Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perjalanan ritual thudong para bhante dari Thailand selatan ke Candi Borobudur.
Diikuti 32 bhante yang berasal dari berbagai negara.
Ada sambutan luar biasa dari masyarakat.
SABTU pagi, sekitar pukul 05.00, masih remang-remang, para biku mulai bergerak dari Banyuputih, Kabupaten Batang, menuju Weleri, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Semalam mereka menginap di rumah seorang pemeluk Buddha. Setelah sekitar empat jam perjalanan, mereka singgah di pendapa Kecamatan Weleri. Tempat ini semula tidak termasuk tempat persinggahan para bhante itu, tapi masyarakat berinisiatif menyambut thudong dan mengusulkannya kepada panitia. “Kami lalu patungan untuk membeli handuk, sandal jepit, koyok, minyak kayu putih, kira-kira bahan yang diperlukan bhante dalam perjalanan,” ucap Tedy Sukono, koordinator penyambutan thudong di Weleri. Dia seorang Katolik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Weleri, para bhante menuju pusat kota Kendal. Mereka sampai di pusat kota sekitar pukul 16.00 dan langsung menuju kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Kendal. Sambutan massa meriah di sana. Begitu para bhante memasuki ruangan kantor, anggota NU Kendal segera memijat kaki mereka. Betul-betul potret toleransi. Dari NU, kata sambutan dibawakan oleh Izzudin, pengurus NU Kendal. Para bhante diberi kenang-kenangan berupa lukisan wajah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Kami mewarisi semangat toleransi dan pluralisme Gus Dur,” tutur Izzudin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari kantor PCNU, mereka berjalan menuju Gereja Santo Antonius Padua di Jalan Pemuda Nomor 10, Kendal. Di gereja itu, para bhante disambut oleh Romo Wegig. Di aula gereja, para bhante disuguhi tarian. Acara ramah-tamah dilanjutkan dengan sajian tari darwis oleh Gusdurian Kendal. Sungguh tak terduga. Di aula gereja, tarian ini dibawakan dengan iringan lagu kebangsaan Indonesia: "Tanah Airku". Setelah tarian selesai, para bhante bersama-sama mendaraskan paritta suci.
Biksu yang mengikuti ritual Thudong menyapa warga di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 26 Mei 2023. Antara/Harviyan Perdana Putra
Para bhante menginap di lantai dua gereja. “Saya melayani bhante. Besok pagi para bhante akan sarapan di gereja. Lalu akan kami bawakan nasi kotak bekal perjalanan untuk makan mereka sebelum pukul 13.00,” ujar Romo Wegig, yang menyatakan memenuhi semua permintaan bhante. Di halaman samping aula, para bhante tampak menjemur jubah luar mereka. “Saya menyediakan tiga mesin cuci untuk mencuci jubah-jubah bhante bila para bhante mau menggunakan mesin cuci,” ucap Romo Wegig.
Esoknya, perjalanan dilanjutkan menuju Semarang. Para bhante selalu memulai perjalanan pada pukul 05.00. Enam jam kemudian, mereka sampai di kawasan Kecamatan Tugu. Di Taman Lele, mereka disambut pertunjukan barongsai dan liong, yang kemudian mengikuti perjalanan menuju Vihara Adi Dharma di Jalan Widoharjo 22, Semarang. Warga ramai memberi sambutan. Umat Buddha di vihara itu menaburkan bunga untuk jalan para biku. Di vihara ini, para biku mendaraskan paritta panjang. Bhante Wawan yang memimpin rombongan pun menjelaskan perjalanan panjang para biku tersebut dan tantangannya.
“Mendekati border Malaysia, beberapa biku dari Laos, karena panas terik yang sangat menyengat, tidak kuat. Mereka memutuskan kembali ke Laos,” kata Bhante Wawan. Mereka kemudian beristirahat di Vihara Adi Dharma. Senin pagi harinya, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kelenteng Tay Kak Sie, yang populer dengan nama Kelenteng Gang Lombok.
Rombongan bhante thudong menyeberangi Sungai Kaligarang, Semarang, 29 Mei 2023. Tempo/Jamal Abdun Nashr
Sejak pukul 05.00, umat Buddha sudah ramai berdesakan memadati plaza atau pelataran depan kelenteng itu. Tepat di depan kelenteng, sama seperti umat Vihara Adi Dharma, pemeluk Buddha di Kelenteng Tay Kak Sie memasang karpet merah untuk jalan biku dan menaburkan bunga di sepanjang karpet. Suasana spiritual sangat terasa saat para biku melintasi karpet bunga. Tambur dan simbal Cina ditabuh dari arah vihara.
Di dalam kelenteng, para biku kembali mendaraskan paritta. Lalu dua biku memerciki umat dengan air suci. Sementara itu, umat menyampaikan persembahan sangha dana kepada para biku. Dari Kelenteng Tay Kak Sie, mereka berjalan menuju tempat meditasi vihara hutan di Bukit Kassapa, Kecamatan Pudakpayung, Semarang. Perjalanan ke tempat meditasi yang dikenal dengan nama Vihara Sima 2500 Buddha Jayanti ini berat karena harus melewati sungai dan menaiki bukit yang terjal.
Vihara ini adalah tempat bersejarah bagi umat Buddha Jawa. Pada 1955, Bhante Ashin Jinarakkhita, yang merupakan bhante pertama Indonesia semenjak zaman Majapahit, menemukan lokasi ini. Letaknya di tengah hutan yang cukup lebat. Posisinya seperti mangkuk, cekungan yang dikelilingi dataran tinggi. Tanah di situ milik Goei Thwan Ling yang kemudian dihibahkan kepada Bhante Ashin. Bhante Ashin membangun tempat meditasi seni berupa vihara sederhana. Sampai sekarang vihara itu masih sederhana, hanya ada pendapa terbuka dan dua kuti—tempat meditasi kecil. Pada 1958, Bhante Ashin mengajak bhante terkenal dari Sri Lanka, Bhante Narada Mahathera, ke tempat ini. Di situ beberapa biku Buddha asli Indonesia pun ditahbiskan.
Perjalanan para bhante dari Kelenteng Tay Kak Sie menuju bukit ini melalui rute Kranggan-Depok-Tugu Muda-Karyadi-Kaliangrang Kelud-Kretek Wesi-Pakintelan. Di Pakintelan, terdapat Vihara Pakintelan. Dulu sebagian besar penduduk di wilayah itu memeluk Buddha. Para biku beristirahat sebentar di Vihara Pakintelan, lalu menyeberangi sungai yang kecil dan dangkal bernama Sungai Kaligaran. Bhante Ashin dikatakan pernah juga bertapa di dekat sungai ini. Meski sungai ini dangkal dan dapat dilalui, sebelum kedatangan para bhante, warga setempat dua hari bergotong-royong membuat jembatan berupa pematang kecil dari kayu. “Kami tidak ingin kaki para biku basah saat menyeberangi sungai. Maka kami membuat titian ini,” ucap seorang warga.
Dari Vihara Jayanti, para biku melanjutkan perjalanan ke Bawen dan Ambarawa di Kabupaten Semarang dan menginap di Kelenteng Hok Tik Bio. Meski para biku dijadwalkan tiba di Kelenteng Hok Tik Bio pada pukul 18.00-19.00, warga Ambarawa sudah memadati jalan raya di depan kelenteng tersebut sebelum jam itu. Saking banyaknya warga, sampai-sampai perjalanan bus dan truk yang melewati jalan itu dialihkan. Warga menyambut biku di kanan dan kiri jalan sehingga para biku seperti memasuki lorong panjang.
Saat berada di kelenteng, para biku naik ke lantai dua yang memiliki teras terbuka menghadap jalan. Mereka berjajar di sana, memandang warga yang demikian ramai di bawah. Dari teras itu, para biku lantas mengguyurkan air dengan gayung ke bawah, yang disambut “histeris” warga dan umat Buddha yang berjubel. Esoknya, mereka meneruskan perjalanan menuju Magelang, tempat Candi Borobudur berada.
•••
VIHARA Dewi Welas Asih, Cirebon, Jawa Barat, juga menjadi saksi perjalanan ribuan kilometer para bhante dari Thailand menuju Candi Borobudur di Magelang. Dari pembicaraan dua sekawan, Bhante Wawan alias Biku Kantadhammo dan Didi Setiadi alias Prabu Diaz, pada 2016, jadilah para bhante dari berbagai negara melaksanakan ritual thudong dari Thailand ke Borobudur. Bhante Wawan memimpin perjalanan ribuan kilometer dari Nakhon, Thailand selatan, sementara Prabu Diaz mengawal bersama dua dayaka yang melayani para bhante.
Mereka menyusuri sepanjang wilayah Thailand selatan pada 23 Maret lalu mulai pukul 09.00 waktu setempat menuju Malaysia. Sebanyak 54 bhante dari Malaysia (4 orang) dan Thailand (30 orang) serta India, Nepal, Myanmar, dan Indonesia saat itu bergerak menjalani ritual jalan kaki ini. Selama 10 hari perjalanan, banyak bhante yang mengundurkan diri.
Cuaca dan suhu udara yang tinggi, bahkan hingga 41 derajat Celsius, menjadi hambatan. Mereka menyusuri jalan melalui pantai selatan hingga ke Malaka. “Ada satu bhante yang tidak melanjutkan perjalanan karena jatuh dan luka. Akhirnya tinggal 32 bhante saja,” ujar Prabu Diaz kepada Tempo.
Prabu Diaz, Panglima Tinggi Laskar Macan Ali Nuswantara Cirebon. Tempo/Ivansyah
Prabu Diaz mengikuti jejak para bhante. Kadang ia berjalan kaki, kadang menumpang mobil atau sepeda motor umat Buddha karena tak bisa mengikuti ritme jalan para bhante yang cepat. Dari Malaka, mereka tiba di Singapura pada 30 April lalu dan singgah selama 10 hari. Dari Singapura, mereka menyeberang ke Batam menggunakan feri, kemudian naik pesawat menuju Jakarta. Di Tangerang, Banten, para bhante menghadiri undangan kegiatan umat Buddha di Teluk Naga. Baru paginya mereka menghadiri undangan dari Kementerian Agama. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha kemudian melepas perjalanan para bhante menuju Borobudur melalui Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Dari Jakarta, mereka melalui jalur pantai utara lewat Bekasi, lalu ke Cikarang, Karawang, Cikampek, Pamanukan, Kandanghaur, Jatibarang, hingga Cirebon. Selama perjalanan itu, mereka singgah dan menginap di beberapa pondok meditasi serta vihara. Di Indramayu, misalnya, rombongan bhante beristirahat di Pondok Pesantren Uniq, Kandanghaur, sementara di Jatibarang mereka mengaso di Vihara Budhi Asih. Setiba di Cirebon, mereka sempat agak lama berehat, sekitar lima hari. Di sana mereka melakukan beberapa kegiatan bersama umat Buddha.
Biksu melakukan ibadah puja bakti di Kelenteng Tek Hay Kiong, Tegal, Jawa Tengah, 23 Mei 2023. Antara/Oky Lukmansyah
Menginap di Markas Batalyon C Pelopor Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Barat di Winong, Kabupaten Cirebon, dua bhante asal Thailand terlihat tengah bertelanjang dada dengan celana tiga perempat berwarna senada dengan jubah mereka. Salah satu bhante tampak berdiri sambil memegang pencukur jenggot yang digunakan untuk memangkas rambut yang sudah mulai tumbuh di kepala temannya yang tengah duduk. Di sisi lain, di tempat teduh penuh pohon, seorang bhante terlihat membawa ember kecil berwarna hitam berisi jubah yang baru selesai dicuci. Jubah itu segera dijemur pada seutas tali yang diikatkan di antara pepohonan. Deretan jubah lain yang lebih dulu dijemur pun terlihat.
“Kalau beristirahat ya seperti ini. Kami mencuci jubah yang dipakai,” tutur Bhante Wawan yang juga disebut Khruba Kantadhammo. Memakai hanya satu jubah dan tidak membawa jubah lain, mereka harus pintar-pintar mencari waktu untuk mencuci jubah. “Biarpun besok belum kering, tetap kami pakai,” ucapnya. Ia menjelaskan, untuk masuk upasapada, mereka hanya mempunyai satu jubah dan satu sangati. Angsa, sarung, dan sabuk bisa dua helai. Jubah mereka baru bisa diganti jika sudah tidak layak, itu pun harus dengan ritual khusus.
Dari Markas Brimob, mereka melanjutkan perjalanan ke Vihara Plered. Setelah beristirahat sebentar, mereka langsung berjalan kembali menuju rumah ketua thudong bhante internasional, Welly Widadi. Sejumlah pemeluk Buddha tampak mencuci kaki para bhante sebagai bentuk penghormatan. Mereka mencuci kaki para bhante satu per satu sebagai wujud bakti kepada orang tua, guru, atau tokoh agama. Setelah menerima sejumlah pemeluk Buddha, esoknya mereka menuju vihara, lalu ke Gereja Santo Yusuf di Cirebon.
Bhante Wawan, biksu asal Cirebon yang mengikuti aksi thudong. Tempo/Ivansyah
Romo Antonius Eko Susanto, OSC, alias Romo Santo, pemimpin Gereja Santo Yusuf, dengan mata berkaca-kaca menyambut haru kedatangan bhante. “Kunjungannya memang dadakan, tapi kami bersukacita,” tuturnya. Kedatangan rombongan bhante disambut baik. Romo Santo berujar bahwa dia belum pernah mendapat kunjungan bhante. “Seumur hidup saya jadi romo, baru ini saya menerima dan terharu,” ucapnya. Hal ini menunjukkan keberadaan pluralisme di Indonesia, khususnya di Cirebon. Romo dan para bhante pun terlibat diskusi di gereja.
Selain datang ke gereja, rombongan bhante mengunjungi Keraton Kasepuhan dan diterima dengan baik oleh Patih Sepuh RR Gumelar Suryadiningrat. “Kami terima dengan baik dan senang hati,” katanya. Kedatangan mereka, menurut Gumelar, merepresentasikan kultur Indonesia yang sejak dulu menjunjung tinggi pluralisme, termasuk di Cirebon.
Terharu dan kaget, itulah ungkapan yang keluar dari para bhante melihat antusiasnya masyarakat pantai utara yang menyambut mereka. “Saya sebagai warga Cirebon kaget dan terharu. Saya tidak mengira sambutan masyarakat di sini luar biasa,” tutur Bhante Wawan. Mereka bahkan dengan sukarela memberikan makanan dan minuman kepada para bhante.
Biksu yang mengikuti ritual thudong berbagi makanan dengan anak-anak saat tiba di Koramil 10 Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, 25 Mei 2023. Antara/Harviyan Perdana Putra
Ia dan bhante lain dari Malaysia dan Thailand menggambarkan sambutan masyarakat menggunakan jari mereka. Sambutan di Thailand disamakan dengan satu ruas kelingking, sementara di Malaysia seluruh ruas kelingking. Untuk sambutan masyarakat di Indonesia, para bhante itu membuka dua telapak tangan yang saling menjauh. “Sangat luar biasa,” ujar Bhante Wawan.
Dalam perjalanan, Bhante Wawan mengungkapkan, ia sempat mengalami mimisan akibat suhu udara yang mencapai 46 derajat Celsius. Akibat faktor cuaca ini, juga kelelahan, dari 54 bhante yang mengikuti thudong, tersisa 32 orang saja. Mereka berasal dari Thailand, Malaysia, Laos, Myanmar, dan Indonesia. Melalui ritual thudong, mereka juga mengenalkan peninggalan Buddha di sepanjang perjalanan. Perjalanan itu sekaligus membuka mata kaum buddhis Indonesia bahwa biksu hutan masih ada sekalipun jumlahnya sedikit.
Bhante Wawan enam tahun lalu memutuskan menjadi biksu. Sebelumnya, ia adalah direktur keuangan di salah satu perusahaan swasta besar di Indonesia. Bahkan dalam perjalanan ini ia menghibahkan lahan seluas 1,5 hektare miliknya di Palutungan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, untuk para biksu bermeditasi.
Ia menjelaskan, dari 32 bhante, selain dia, hanya ada satu orang yang pernah datang ke Borobudur tanpa ritual thudong. Sebanyak 30 bhante lain untuk pertama kalinya melakukan thudong ke Indonesia dan mengunjungi Borobudur. Menurut dia, perjalanan thudong ini adalah sebuah momen. Dia bermodal nekat dan semangat. Bantuan dan sponsor mulai berdatangan ketika bendera mulai dikibarkan. Sebagian bhante sudah berpengalaman menjalani thudong di berbagai negara lain. Ia melihat banyak sampah di India dan Indonesia sepanjang pengalamannya.
•••
PERJALANAN panjang ribuan kilometer ini tak lepas dari dua orang kunci, yakni Bhante Wawan dan Prabu Diaz. “Saya mempelajari apa itu thudong sejak 2019 bersama Bhante Wawan yang kebetulan orang asli Cirebon,” tutur Prabu Diaz. Ia bahkan sempat pergi ke Nepal untuk mengetahui kehidupan para bhante. Para bhante Thailand dikenal pernah melakukan thudong sampai ke India, bahkan hingga wilayah Timur Tengah. Tapi belum ada catatan para bhante menjalani thudong dengan menyusuri jalan-jalan di Indonesia. “Padahal di Indonesia ada tempat terbesar untuk beribadah umat Buddha, yakni Candi Borobudur,” ujarnya.
Semenjak 2019 itu, Bhante Wawan dan Prabu Diaz terus berkoordinasi mewujudkan thudong ke Indonesia. Tapi tiba-tiba pandemi Covid-19 melanda dan mereka mesti keluar dari dua negara itu. Bhante Wawan keluar dari India dua jam sebelum dilakukan penguncian wilayah atau lockdown. Sedangkan Prabu Diaz keluar dari Nepal via Taipei dan lewat Singapura dengan harapan bisa masuk melalui Batam, tapi ternyata sudah dilakukan lockdown. Dia lalu lewat Kuala Lumpur dan berhasil masuk ke Indonesia.
Semangat melakukan ritual thudong kembali muncul seiring dengan meredanya pandemi Covid-19. Pada awal Januari lalu, Prabu Diaz bersama pengurus thudong internasional memastikan perjalanan spiritual ke Borobudur. Prabu Diaz yang mengurus izin di Jawa. Banyak daerah yang sebelumnya tidak masuk daftar titik perhentian bhante. Warga setempatlah yang berinisiatif menyambut mereka. Perwakilan Umat Buddha Indonesia membantu mengkoordinasi rute dan persinggahan para bhante.
Prabu Diaz tergerak mewujudkan rencana thudong ke Indonesia karena ingin mengamalkan nilai-nilai toleransi dan kebinekaan yang diturunkan leluhurnya. Ia salah satu bangsawan Cirebon, Panglima Laskar Macan Ali. Laskar Keraton Cirebon ini, berdasarkan keterangan beberapa kitab, ikut membantu Fatahillah mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Laskar ini terdiri atas bangsawan, tokoh agama, dan masyarakat. Keberagaman di masa Sunan Gunung Jati juga menjadi pendorongnya. Ketika singgah di Muara Jati, Cirebon, Laksamana Cheng Ho membawa dua ulama, yakni Syekh Maulana Hasanuddin atau Quro Karawang dan Syekh Datukabdul Kahfi. Sebagian pasukan Cheng Ho juga menetap, mendirikan vihara dan kelenteng. “Saya muslim, tapi ikut mengawal thudong. Laskar ini juga untuk menegakkan toleransi. Salah satu panglimanya di Batam beragama Katolik,” ucapnya.
Bhante Ditthisampanno Thera, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Smaratungga, Boyolali, Jawa Tengah, yang menyambut para bhante saat mereka tiba di Vihara Jayanti, Semarang, menjelaskan makna ritual thudong. "Bhante thudong itu bhante pengembara. Di Thailand banyak bhante hutan atau petapa yang disebut dhutang. Mereka menjalani praktik latihan keras. Di antaranya thudong, berjalan keluar-masuk hutan, makan hanya satu kali sehari antara pukul 06.00 dan 12.00 dari pemberian masyarakat," katanya. Ritual itulah yang dilakoni para bhante yang berjalan lebih dari 2.600 kilometer menuju Borobudur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini memakai bahan reportase Seno Joko Suyono dari Kendal, Ivansyah dari Cirebon, dan Jamal An Nashr dari Semarang. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perjalanan Suci Para Bhante"