Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERSTATUS sebagai bank terbesar keempat di Indonesia, Bank Negara Indonesia (BNI) malah mulai mengurangi jualan tabungan atau kartu kredit. Dalam sebuah konferensi teknologi tingkat Asia di Jakarta Convention Centre (JCC), akhir Oktober lalu, BNI hanya mendirikan satu stan. Padahal bank pelat merah itu menjadi sponsor platinum muktamar tersebut. ”Di stan kami sepi,” kata Anang Fauzie, General Manager Electronic Banking BNI, di Kafe Gelatik, pojok JCC.
Sebanyak 20 pegawai BNI menyebar di setiap penjuru konferensi. Mereka mendatangi stan-stan milik perusahaan rintisan berbasis teknologi (start-up). Saat mendatangi stan start-up, menurut Anang, timnya sudah punya template pertanyaan. ”Anda (start-up) mau monetize bisnis? BNI punya semua caranya!” ujar Anang. ”Revolusi 4.0 mengubah semuanya.”
Cara pandang BNI itu persis seperti apa yang sedang dikerjakan perbankan global. Banco Santander, bank terbesar ketiga di Eropa, dalam ”Banking in The Fourth Industrial Revolution” menyebutkan dunia dalam revolusi 4.0 akan secara radikal mengubah cara pembayaran dan pembiayaan. Tantangan bagi perbankan, menurut bank yang berpusat di Boadilla del Monte, 20 kilometer sebelah barat Madrid, itu, adalah bagaimana perbankan bisa menentukan model bisnis baru di luar layanan keuangan konvensional dan mengembangkan bentuk kemitraan baru.
Dengan tren seperti itu, kata Anang, BNI membaca bisnis bank ke depan adalah digital eco-services. Bentuknya berupa layanan digital yang siap digunakan untuk siapa pun, entitas bisnis mana pun. BNI tidak lagi hanya mengurusi layanan nasabah, tapi juga menyiapkan platform untuk bisnis.
Untuk memuluskan langkah itu, menurut Anang, BNI telah terjun ke bisnis penyediaan gerbang pembayaran. Mereka menyediakan channeling pembayaran menggunakan kartu kredit, transfer, dan virtual account. BNI juga telah menyediakan uang elektronik yang siap co-branding.
Pada hari pertama konferensi teknologi, akhir Oktober lalu itu, Anang mengaku sudah didatangi mitra yang tertarik mengembangkan uang dan dompet elektronik secara co-branding. ”Daripada capek-capek urus lisensi, mending kerja sama dengan kami,” ujar Anang. ”Misalkan ’X Pay’, Powered by BNI.” Apa yang dilakukan BNI dengan jualan services itu adalah upaya menjadikan bank sebagai platform.
Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Rakyat Indonesia (BRI) Indra Utoyo mengatakan, di era digital sekarang, bank tidak bisa bekerja sendiri. Bank harus berkolaborasi dengan ride-sharing, travel site, dan mitra digital lain. ”Mau bayar tilang bisa lewat Tokopedia. Tapi di belakang Tokopedia itu ada BRI,” kata Indra di kantornya di Jakarta, akhir Oktober lalu.
Selain menjadi platform, revolusi 4.0 berpeluang membuat bank memperbaiki- pengelolaan risiko. Digempur habis oleh kemajuan teknologi, bank tetap harus memenuhi aturan regulator, mengenali nasabah (know your customer), hingga anti terhadap pencucian uang. ”Itu tak bisa diubah, tapi bisa dipercepat dengan teknologi,” ucap Indra. Ia menambahkan, revolusi 4.0 dengan penerapan Internet of things, artificial intelligent, dan machine learning itu membuat manajemen risiko lebih efisien.
Indra mengatakan, di tengah laju revolusi 4.0, BRI telah memulai langkah kecil untuk mendigitalisasi semua jenis laya-nannya. Bank milik pemerintah ini telah meluncurkan BRI Spot dan My BRI. BRI Spot adalah platform untuk melayani kredit online buat usaha mikro dan My BRI melayani kredit konsumsi. Dua platform ini banyak bertumpu pada pengolahan big data dan langsung terhubung dengan data kependudukan serta Sistem Layanan Informasi Keuangan. ”Kami mau melayani inti bisnis dulu,” kata Indra.
