Rp 8-25 juta. “Kami mematok harga cukup terjangkau karena ingin membuka pasar dan mengundang kolektor baru dari anak muda,” ucap Erwin. 

Pada Art Jakarta tahun lalu, ada kurang-lebih 20 kolektor yang memesan karya dengan konsep ini. Adapun selama sekitar dua pekan Art Jakarta virtual kali ini berjalan, sudah ada beberapa orang yang menunjukkan minat dengan bertanya lewat aplikasi percakapan. Erwin menilai masih banyak orang yang gagap dengan sistem pameran virtual. Selain itu, ada kendala teknis, seperti karya dan video tak dapat diamati dengan maksimal. 

Memang, konsep pergelaran ke-12 Art Jakarta ini belum pernah ada. Tak ada antrean pengunjung ataupun suara percakapan yang teredam dari orang-orang yang asyik mengamati karya. Dalam Art Jakarta tahun ini, yang muncul adalah waktu tunggu sekitar 30 detik untuk masuk ke ruangan virtual setelah telunjuk memencet “Enter” serta ujung jari yang sibuk menekan-nekan kursor atas, bawah, kiri, dan kanan untuk bernavigasi di dalam pameran dunia maya itu. 

Menghadirkan pasar seni virtual adalah pilihan paling masuk akal yang ditempuh Art Jakarta di tengah situasi pandemi Covid-19. Rencana awalnya, Art Jakarta ke-12 dilaksanakan pada Agustus 2020 dengan target menampilkan hingga 1.500 karya seni dan menarik 45 ribu pengunjung dalam tiga hari. Namun rencana perhelatan besar di Jakarta Convention Center, Senayan, itu harus mundur hingga tahun depan dan pergelaran virtual menjadi gantinya untuk tahun ini. “Kami mencari cara agar kerja sama ekosistem seni tetap berlangsung pada masa sulit ini,” tutur Enin Supriyanto, Direktur Artistik Art Jakarta, dalam konferensi pers daring. 

Tampilan virtual Art Jakarta patut diakui lebih interaktif ketimbang pasar seni virtual lain yang lebih dulu diadakan, misalnya Art Basel di Hong Kong yang menghadirkan semacam katalog digital dengan sedikit fitur tambahan. Art Jakarta virtual memberikan pengalaman seperti kita sedang mengelilingi sebuah area pameran sebenarnya. Kita dapat bergeser dari satu gerai ke gerai lain atau bergerak lebih dekat ke karya dengan memencet kursor. Namun perlu kesabaran saat mengakses layanan ini karena bisa sesekali tersendat sekalipun telah menggunakan jaringan Internet atau Wi-Fi rumahan di sekitar wilayah Ibu Kota. Ada kalanya juga kita tak dapat memilih posisi untuk mengamati karya sesuai dengan keinginan meski telah cermat mengarahkan kursor. 

Selain memberikan keleluasaan kepada pengunjung, konsep pasar seni virtual menuntut adaptasi dari galeri atau kelompok seniman. Dengan tampilan tiga dimensi tampak atas, tak ada karya ataupun gerai yang terlihat lebih menonjol dibanding yang lain. Maka peserta pameran harus putar otak untuk menarik perhatian, seperti yang dilakukan Omnispace dan Colaborea. 

Kurasi karya yang dirasa lebih sesuai dengan konsep daring juga menjadi salah satu strategi. Misalnya, Artsphere Gallery memilih memamerkan karya seniman muda seperti Erianto dan Anton Afganial. Dua seniman itu membuat lukisan bertema bawah laut yang menampakkan ikan-ikan dan terumbu karang dalam warna-warna cerah yang bertabrakan seperti lukisan anak-anak yang ceria. “Penting untuk memamerkan karya yang striking karena semua karya dilihat melalui online tanpa fisiknya,” kata Maya Sujatmiko, pemilik Artsphere. 

Bagi Maya, pameran virtual lebih praktis. Sementara sebelumnya dia harus sibuk dengan proses memasukkan karya seni ke area pameran, mengatur tampilan, juga menyiapkan interaksi langsung dengan pengunjung, kali ini persiapannya lebih sederhana. Selain itu, konsep daring dapat menjangkau calon pembeli dalam skala lebih luas. “Saya menerima feedback dari Spanyol dan Amerika,” ujarnya. 

ROH Projects juga mengutamakan karya dua dimensi untuk menyesuaikan diri dengan konsep virtual. Banyak lukisan berukuran besar, seperti Kopiologi oleh Kei Imazu yang luasnya hampir 4 meter persegi. Ada juga guratan abstrak Arin Dwihartanto Sunaryo berjudul Devil’s Gold #2 di atas panel kayu berukuran 1,58 x 1,96 meter dan Raden Saleh, Arab Horseman Attacked by Lion oleh Uji “Hahan” Handoko yang berukuran 1,54 x 1,68 meter. Karya-karya besar ini akan tampak mencolok sekali jika terpasang pada dinding ruang pameran asli. Namun kesan gigantik itu kurang begitu terasa saat karya disaksikan secara daring. 

Ruang pamer Artsphere Gallery (kiri) dan Ruci Art Space (kanan) dalam laman artjakarta. artsphere.net.

ROH Projects cukup punya pengalaman dengan pameran virtual. Awal tahun lalu, mereka berpartisipasi dalam Art Basel Online Viewing Room, pelopor art fair virtual di masa pandemi. Untuk menarik perhatian dalam Art Jakarta kali ini, ROH menyiapkan presentasi tunggal dari seniman muda yang turut serta. “Metode presentasi ini diharapkan dapat memberikan exposure yang baik untuk karya dan praktik seniman tersebut,” tutur Direktur ROH Projects Jun Tirtadji. 

Art Jakarta menjadi momen bagi galeri dan seniman Indonesia untuk bangkit kembali setelah dihantam pandemi Covid-19. Di lingkup global, galeri-galeri seni sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah terjadi penurunan penjualan yang besar pada awal pandemi merebak. Dalam laporan survei tengah tahun yang digelar Art Basel dan UBS berjudul “The Impact of Covid-19 on the Gallery Sector” disebutkan bahwa galeri yang berhasil beradaptasi dengan Internet dan pasar virtual telah sukses menjual lebih banyak karya secara daring. Menariknya, sepertiga dari pelanggan yang membeli karya lewat fasilitas daring adalah kolektor baru. “Barangkali karena penjualan online tak terbatas secara geografi, galeri dapat menjangkau pembeli-pembeli baru,” demikian dinyatakan dalam laporan tersebut.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus