Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VALIANT Budi Yogi, 39 tahun, sering berubah menjadi anak-anak setelah bangun tidur. Begitu matanya terbuka, otak pria ini kerap mengingatkan bahwa ia harus segera berangkat ke sekolah. Pikiran ini membuatnya langsung gelisah. Ia segera mencari seragam merah-putihnya. “Ma, seragamnya mana? Kok, enggak ada? Sekolah jam berapa?” kata Valiant di Ubud, Gianyar, Bali, Selasa, 10 September lalu.
Ia tak mendengar jawaban. Valiant kemudian sadar bahwa ia sendirian. Ia bertambah bingung setelah melihat sekeliling ruangan. Bentuknya tak seperti kamar terakhir yang ditinggalinya di Bandung. Semuanya terasa asing.
Kepanikannya makin menjadi begitu ia melihat cermin. Pantulannya di kaca memperlihatkan wajah bulat pria dewasa dengan cambang di dagu dan pipi. Tubuhnya membesar berkali lipat dari yang ia ingat. Seketika ia histeris. “Itu siapa? Kenapa aku ada di tubuh om-om?” Ia pun menangis.
Pada pagi hari lain, Valiant terbangun seperti bayi. Ketika itu, ia sedang dirawat di rumah sakit. Ia mengoceh. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas. Sampai kemudian ia menunjuk dada teman perempuan yang datang menengoknya. “Mau nenen,” katanya. Seisi ruangan hening mendengar permintaan itu.
Di waktu lain, Valiant terjaga dengan perasaan sangat kesal. Ia ingat saat berantem dengan temannya di sekolah. Kawan itu memukulnya. Ia dongkol dan ingin sekali membalas hantaman tersebut. Namun beberapa jam kemudian ia tersadar, kejadian itu sudah lewat puluhan tahun lalu. “Tapi perasaan kesalnya seperti baru dipukul kemarin,” ujarnya. Sebagian pengalaman ini ia bagikan di akun Twitternya pada 10 Agustus lalu.
Memori Valiant sering tersangkut pada masa lampau semenjak ia pingsan di rumah kontrakannya di Ubud empat tahun lalu. Kadang ingatannya bisa pulih dalam beberapa menit. Namun tak jarang otaknya butuh waktu sampai berjam-jam untuk kembali sadar akan kondisinya sekarang.
Valiant ingat, sebelum jatuh tak sadarkan diri, ia sedang mengerjakan beberapa proyek menulis dan menciptakan lagu. Ia sering begadang hingga larut malam ditemani rokok dan kopi. Pada pagi 10 Agustus 2015, ketika ia sedang beberes kamar sendirian, tiba-tiba seperti ada sengatan listrik yang menjalar di punggung, leher, sampai ke ubun-ubunnya. Valiant ambruk.
Beberapa kali tersadar, ia merasa seperti ada silet tumpul yang mengiris-iris otaknya. Denyut jantungnya tak beraturan, mata kirinya panas, dan pandangannya berganda. Teman-teman yang kebetulan datang melarikannya ke rumah sakit.
Dokter spesialis saraf dari Rumah -Sakit Ari Canti, Ubud, Tjok Istri Putri Parwati, yang merawatnya, mengatakan Valiant terserang stroke. Hasil computerized tomography scan memperlihatkan ada pembuluh darah di otak bagian samping (temporal) kirinya yang pecah.
Bagian itu antara lain berfungsi sebagai tempat penyimpanan memori, bahasa, dan perilaku. Kerusakan pada sisi otak ini di antaranya akan membuat memori hilang atau acak, perilaku berubah, dan kemampuan bahasa berkurang. Istilahnya: gangguan mental organik. “Akibatnya tidak seperti stroke yang mengenai bagian yang mengatur gerak, yang menyebabkan kelumpuhan,” ucapnya.
Menurut kakak Valiant, Vanny Yogitya Devi, sampai beberapa hari saat perawatan di rumah sakit, perkataan Valiant sulit dimengerti. Ia terkadang menjelaskan sesuatu tapi dengan mencampurkan bahasa Sanskerta, Belanda, atau Rusia. Kadang malah ia berkomunikasi dengan bahasa bayi.
Vanny berpikir Valiant mengalami kesulitan bicara. Maka ia meminta adik bungsunya itu menuliskan apa yang hendak disampaikan. Namun hasilnya sama. Tulisan Valiant pun susah dipahami. “Ada yang saya tahu artinya, tapi kalimatnya enggak nyambung,” tuturnya.
Perilaku Valiant juga berubah. Ketika di rumah sakit, ia kembali menjadi bocah. Ia merengek meminta cokelat, tak menolak disuapi ketika makan, dan kepalanya digoyang-goyangkan setiap kali berbicara. Persis seperti perilaku Valiant saat kecil. “Kalau mau pipis, dia bilangnya mau mimi,” kata Vanny.
Valiant, Vanny melanjutkan, juga beberapa kali tak mengenali temannya yang datang menengok. Suatu waktu, Vanny bingung karena Valiant tiba-tiba memanggil-manggil Abah, kakek mereka, yang meninggal pada 1986.
Ihwal ingatan masa lalu yang tiba-tiba muncul ini, dokter spesialis saraf Yuda Turana menjelaskan bahwa otak memiliki kemampuan menyimpan banyak sekali memori. Makin emosional peristiwa yang dialami, makin lama memori itu disimpan oleh otak. “Peristiwa yang penuh emosi lebih terekam dibanding peristiwa yang biasa,” ucapnya.
Tjok Istri Putri Parwati
Namun, kalau ada stimulus emosi positif dan negatif datang bersamaan, kata Yuda, otak memilih merekam stimulus emosi negatif lebih lama, terutama jika stimulus itu terjadi pada anak dan remaja. Hukuman dari orang tua, misalnya, akan lebih diingat oleh anak ketimbang hadiah yang diberikan kepadanya.
Ingatan Valiant berulang kali tersangkut pada masa ketika ia masih duduk di sekolah dasar. Ia mengaku tak begitu senang menjalani masa-masa itu. “Saya suka seni, seperti musik dan menari, sementara di sekolah yang dipelajari sesuatu yang tak saya sukai,” ujarnya.
Saat kecil, ia juga menyimpan perasaan bersalah kepada abahnya. Sebelum kakeknya itu meninggal, Valiant sempat memijatnya. Saat itu dia menyangka abahnya wafat gara-gara ia pijat. Meski Valiant dewasa sadar bukan itu penyebabnya, perasaan bersalah tersebut telanjur tertanam di otaknya saat ia masih kecil. “Mungkin karena otak saya saat itu stuck di situ.”
Dengan berbagai pengobatan, kembalinya ingatan Valiant yang tertambat ke masa lalu sudah tak sesering dulu. Ia kini rata-rata hanya mengalaminya sekali dalam sebulan. Namun kadang otaknya tiba-tiba seperti kosong. Beberapa bulan lalu, saat mengendarai sepeda motor sendirian ke arah Sanur, Denpasar, ia tiba-tiba blank. Akibatnya, ia nyungsep di pinggir jalan.
Vanny juga mengakui sikap Valiant masih kadang berubah. Adiknya yang ia kenal suka membanyol dan ceplas-ceplos itu bisa berubah menjadi sangat sopan. “Anak saya juga bilang, ‘Om Valiant kadang kayak bukan Om, ya’,” tuturnya.
Tjok Istri Putri Parwati menyarankan, selain mengkonsumsi obat harian, Valiant bisa menjalani tes mini-mental -state examination yang bisa dilakukan di poliklinik neuro-behavior di rumah sakit besar untuk mengetahui seberapa parah gangguan mental organik yang dideritanya. Tes ini akan menjadi dasar stimulasi yang bisa dilakukan untuk meringankan gangguan. “Misalnya, kalau tahu ingatannya menurun, orang dekatnya bisa membantunya mengingatkan kembali, terus-menerus,” ucapnya.
NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenali Stroke
VALIANT Budi Yogi terserang stroke saat berusia 35 tahun. Selain memiliki faktor genetik—ayah dan neneknya juga menderita stroke—Valiant sebelumnya tak begitu peduli terhadap kesehatannya. Ia sangat jarang berolahraga, doyan begadang, terbiasa merokok, sering memakan jeroan, dan kurang minum air putih.
Tiga tahun sebelum stroke itu datang, tubuhnya sebenarnya sudah mengirimkan sinyal. Sakit kepala sering menyerang. Mata kirinya pun pernah sulit ditutup. “Tapi waktu itu saya mengira itu masuk angin biasa,” tuturnya.
Vanny Yogitya Devi, kakak Valiant, juga mengatakan sang adik sempat menderita sakit kepala hebat sebulan sebelum terserang stroke. “Waktu itu dia menolak dibawa ke rumah sakit,” katanya.
Kementerian Kesehatan menyebutkan ada gejala awal stroke yang bisa dikenali masyarakat. Jika mengalami gejala ini, segeralah datang ke rumah sakit:
» Senyum tak simetris
» Gerakan separuh anggota tubuh melemah tiba-tiba
» Pelo atau tiba-tiba tak dapat berbicara atau tidak mengerti kata-kata atau berbicara tidak nyambung
» Kebas atau baal atau kesemutan separuh badan
» Rabun, pandangan satu mata kabur, terjadi tiba-tiba
» Sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba dan tidak pernah dirasakan sebelumnya; gangguan fungsi keseimbangan, seperti terasa berputar; gerakan sulit dikoordinasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo