Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aneka masalah program pensiun Asabri.
Kabar terbaru kerugian Asabri tahun lalu.
MENDAPAT nomor antrean bontot membuat Roro Warid harus menunggu di loket pelayanan PT Asabri (Persero) hingga sore, Jumat, 6 November lalu. Ini kedua kalinya ia datang ke kantor pusat Asabri. Urusannya sama: menanyakan pencairan uang pensiun bulanan yang kembali tersendat. Uang tak sampai Rp 5 juta itu biasanya masuk ke rekening pada tanggal 1 setiap bulan. “Sekarang sudah tanggal 5 belum keluar,” kata Roro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roro pensiun awal tahun lalu setelah 30 tahun bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tatkala purnatugas, perempuan 59 tahun itu menerima dana hasil program tabungan hari tua Rp 35 juta. Ogah menyebutkan detailnya, Roro hanya mengaku menerima uang pensiun bulanan kurang dari Rp 5 juta per bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Besaran yang lebih pasti diungkapkan Marsekal Madya (Purnawirawan) Hadiyan Sumintaatmadja. Setiap bulan, Hadiyan menerima uang pensiun Rp 4,5 juta. “Ya kurang,” ujar Hadiyan, terkekeh. Itu sebabnya lulusan Akademi Angkatan Udara 1983 ini merasa perlu membangun usaha selepas pensiun.
Hadiyan adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan periode 2017-2019 yang juga pensiun awal tahun lalu setelah 36 tahun bertugas. Dia masih ingat hari terakhirnya di kantor, Rabu, 6 Februari 2019. Kala itu, Direktur Investasi dan Keuangan Asabri Hari Setianto datang untuk menyerahkan tabungan pensiun secara simbolis. Dana yang ia terima dari program tabungan hari tua dan dana kesehatan, yang berasal dari potongan sebesar 3,25 persen dan 2 persen dari gaji, itu sebanyak Rp 64 juta.
Kini Hadiyan kudu mendatangi bank tempat uang pensiunnya ditransfer tiap awal bulan. Dalam satu tahun, ia juga mesti datang ke kantor Asabri untuk melapor. “Banyak kasus dana pensiun tidak diambil, dianggap sudah meninggal, lalu transfer dihentikan,” tuturnya.
Bisnis selepas pensiun juga dilakoni Isrianto Koesbianto, purnawirawan dengan pangkat terakhir Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut. Dana pensiunan bulanannya hanya setara dengan 80 persen dari upah minimum Provinsi DKI Jakarta.
Pria 70 tahun ini merasa cukup beruntung lantaran pengalaman dan jaringan pertemanan yang luas memberinya peluang membuka usaha kontraktor. Tapi dia tak bisa membayangkan kesulitan para purnawirawan tamtama dan bintara TNI, bahkan janda pensiunan yang hanya menerima 30 persen dari dana pensiun suaminya saat masih hidup.
Dia mengungkapkan, Asabri sebagai penyelenggara program asuransi dan jaminan sosial personel TNI, Kepolisian RI, serta pegawai negeri di lingkungan Kementerian Pertahanan memang menyediakan sejumlah program untuk menyiapkan masa pensiun, seperti lewat pelatihan kerja dan keterampilan. Tapi Isrianto memperkirakan program ini tak bisa menjangkau semua pensiunan. “Apa juga artinya pelatihan tanpa fasilitas atau kemudahan akses bank atau permodalan lain?” ucapnya.
•••
PERFORMA layanan kepada para peserta program beberapa kali menjadi isu miring tentang bisnis Asabri. Terakhir, Juli lalu, nasib perseroan kembali menjadi pertanyaan. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat berbagai masalah pengelolaan keuangan Asabri sebagai salah satu temuan yang “mencederai” Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2019.
Hasil pemeriksaan BPK itu mengungkap kondisi terbaru dapur Asabri, yang tak kunjung mempublikasikan laporan keuangannya sejak 2018. Sepanjang 2019, kerugian komprehensif Asabri mencapai Rp 8,42 triliun. Kerugian ini disebabkan oleh rugi investasi atas penurunan harga pasar investasi aset investasi saham dan reksa dana. Aset investasi tersebut bersumber dari program tabungan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kecelakaan kematian.
BPK juga mencatat akumulasi iuran pensiun (AIP) yang dikelola Asabri hingga akhir 2019 hanya Rp 17,66 triliun, turun Rp 7,52 triliun atau sekitar 29,85 persen dari periode yang sama pada 2018. AIP merupakan dana iuran jaminan pensiun dari anggota TNI dan Polri yang dikembangkan Asabri.
Pelayanan di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Sulawesi Selatan, Makassar, Juli 2015./Dok.TEMPO/Hariandi Hafid
Program asuransi Asabri tak jauh berbeda dengan yang ditawarkan PT Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) alias Taspen, yang secara teknis menginduk kepada Kementerian Keuangan serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Berbeda dengan Asabri, Taspen mengelola dana pensiunan pegawai negeri sipil, pegawai negeri daerah otonom, pejabat negara, hakim, dan penerima tunjangan perintis kemerdekaan.
Program pensiun ini diambil dari iuran peserta sebesar 4,75 persen dari penghasilan bulanan yang meliputi gaji pokok dan tunjangan keluarga. Sedangkan dana untuk tabungan hari tua diambil dari potongan 3,25 persen dari penghasilan bulanan. Tahun lalu, Taspen mencatat kinerja positif dengan membukukan laba bersih Rp 388,24 miliar, naik 42,97 persen dibanding pada 2018.
Skema pembayaran dana pensiun juga membedakan Asabri dengan Taspen. Asabri menerapkan skema pay as you go. Artinya, seorang purnawirawan perwira tinggi bintang tiga seperti Hadiyan Sumintaatmadja hanya akan menerima tabungan pensiun sebesar Rp 64 juta serta uang bulanan Rp 4,5 juta lantaran jumlah ini sudah dipastikan berdasarkan gaji pokoknya. Manfaat pensiun yang diberikan kepada peserta ketika jatuh tempo bersumber sepenuhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, meski akumulasi iurannya tetap dikelola oleh Asabri.
Tahun ini, Taspen memberlakukan skema dana pensiun serta tabungan hari tua yang baru. Skema pembayaran dana pensiun tidak hanya mengandalkan APBN. Skemanya dijuluki fully funded, yakni pembayaran penuh berasal dari aparat sipil negara dan pemerintah sebagai pemberi kerja. Dengan skema penghitungan ini, dana pensiun yang diterima pegawai negeri diperkirakan lebih besar.
Menurut Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) Agus Susanto, skema pembiayaan pensiun yang diterapkan dalam penyelenggaraan pensiun sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan program pensiun. Kepastian pembayaran pensiun dalam skema yang diterapkan Asabri dapat dipenuhi sepanjang dana APBN sanggup membayar manfaat pensiun kepada peserta. Namun, menurut dia, “Makin meningkat penerima manfaat pensiun di masa depan, makin besar beban yang akan ditanggung dana APBN.”
Lain halnya dengan skema yang dipakai BP Jamsostek, yang mendesain program pensiun agar dapat mandiri dari segi pembiayaan. Agus menerangkan, untuk memenuhi kewajiban kepada peserta di masa depan, dana yang digunakan untuk membayarkan pensiun sepenuhnya berasal dari dana jaminan sosial program jaminan pensiun, yang bersumber dari akumulasi iuran dari pekerja dan pemberi kerja beserta seluruh hasil investasinya. “Prinsip gotong-royong antarpeserta dan antargenerasi terjadi pada program jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Agus.
Agus sadar setiap program jaminan pensiun punya kelebihan dan kekurangan. Namun, dia mengingatkan, hal terpenting dalam pengelolaan program pensiun adalah kecukupan manfaat, kemampuan kontribusi peserta, kemandirian pembiayaan, dan keberlanjutan program dalam jangka panjang.
Direktur Utama Asabri R. Wahyu Suparyono tak kunjung merespons berbagai pertanyaan Tempo lewat panggilan telepon, pesan online, dan surat permohonan wawancara tentang bisnis perseroan. “Waktunya belum memungkinkan,” kata Corporate Communications Officer Asabri Desy Ananta Sembiring melalui pesan tertulis.
AISHA SHAIDRA, INGE KLARA SAFITRI, FAJAR FEBRIYANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo