Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tuan Kidang di Kaki Semeru

Dua kali keluar dari pekerjaan. Menolak perilaku sewenang-wenang perusahaan.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang kuli perkebunan tua datang menghampiri Ernest Franois Eugne Douwes Dekker kala lelaki itu tengah bersiap meninggalkan perkebunan Soember Doeren, Malang, Jawa Timur. Hari itu, Douwes Dekker baru saja memutuskan menanggalkan pekerjaannya sebagai pengawas. Sesampai di depannya, buruh itu memberi hormat seraya berkata, "Terpujilah ibu yang melahirkan Anda," katanya takzim. Douwes Dekker tertegun.

Siang itu, pertengahan 1897, Douwes Dekker masih berusia 18 tahun dan baru bekerja setahun di Soember Doeren. Menurut catatan Paul W. van der Veur dalam The Lion and the Gadfly: Dutch Colonialism and the Spirit of E.F.E. Douwes Dekker, Douwes Dekker heran mendapat penghormatan sang kuli. Dia merasa tak pernah dekat dengan buruh di depannya.

Ia menolak ikut serta melakukan eksploitasi manusia. Hal itu, baginya, bukan hal istimewa.

Melihat Douwes Dekker terkejut dan bingung, kuli uzur itu lantas berkata, "Anda, tuan muda, telah memperlakukan kami layaknya manusia."

l l l

Setelah menamatkan sekolah di Hogere Burger School—setingkat sekolah menengah atas—Ernest Douwes Dekker memang memilih bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren. Menurut Frans Glissenaar dalam DD: Het leven van E.F.E. Douwes Dekker, seusai sekolah pada 1896, Douwes Dekker bekerja sebagai opzichter atau pengawas perkebunan di sana. Kendala keuangan menyebabkan ia tak bisa melanjutkan belajar ke perguruan tinggi. Di Soember Doeren, Douwes Dekker belajar soal manajemen dan relasi antarmanusia.

Pada zamannya, Soember Doeren adalah perkebunan besar dan terpandang. Pada Handboek voor Cultuur-en handelsondernemingen in Nederlandsch-Indië 1898, dijelaskan bahwa pemilik perkebunan Soember Doeren adalah Handelsvereniging Amsterdam. Luas perkebunan kala itu 900 hektare.

Tanah subur di sana membuat produksi kopi terus meningkat. Pada 1895, produksi mereka hanya 2.000 pikul atau 123 ribu kilogram kopi. Dua tahun kemudian, produksi bertambah empat kali lipat menjadi 8.000 pikul atau 492 ribu kilogram kopi.

Sayangnya, produksi itu dicapai dengan eksploitasi tenaga kerja. Selama bekerja di Soember Doeren, ia melihat sendiri tuan tanah Belanda memeras habis tenaga buruhnya. Pribumi harus bekerja 14-18 jam per hari dengan imbalan tidak layak.

Tak tahan, Douwes Dekker menerapkan sistem sendiri. Para kuli yang bekerja di bawah pengawasannya diperlakukan baik dan sepantasnya.

Tashadi dalam buku Dr. D.D. Setiabudhi mengisahkan bagaimana Douwes Dekker terkenal lincah dan tangkas di mata buruh perkebunan Soember Doeren. Saking gesitnya, para pribumi di sana memberinya nama panggilan "Tuan Kidang".

Kebijakan Douwes Dekker yang memperlakukan buruh di bawah pengawasannya dengan manusiawi memicu masalah. Atasannya, R.W. Jesse, kerap menegurnya dan meminta dia tak terlalu lembut kepada pribumi. "Ia (Douwes Dekker) sebenarnya dapat berhubungan baik dengan pekerja, namun ia tidak memperhatikan batasan yang benar," kata Jesse dalam buku Tashadi.

Konflik yang tak pernah mereda itu akhirnya mendorong kepergian Douwes Dekker dari Soember Doeren. Ketika sang mandor mengundurkan diri, puluhan buruh berjalan kaki di samping Douwes Dekker, sampai empat jam lebih. Baru setelah Douwes Dekker sampai di Dampit—kota terdekat dari Soember Doeren—kuli-kuli itu pulang kembali ke perkebunan.

l l l

TAK mudah menemukan Soember Doeren. Dalam catatan-catatannya, Douwes Dekker hanya menyebutkan perkebunan itu berada di Malang. Di sejumlah arsip dan literatur, disebutkan perkebunan itu terletak di kaki Gunung Semeru. Tapi buku lain menyebutkan perkebunan itu berada di Arjowinangun, sekitar Malang.

Tempo mengecek kedua tempat tersebut. Di Desa Arjowinangun, Kecamatan Kalipare, tidak ada tempat yang bernama Soember Doeren. Tapi di sana ada sebuah dusun bernama Dusun Duren. Warga dusun tidak bisa memastikan apakah di sana pernah berdiri sebuah perkebunan kopi besar.

Sebelum Tempo menelisik kemungkinan kedua di kaki Gunung Semeru, Nico van Horn, petugas arsip Koninklijk Instituut voor Taal- en Volkenkunde (KITLV), Lembaga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda, Leiden, menjelaskan lokasi Soember Doeren hanya 15 kilometer di selatan Kecamatan Dampit.

Berdasarkan petunjuk itu, Tempo lantas mencari daerah penghasil kopi di dekat Dampit. Salah satu yang menonjol adalah Desa Taman Kuncaran, Kecamatan Tirtoyudo. Desa seluas 676 hektare itu berada tepat di kaki Gunung Semeru, sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Malang. Sebagian penduduk desa itu memang menanam kopi secara turun-temurun.

Benar saja. Ketika Tempo berkunjung ke sana, Juli lalu, tampak hamparan kebun kopi warga ada di mana-mana. Jemuran biji kopi bertebaran di pinggir jalan desa.

Desa Taman Kuncaran memiliki dua dusun, Krajan dan Taman Gilang. Sisa kejayaan perkebunan kopi Belanda masih ditemukan di kedua dusun itu.

Di Dusun Krajan, misalnya, masih ada sisa infrastruktur irigasi dan dam yang dulunya merupakan saluran pembuangan limbah pengolahan kopi. Sayangnya, sebagian saluran sudah tertutup sawah. Di tengah lapangan dusun, diselimuti rerumputan, ada sisa fondasi pabrik.

Di desa ini, Tempo menemui Hartono Kamsun, sesepuh desa yang berusia 102 tahun. Pria bekas guru ini menjelaskan bahwa Desa Taman Kuncaran dulu bernama Desa Wonokoyo

Menurut dia, perkebunan Wonokoyo memiliki lima kebun: Soember Doeren, Soember Gandik, Soember Angkrik, Soember Petheng, dan Soember Gilang.

Seusai perang kemerdekaan, pemerintah mengambil alih perkebunan Wonokoyo. Kebun kopi itu diubah menjadi tanah persil atau menjadi obyek land reform dan dibagikan ke penduduk.

Sayangnya, Hartono mengaku tak tahu Douwes Dekker pernah hidup dan bekerja di Taman Kuncaran. Pada zaman Belanda, kata dia, keluarganya tinggal di dekat perkebunan Soember Gandik. "Waktu itu penduduk dilarang keluyuran ke area kebun lain, termasuk Soember Doeren, tanpa izin," kata lelaki sepuh ini.

l l l

SETELAH keluar dari Soember Doeren, Douwes Dekker diterima menjadi ahli kimia di Pabrik Gula Padjarakan, Probolinggo. Tapi garis nasibnya tak berubah: kariernya lagi-lagi tak lancar.

Berdasarkan Jaarboek voor Suikerfabrikanten op Java 1913/1914, Pabrik Gula Padjarakan didirikan perusahaan Belanda Anemaet & Co pada 1880. Seperti halnya pabrik gula lain di Jawa pada masa itu, untuk memperoleh bahan baku tebu, Padjarakan menyewa lahan penduduk pribumi.

Yang mengenaskan, lahan penduduk disewa amat murah, hanya 40-65 gulden per bahu per tahun. Padahal hasil panen tebu paling rendah bisa sampai sekitar 100 pikul atau 6.200 kilo gula per bahu. Jelas pendapatan warga dari sewa lahan tak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mereka harus tetap menanam padi untuk hidup.

Di sinilah hati Douwes Dekker kembali tergerak. Suatu hari, dia memprotes kebijakan pabriknya yang mengalihkan air irigasi dari sawah penduduk ke kebun tebu mereka. Akibat tindakan pabrik gula ini, sawah warga kekeringan dan rusak.

Dalam otobiografinya, 70 Jaar Konsekwent (1950), Douwes Dekker menulis, "Aku telah mencampuri urusan pengaturan air di pabrik gula. Aduh, apa lagi yang aku harapkan," katanya.

Protes Douwes Dekker membuat berang manajemen pabrik. Administrator Pabrik Gula Padjarakan kala itu adalah orang Belanda totok bernama J.H. Dahmen.

Di hadapan Douwes Dekker, Dahmen berulang kali menjelaskan bahwa persoalan pembagian air bukan urusan dia selaku juru kimia di laboratorium. Karena itu, Dahmen memintanya tak ikut campur.

Dasar keras kepala, Douwes Dekker berkukuh pada pendiriannya. Pada 1899, dua tahun setelah mundur dari Soember Doeren, ia kembali kehilangan pekerjaan.

Pada Juli lalu, Tempo menengok laboratorium tempat kerja Douwes Dekker di Pabrik Gula Padjarakan. Lab itu berada di sisi utara bangunan utama pabrik. Luasnya sekitar 4 x 12 meter.

Di dalamnya, ada dua meja tulis dan satu meja analisis dari marmer sepanjang 10 meter. Di atas meja, berderet gelas takar, gelas kimia, tabung-tabung kaca, dan timbangan gula.

Di sinilah Ernest Douwes Dekker muda menulis catatannya, mengamati hamparan kebun tebu di sekitar pabriknya, dan merenung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus