Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"JIKA Anda stroke, berdoalah supaya ditolong Marsillam Simanjuntak. Sebab, Rahman Tolleng mati karena ditolong Marsillam.”
Kalimat yang terdengar sarkastis itu diucapkan Amarzan Loebis saat peringatan wafatnya aktivis Rahman Tolleng di kantor Tempo di bilangan Palmerah, Jakarta Selatan, 7 Februari 2019. Rahman, 81 tahun, berpulang sepekan sebelumnya karena penyakit mematikan itu. Marsillam, aktivis yang pernah menjadi Jaksa Agung, memboyong Rahman ke rumah sakit. Marsillam memang tak pernah berpraktik sebagai dokter. Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 1971, ia lebih senang menekuni ilmu hukum. Marsillam, Rahman, dan Amarzan disatukan oleh kelas evaluasi tajuk di kantor Tempo. Bertahun–tahun setiap Rabu ketiganya membedah editorial majalah Tempo dan Koran Tempo.
Amarzan juga didera stroke lebih dari setahun sebelum tahlil Rahman itu. Ceritanya begini. Sejumlah wartawan, termasuk Amarzan, berjanji makan bersama di restoran Padang tak jauh dari kantor Tempo pada suatu siang. Amarzan datang lebih awal. Belum lagi yang lain hadir, penyakit menyerang. Wartawan Tempo, Bagja Hidayat, dan mantan juru bicara wakil presiden Boediono, Yopie Hidayat, membantu beberapa menit kemudian. Amarzan selamat meski tak benar-benar pulih. Tapi pertolongan keduanya itulah yang kemudian “disesali” Amarzan. “Lebih baik mati daripada tak berdaya oleh stroke,” katanya, terkekeh.
Beberapa hari sebelum kepergiannya, lagi-lagi Amarzan melempar gurau. Ketika itu ia terkapar di rumah sakit menjelang operasi penggantian bonggol tulang kakinya yang patah. Ia menelepon saya, mengabarkan perihal rencana operasi itu. “Tapi jangan cemas,” ujarnya. “Setelah operasi ini, tinggi badanku akan bertambah beberapa sentimeter.”
Kesediaan menertawakan diri adalah ciri Amarzan. Ini modal penting dalam bergurau—juga bagian penting dalam hidupnya. Tak pernah ada yang benar-benar pedih dalam perjalanannya: dipenjara, dibuang ke tempat yang jauh, ditinggalkan pacar, hingga dihampiri malaikat maut. “Humor adalah sublimasi kearifan,” ucap Abdurrahman Wahid dalam pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia—buku yang versi Indonesianya disunting Amarzan. “Rasa humor adalah tanda pengenal yang layak dipercaya,” tutur novelis Cek, Milan Kundera. “Saya selalu bisa menge-nali orang yang bukan Stalinis, orang yang tidak perlu saya takuti, hanya dengan caranya tersenyum.”
Menertawakan diri tak berarti menghina diri sendiri. Dalam banyak kesempatan, Amarzan bisa meninggi juga. Ia, misalnya, selalu menyebut tempat tinggalnya di -Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, sebagai perumahan mewah. Barang pribadinya selalu ia sebut “mahal”—meski orang di sekelilingnya tahu Amarzan bukan orang yang senang berlebih-lebihan. Ia tak bermaksud sombong, hanya ingin meledek diri -sendiri.
Dalam berbagai kesempatan makan bersama teman-teman, ia kerap pamer kenalan. Di depan rekan makannya, ia bertanya kepada pramusaji: “Apa Retno masih bekerja di sini?” Nama itu sesungguhnya ia comot saja dari sembarang tempat. Ketika nama tersebut benar-benar ada, Amarzan akan tersenyum pongah. Jika tidak, dia sudah punya cara menyelamatkan diri. “Retno memang sudah bertahun lalu bekerja di sini. Mungkin sudah keluar dan Anda tak sempat mengenalnya.”
Bergurau juga membuat Amarzan selamat dari konfrontasi. Dalam grup percakapan WhatsApp Tempo yang beranggotakan sekitar 50 wartawan, Amarzan salah satu yang cerewet. Ia gemar mengomentari banyak hal, termasuk mengkritik seorang pembantu presiden berkepala plontos. Ada saja yang dibahasnya, dari ketidakcakapan menteri itu bekerja sampai kebiasaan memelihara hewan ternak. Menganggapnya keterlaluan, Goenawan Mohamad pernah bersuara keras. “Bung, dia teman saya.” Yang lain mengkeret, diam menunggu reaksi. Lalu, dengan enteng Amarzan menukas: “Nah!” Kata pamungkas itu penanda bahwa Amarzan setuju, atau -menyerah—tanpa bermaksud menyatakan kalah.
Dari mana datangnya gurau Amarzan? Tak ada jawaban pasti. Ia menyebutkan tradisi kongko di kampung halamannya punya peran. Dia lahir di Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada 1941, dan baru hijrah ke Jakarta saat berusia 23 tahun. Seperti banyak daerah lain di Sumatera, tradisi minum kopi di kedai di kota kelahirannya tumbuh subur—perjamuan yang diselingi canda-tawa dan percakapan tak tentu arah. Dalam perbincangan itulah tiap orang akan berlomba melempar gurau dan cerita. Makin piawai seseorang mengolah kisah, makin terpandang dia.
Dalam mengolah gurau, akurasi tak penting betul. Nama, waktu, dan peristiwa bisa meleset. Tapi itu dilakukan bukan untuk mencelakakan orang lain, melainkan agar cerita menjadi asyik.
Amarzan punya kisah. Pada awal Kemerdekaan, tersebutlah seorang dokter lulusan Belanda bernama Mansyur. Kepada seorang pasiennya, Mansyur memberikan resep. “Ini resep diminum tiga kali sehari,” katanya. Esoknya, pasien itu datang, minta resep lagi. Mansyur bertanya kenapa pasien itu kembali lantaran resep yang ia berikan untuk tiga hari. Sang pasien menukas, “Kertas resep itu sudah saya minum tiga kali kemarin.”
Amarzan menyebut Mansyur sebagai “pernah paman”—frasa yang tak membutuhkan verifikasi.
Luka sebagai tahanan politik (tapol) juga memperkuat gurau Amarzan. Sebelas tahun ia mendekam di terungku Orde Baru—setahun di penjara Salemba, dua tahun di Nusakambangan, dan delapan tahun di Pulau Buru. “Soeharto merampas usia -produktif saya,” ujarnya, kali ini tak bergurau. Ia menghadapi masa-masa yang sulit. Di penjara, ia menyantap apa saja: -daging tikus yang dibakar api lilin atau kucing yang dikuliti beramai-ramai bersama tapol lain.
Humor dengan demikian adalah siasatnya mengatasi kepedihan. Pernah suatu ketika para tahanan dibariskan dalam kelompok berdasarkan agama yang dianut. Entah mengapa Amarzan menyelinap di antara tahanan politik Nasrani. Seorang penjaga asal Medan mengenal Amarzan sebagai muslim. Ia mendekati sang tahanan dan berbisik menahan marah: “Segera pindah ke barisan Islam. Jangan bikin malu orang Medan. Sudah PKI, Kristen pula kau!”
Ihwal setrum interogator, Amarzan menjelaskan: “Setelah berkali-kali disetrum, suaraku jadi kecil seperti perempuan. Kemaluan jadi mengkeret dan memutih.” Tak ada kengerian dalam cerita itu—seperti kisah perjalanan yang asyik.
Yang asyik memang bukan cuma Amarzan, tapi juga warna-warni pengalaman hidupnya. Sebelum ditangkap tentara, ia adalah wartawan Harian Rakyat Minggu, koran yang berafiliasi dengan PKI. Ia dekat dengan tokoh-tokoh komunis dan akrab pula dengan orang di sekeliling Bung Karno.
Amarzan Loebis bersama istrinya di Singapura, 2007. Dok. Keluarga
Salah satunya Teuku Markam, pengusaha kaya asal Aceh yang menyumbangkan 28 kilogram emas untuk puncak Monumen Nasional. Banyak membantu pemerintah, Markam dipercaya mendapat kemudahan berbisnis dari Bung Karno. Saking akrabnya, Markam memanggil sang Presiden dengan sebutan “Ayahanda”.
Suatu ketika, Markam diajak Bung Karno melawat ke Amerika Serikat. Di New York, Presiden berbicara dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Markam diagendakan bertemu pula dengan wartawan Amerika. Markam tak fasih berbahasa Inggris. Tahu bahaya mengancam, Yunus, asisten Markam, memberikan nasihat: “Nanti Teuku bicara bahasa Indonesia saja, nanti saya terjemahkan.” Markam tersinggung. “Ah, apa kau! Biar aku bicara Inggris!”
Maka, terjadilah tragedi itu. Markam berpidato di depan wartawan.
“Ladies and gentlemen. Father said go America. I go….”
Lalu sunyi.
“And the now…, and the now….”
Hening. Para wartawan menunggu.
Markam lalu menoleh ke arah Yunus. “Nus, kau teruskan pidato saya.”
Gurau dalam percakapan, gurau pula dalam perbuatan. Pernah suatu waktu Amarzan bertandang ke Singapura atas undangan Goenawan Mohamad, yang tengah berpentas di sana. Karena kesalahan teknis, oleh panitia sebagian rombongan dari Jakarta diinapkan di Geylang, kawasan pelacuran tak jauh dari Bandar Udara Changi. Saya juga hadir meski terbang sehari setelah Amarzan. Turun dari kereta cepat, saya dijemput Amarzan di ujung jalan. Dari kejauhan dia memanggil-manggil sambil memperbaiki sarungnya yang kedodoran (Ya, dia benar-benar memakai sarung di kota metropolitan itu.)
“Kita jangan langsung ke hotel,” tuturnya. “Kau harus melihat lingkungan di sini.”
Lalu kami berkeliling, melewati lorong-lorong yang mengkategorikan para pekerja seks berdasarkan ras dan kebangsaan. Bagai pemandu wisata, Amarzan menunjukkan perempuan berjejer di lobi hotel dan rumah-rumah bordil dengan tanda besar di depannya: “condom must be used”. “Kawasan ini tak tertera dalam peta wisata Singapura,” ucap Amarzan, kagum.
Lantas ide kreatif itu muncul. Sesampai di Jakarta nanti, ia berjanji menulis artikel tentang kawasan ini. Saya setuju. “Aku sudah mendapatkan judul yang bagus untuk tulisanku nanti,” kata Amarzan.
“Apa?” saya menyergah.
“Mengunjungi kemaluan Singapura,” dia menjawab.
Saya terbahak.
Tawa saya kembali meledak beberapa bulan setelah itu, saat Amarzan menelepon untuk mengabarkan bahwa ia kembali ke Singapura. “Aku menginap di hotel yang sama dengan tempat kita kemarin,” ujarnya, cengengesan. “Kali ini aku melawat bersama istriku.”
ARIF ZULKIFLI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo