Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Risiko Berada di Belakang Kurva

Kebijakan Bank Indonesia menahan suku bunga justru bertentangan dengan tujuan utama bank sentral. Pertumbuhan ekonomi akan sangat melambat dan bahkan terpuruk ke resesi.

25 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bank Indonesia menahan suku bunga acuan 3,5 persen.

  • Penurunan kurs rupiah dan kenaikan inflasi sudah terjadi.

  • Tekanan terhadap rupiah akan makin berat dalam beberapa bulan ke depan.

SEBAGAIMANA prediksi pasar, Bank Indonesia menahan suku bunga acuan 3,5 persen. Alasannya, ini kutipan dari penjelasan resmi BI: “Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan itu tidak tepat. Kebijakan BI menahan bunga justru bertentangan dengan tujuan utama bank sentral. Dikutip dari laman resmi BI, mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah adalah tujuan utama kebijakan moneter BI. Kestabilan itu mencakup dua hal: nilai tukar rupiah dan inflasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menahan suku bunga ketika situasi eksternal sedang sangat menggelegak seperti saat ini tak akan menghasilkan stabilitas nilai tukar rupiah ataupun menahan inflasi. Hasilnya justru sebaliknya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah makin meningkat. Inflasi juga berpotensi terus menanjak karena tak ada kenaikan bunga yang mengeremnya.

Merosotnya nilai rupiah dan kenaikan inflasi pun sudah terjadi. Sejak awal tahun hingga Rabu, 22 Juni lalu, saat BI membuat keputusan, nilai rupiah telah merosot 4,14 persen. Adapun inflasi tahunan terus menanjak hingga 3,55 persen pada Mei 2022. Bahkan BI sudah mengakui seriusnya ancaman kenaikan inflasi. BI memprediksi inflasi 2022 melampaui 4 persen, batas atas yang ditetapkan.

BI rupanya menganggap gejolak nilai tukar rupiah dan kenaikan inflasi ini belum sampai pada titik yang membahayakan dan memerlukan kenaikan suku bunga untuk menghentikannya. Sebaliknya, BI justru lebih menganggap serius upaya menjaga pertumbuhan ekonomi yang sebetulnya bukan merupakan tugasnya saat memutuskan kebijakan moneter.

Padahal ancaman faktor eksternal yang menekan rupiah akan makin meningkat. The Federal Reserve, penentu utama stabilitas pasar sedunia, akan makin agresif menaikkan suku bunga demi menjinakkan inflasi di Amerika Serikat, meskipun sejak awal tahun sudah menaikkan bunga tiga kali. Menimbang laporan tengah tahunan The Fed kepada Kongres Amerika yang terbit pekan lalu, para analis memperkirakan The Fed bakal menaikkan bunga beberapa kali lagi hingga mencapai 3,75 persen pada akhir tahun ini dari posisi sekarang 1,75 persen.

Kenaikan bunga sebesar itu jelas akan mengirimkan reperkusi luar biasa ke seluruh dunia. Di bulan-bulan mendatang, tekanan terhadap rupiah akan makin berat. Stabilitas moneter bisa terganggu. Gejolak pasar akan terus menggoyang rupiah secara bulanan setiap kali The Fed bersidang dan memutuskan kenaikan bunga.

Bank sentral memang punya dua pilihan strategi dalam mengatasi masalah semacam ini: bertindak lebih awal sebagai pencegahan (ahead the curve) atau sebaliknya, beraksi belakangan untuk mengobati (behind the curve). Kedua opsi ini tentu ada plus-minus risikonya.

Jika bank sentral memilih tindakan lebih awal menaikkan bunga, pertumbuhan ekonomi juga melambat lebih awal. Sedangkan strategi menunggu di belakang kurva, sebagaimana pilihan BI, juga dapat menimbulkan risiko besar. Bisa saja nilai tukar rupiah telanjur jatuh terlalu dalam dan inflasi melayang amat tinggi. Jika akhirnya harus bertindak ketika kondisi sudah terlalu berat, seperti The Fed saat ini, BI harus menaikkan bunga lebih agresif. Ekonomi bisa melambat jauh lebih dalam, bahkan terpuruk ke resesi.

Ada lagi risiko strategi behind the curve. Kebijakan ini bisa mengirim sinyal yang amat keliru kepada pemerintah, korporasi, ataupun investor. Semuanya bisa menganggap situasi masih baik-baik saja sehingga tak merasa perlu melakukan persiapan untuk menghindari gejolak yang bakal datang.

Persepsi keliru itu tampak dari berbagai kebijakan Presiden Joko Widodo yang sama sekali tak mencerminkan kegentingan situasi. Misalnya, alih-alih menyiapkan lebih banyak program untuk mengurangi dampak inflasi dan merosotnya nilai rupiah agar tak terlalu memukul penduduk miskin, Presiden memilih memulai proyek pembangunan ibu kota baru pada Agustus mendatang. Gejolak sudah menjelang, tapi ada yang tak mau berhenti berpesta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus