Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di Magelang, mereka juga disambut meriah.
Bhante thudong mengikuti sejumlah upacara suci.
SETELAH ribuan kilometer sejak langkah pertama di Thailand selatan, akhirnya 32 bhante yang menjalani ritual thudong sampai di Magelang, Jawa Tengah. Tujuan akhir mereka, Candi Borobudur, tak jauh lagi. Rabu, 31 Mei lalu, pukul 10.30 lewat, sebuah mobil ambulans putih bertulisan “Ambulans Thudong Internasional” berhenti di depan pagar Kantor Kementerian Agama Kabupaten Magelang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabu Diaz, Panglima Tinggi Laskar Macan Ali Nuswantara Cirebon, buru-buru masuk menemui para pejabat kantor tersebut yang tengah menunggu 32 biku sangha yang thudong. Para pejabat hendak menjamu makan para biku. Gedung kantor tersebut menjadi jujugan para bhante thudong itu setelah bermalam di Kelenteng Liong Hok Bio di Kota Magelang. Sementara itu, puluhan aparat bintara pembina desa, dibantu personel organisasi kemasyarakatan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah dan Barisan Ansor Serbaguna dari Nahdlatul Ulama, turut berjaga di pintu gerbang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabu Diaz sempat panik. “Jangan sampai (bhante thudong) tiba di sini lewat pukul 11.00,” kata Diaz—panggilan akrabnya—saat ditemui Tempo di halaman kantor itu. “Kalau telat (makan), kasihan mereka,” dia menambahkan. Dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Magelang, rombongan singgah di Markas Kepolisian Resor Kabupaten Magelang.
Matahari bersinar terik siang itu. Suhu udara mencapai 31 derajat Celsius. Dua mobil pemadam kebakaran yang mendahului di depan menyiramkan air ke jalan yang akan dilalui para bhante. Suasana menjadi sejuk karena jalanan aspal tak begitu panas. Bahkan beberapa bhante yang sebelumnya mengenakan sandal dan kaus kaki melepas alas kaki itu. Mereka dikawal polisi, tentara, dan personel berbagai ormas. Kepala Kepolisian Resor Kota dan Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Magelang ikut berjalan kaki bersama komunitas hash dan umat Buddha yang mengikuti rombongan bhante.
Sekitar pukul 16.00, rombongan bhante memasuki Catra Jinadhammo dengan iringan gamelan Jawa yang membawakan gending "Kebo Giro". Para niyaga atau penabuh gamelan adalah 16 siswa kelas V Sekolah Dasar Taman Agung 4 Muntilan, Kabupaten Magelang. Dengan iringan itu pula rombongan bhante menjalani ritual cuci kaki oleh para pemeluk Buddha di halaman berumput. Mereka mencuci dan mengelap kaki para bhante dengan handuk kecil. Setelah itu, para bhante berdoa dan menjalani ritual dengan khidmat.
Para bhante thudong melakukan ritual cuci kaki oleh umat Budha saat tiba di Magelang, pada 31 Mei 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Suasana hening. Di lantai pendapa, rombongan bhante mengawali ritual doa dengan sikap namaskara atau bersujud ke arah patung Buddha. Kemudian mereka duduk bersila dan berbalik badan menghadap umat Buddha di sana yang juga melakukan namaskara ke arah para biku. Seusai rangkaian doa, acara penyambutan digelar. Sejumlah pidato sambutan disampaikan secara bergantian, dimulai oleh Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Catra Jinadhammo, Bhante Titawangso Thera. Acara ditutup dengan pemberian cendera mata berupa miniatur Chattra Borobudur dari batu kepada para bhante thudong. Dalam sejarahnya, chattra merupakan bagian puncak dari stupa Borobudur yang kemudian dilepas.
Saat tiba di Catra Jinadhammo, Bhante Wawan yang memimpin rombongan tidak ikut serta. Selepas singgah di Polres Kabupaten Magelang, ia bersama beberapa orang menuju Bandar Udara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo untuk menjemput bhante yang sebelumnya jatuh dan sakit di Malaysia. “Ini berkat kekuatan imannya (bhante yang sakit) yang ingin bisa sampai ke Borobudur,” ujar ketua thudong bhante internasional, Welly Widadi. Sebelumnya, dokter tak membolehkannya naik pesawat sebelum pulih betul.
Para bhante thudong usai berdoa di pendapa Pusdiklat Catra Jinadhammo di Borobudur, Kabupaten Magelang, 31 Mei 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Cuaca ekstrem berupa suhu panas dan hujan deras juga dirasakan para bhante selama di Indonesia. Seperti saat melewati Indramayu, Jawa Barat. Para bhante mengikhlaskan tubuh mereka basah diguyur hujan ataupun diterpa sinar terik matahari tanpa mengeluh, apalagi berteduh. Welly mengungkapkan, selama melintasi wilayah Indonesia, mereka tak menemukan rute yang ekstrem.
Tantangan berat mereka hadapi ketika melewati perbatasan antara Thailand dan Malaysia. "Benar-benar ekstrem, sampai 43 derajat Celsius," ucapnya. Kondisi itu memaksa mereka banyak beristirahat. "Tiap satu-tiga kilometer istirahat." Kondisi berbeda mereka dapati ketika melintasi Indonesia. Mereka bisa beristirahat setelah menempuh perjalanan sejauh 10 kilometer. Selain cuacanya tak sepanas di jalur negara sebelumnya, semangat mereka meningkat karena sambutan warga Indonesia. "Kami sendiri yang seharusnya capek tidak merasa capek lagi karena dukungan masyarakat," katanya.
PT Taman Wisata Candi Borobudur menyediakan waktu khusus bagi para bhante thudong untuk beribadah di candi tersebut pada Kamis, 1 Juni lalu, sekitar pukul 13.00, setelah upacara selamat datang bagi mereka. Para bhante akan menjalankan ibadah pradaksina dengan mengelilingi candi di tingkat arupadatu atau bagian puncak Candi Borobudur. Agar kekhusyukan mereka terjaga, wisata candi untuk masyarakat umum ditutup per pukul 12.00. Bahkan anggota panitia yang akan ikut mendampingi para bhante dibatasi hanya lima orang.
Rombongan bhante juga berziarah ke Candi Mendut dan Candi Plaosan. Pada Jumat, 2 Juni lalu, mereka mulai mengikuti prosesi menjelang Waisak. Mereka melakukan ritual api darma dengan mengambil api abadi di Mrapen, Grobogan, Jawa Tengah. Lalu mereka mengambil air berkah di Umbul Jumprit, Temanggung, serta menjalankan ritual penyakralan Candi Mendut.
Puncaknya, pada Ahad, 4 Juni, mereka melakukan ritual kirab Waisak dari Mendut ke Borobudur, menyambut detik-detik Waisak pada pukul 10.41.19 WIB, berpradaksina di arupadatu, dan melepas lampion Waisak pada malamnya. Pada Senin, 5 Juni, mereka dijadwalkan kembali berziarah ke Mendut dan Plaosan. Esoknya, mereka terbang ke Jakarta, lalu pulang ke negara masing-masing.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini memakai bahan reportase Pito Agustin Rahadian. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menjelang Waisak di Candi Borobudur"