Transformasi BRI tidak main-main. Untuk melaksanakan BRI Spot saja, BRI membeli 40 ribu telepon seluler pintar buat account officer mereka lengkap dengan paket data Internet. ”Jadi enggak ada alasan lagi ponsel mati atau data habis,” ujar Indra.
Account officer tidak lagi ngendon di kantor atau ramai di pameran. Mereka menjemput calon debitor. Proses verifikasi dan pencairan pinjaman berlangsung di satu ponsel. ”Kalau ada collateral, tinggal foto-foto,” ucap Indra. Dengan ponsel itu, kata dia, proses pencarian kredit yang tadinya makan waktu dua minggu kini tak sampai selusin jam. ”Itu yang bikin produktif.”
Satu lagi inovasi BRI yang sangat digital adalah mesin penjawab Sabrina (Smart BRI New Assistant). Diluncurkan pada April tahun ini, Sabrina adalah perwujudan dari artificial intelligent dan machine- learn-ing dalam industri perbankan. Sabrina milik BRI hadir di Facebook dan Telegram. ”Yang bisa digantikan oleh mesin pasti akan tergantikan.”
Dengan kehadiran Sabrina, BRI terpaksa mengurangi banyak operator yang melayani nasabah. Untung saja, menurut Indra, proses penggantian tidak bergejolak karena BRI selama ini menggunakan pihak ketiga untuk pengadaan operator. ”Ada yang inhouse, tapi lebih banyak yang outsourcing,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Anang Fauzie, chatbot garapan BNI diklaim telah melangkah lebih jauh. Cinta—nama mesin penjawab itu—perlahan menjadi sebuah ekosistem. Sambil menyesap es teh, akhir Oktober lalu, Anang membuka Line di ponselnya, lalu membuka Cinta. Dia mulai mendemonstrasikan cara kerja Cinta. ”Cari tiket kereta api, dong,” kata Anang mendekatkan bibirnya ke ponsel. ”Anda mau tujuan ke mana?” jawab mesin penjawab. ”Ke Bandung.” Cinta menjawab dengan daftar tiket dan instruksi untuk melanjutkan pembayaran via yap!, platform pembayaran berbasis QR code milik BNI. ”Semua terintegrasi di sini,” ujar Anang.
Anang mencoba demonstrasi lain. ”Arep takon (Mau tanya),” kata Anang kepada Cinta. ”Mau tanya apa?” jawab Cinta, serius. ”Dia bisa mengenali kata-kata,” ucap Anang. Mesin penjawab Cinta baru tersedia di Line dan Facebook.
Cisco, raksasa teknologi yang berbasis di San Jose, Amerika Serikat, menyatakan revolusi 4.0 atau bank digital 4.0, yang dimulai pada 2015, ditandai oleh penerap-an Internet of everything. Penanda yang paling utama adalah munculnya bank digital.
Untuk kategori ini, BNI dan BRI, juga bank-bank lain milik pemerintah, serta swasta dalam negeri harus mengakui keunggulan bank-bank milik asing. Bank BTPN, DBS, dan Permata sudah lebih dulu meluncurkan bank digital mereka.
Menurut Anang, BNI tidak buru-buru mengeluarkan bank digital. BNI masih tenang sambil mempelajari pasar. ”Kami belajar melihat dari yang sudah mengeluarkan,” ujar Anang. ”Sudah kami siapkan itu.”
Senada dengan BNI, kata Indra Utoyo, BRI juga telah menyiapkan bank digital. ”Sekarang beberapa bank digital masih harus nyamperin calon nasabah untuk buka akun,” ucap Indra. ”Ke depan, dengan biometrik dan e-KTP semestinya sudah cukup.” BRI berharap bank digital itu bisa meluncur pada kuartal keempat tahun ini, kendati baru akan masif tahun depan.
Ketika bank-bank besar memulai era bank digital itulah kantor cabang yang berlimpah, teller yang menumpuk, dan cara-cara lama lain akan terlihat usang. Tapi bukan berarti hilang sama sekali. ”Teller akan beralih menjadi pemasar,” kata Indra. ”Juga bisa beralih mencari dan mengelola merchant,” ujar Anang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo