Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kemajuan pesat e-commerce cenderung hanya dinikmati masyarakat perkotaan.
Sejumlah lembaga melatih masyarakat desa agar bisa memanfaatkan perangkat online.
Butuh campur tangan pemerintah untuk mengurai keterbatasan jaringan dan logistik.
SEBELUM menjadi pedagang pempek dalam ekonomi digital yang kondang dan melayani penjualan ke seluruh Indonesia, Devi Indriani dan Sigid Widagdo hanyalah pasangan suami-istri yang berdagang pempek berbasis pesanan. Maksudnya, jika tak ada pesanan yang masuk ke telepon seluler mereka, Devi sebagai pemrakarsa bisnis ini benar-benar tidak akan mengolah makanan khas Palembang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Devi, 43 tahun, dibantu Sigid, 44 tahun, mulai berdagang pempek dari rumah mereka di sebuah gang di Kelurahan 3-4 Ulu, Kota Palembang. Pelanggan pertama mereka adalah saudara, teman, dan kenalan. “Terima pesanan dari yang kenal dan tahu saja,” kata Sigid pada Jumat, 1 Oktober lalu, menceritakan awal usaha istrinya tujuh tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesanan biasanya datang ketika orang-orang terdekat itu sedang menggelar hajatan, seperti perkawinan, khitanan, atau kumpul keluarga. Sigid lantas mencoba ceruk yang lebih luas dengan memasarkan pempek mereka di akun Facebook. Upaya itu tak berbuah banyak. “Sulit juga di Facebook. Pelanggan kurang percaya kalau transfer langsung ke penjual,” ujar Sigid.
Pada 2017, setelah melihat iklan Tokopedia, Sigid nekat mendaftar menjadi pedagang pempek di lokapasar tersebut. Berbekal kemampuan mengoperasikan ponsel pintar dan media sosial, Sigid mulai berdagang di Tokopedia. “Dulu kan tagline Tokopedia ‘Mulai Aja Dulu’. Ya sudah, kami mulai,” ucapnya.
Rupanya, kemampuan dasar Sigid menggunakan ponsel dan media sosial tidak banyak membantu. Pasar online adalah dimensi yang berbeda. “Banyak keluhan pelanggan,” tuturnya. Komplain mengenai pengemasan produk berdatangan seiring dengan keraguan pembeli akan pengiriman makanan. Pada mulanya, Sigid melumuri pempek mentah dengan tepung sagu sebelum menemukan trik pengemasan vakum.
Pelaku UMKM melihat stok barang kerajinan aksesori di aplikasi toko online miliknya, di Depok, Jawa Barat. ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Tapi dari sana Sigid mulai belajar apa saja. Dia mempelajari cara memfoto produk, membuat deskripsi barang dagangan, hingga mengatur iklan. Hasilnya, Cek Dung, toko pempek Devi dan Sigid, kini menjadi toko dengan label Power Merchant Pro, pedagang yang konsisten memberikan pelayanan memuaskan.
Jumlah pengikut Cek Dung pun mencapai 1.500 akun. Toko online ini bertengger di level III, satu tingkat di bawah level tertinggi. Omzet pedagang di level ini dalam 90 hari terakhir berada di rentang Rp 10-300 juta. Devi mengaku bisa menjual 400 paket pempek per bulan. “Kalau dulu yang beli orang-orang terdekat, sekarang kami malah banyak enggak tahu mereka dari mana saja,” ujarnya.
Usaha Devi dan Sigid juga mampu bertahan di tengah situasi pandemi Covid-19. Pada awal masa pandemi, ketika sebagian besar usaha berbasis fisik dan pasar offline tumbang, Devi dan Sigid yang bermain di pasar online malah menambah tiga tenaga kerja baru. Kini mereka mempekerjakan enam karyawan. Tiga orang bertugas membuat pempek, tiga lainnya mengemas produk. Adapun Devi dan Sigid bergantian mengurus administrasi dan pemasaran.
Ketika Devi dan Sigid yang berasal dari kota besar seperti Palembang berhasil menembus pasar daring dan bertahan—bahkan berkembang—pada masa pandemi, tidak demikian dengan jutaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ataupun orang-orang di perdesaan yang membuka lapangan usaha serupa. Kajian Bank Dunia berjudul “Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia” yang dirilis pada Juli lalu menunjukkan kesempatan dan keuntungan yang diciptakan oleh perdagangan berbasis elektronik alias e-commerce tidak tersedia bagi seluruh rakyat Indonesia.
Intensitas e-commerce, yang akumulasi nilai pembeliannya (GMV) diperkirakan mencapai US$ 32 miliar atau sekitar Rp 457 triliun pada 2020, masih terpusat di populasi padat dan relatif makmur dengan konektivitas Internet lengkap dan ongkos logistik murah. Dengan kata lain, jika ketersediaan akses Internet berperan menarik banyak orang masuk ke ekosistem e-commerce, logistik yang murah dan mudah diperlukan untuk mendorong masyarakat berkegiatan jual-beli online. “Penetrasi e-commerce (proporsi pembeli dan penjual dalam populasi) meningkat lebih cepat di provinsi-provinsi dengan akses Internet meluas dan biaya logistik menurun selama periode ini,” demikian bunyi kajian tersebut.
Pelaku UMKM memotret dagangannya untuk dipasarkan secara daring, di lokasi pembuatan tas kamera di kawasan Manggarai, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Buntutnya bisa ditebak. Masyarakat yang paling aktif dan memetik keuntungan dari e-commerce adalah mereka yang berada di sekitar Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Denpasar. Sedangkan masyarakat di tier kedua, di luar kota-kota yang sudah terlayani dengan baik itu, cenderung hanya menjadi konsumen e-commerce.
Melihat ketimpangan tersebut, sejumlah lembaga, baik komersial maupun amal, mulai menggelar program pelatihan buat masyarakat untuk diajak ikut menikmati bonanza ekonomi digital. Google salah satunya. Lewat lembaga amal mereka, Google.org, perusahaan teknologi multinasional ini mendanai The Asia Foundation untuk melatih 20 ribu pemuda tak kerja dan pemilik UMKM. Kebanyakan dari mereka perempuan. Sebanyak 2.000 pesertanya penyandang disabilitas sejak Agustus 2020.
The Asia Foundation menggandeng Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) menggelar pelatihan di 800 desa di delapan provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Riau, dan Kalimantan Selatan. “Kami ingin program seperti ini sampai ke desa-desa. Selama ini belum ada yang sampai ke desa,” tutur Jojor Sri Rezeki Tobing, Program Officer The Asia Foundation, Kamis, 9 September lalu.
Menurut Fitriani Sunarto, Manajer Program PPSW, pelatihan yang mereka gelar menyasar masyarakat desa karena banyak UMKM Indonesia justru menjual produk impor. Adapun produk lokal menghadapi keterbatasan distribusi untuk sampai ke pasar. “Program ini mendukung masyarakat lokal bisa mengolah sumber daya alamnya dan menembus pasar,” kata Fitri di hari yang sama.
Upaya melatih masyarakat desa menggunakan instrumen ekonomi digital, yaitu Internet, tersebut memang cenderung masih pada tahap dasar. Misalnya, peserta dilatih membuat akun e-mail dan memanfaatkan media sosial untuk berdagang, juga diberi kisi-kisi berniaga di lokapasar.
MELAJU TAPI TAK MERATA
PENETRASI Internet di Indonesia melonjak tajam sedekade terakhir. Namun kajian Bank Dunia berjudul “Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia” mencatat sejumlah permasalahan. Hampir separuh penduduk usia dewasa belum terhubung dengan Internet. Selain itu, penetrasi Internet tak merata. Proporsi penduduk dewasa di perkotaan, misalnya, jauh lebih tinggi dibanding masyarakat perdesaan. Walhasil, kue ekonomi digital yang terus mengembang ditengarai belum dinikmati oleh seluruh populasi.
Pelatihan dasar itu, menurut Fitri, sudah lebih dari cukup untuk menaikkan level masyarakat desa dari sebelumnya cenderung menggunakan Internet untuk bersenang-senang menjadi berkegiatan produktif. “Kalau dikatakan mereka berani memulai usaha setelah ikut pelatihan, saya percaya 50 persen dari mereka yang ikut sudah memulainya atau minimal mencari pekerjaan secara online,” ucap Fitri.
Salah satu yang menikmati pelatihan ini adalah bisnis emping melinjo bermerek Keceprek Ratu, usaha pembuatan hingga pemasaran keceprek alias emping yang digagas Rini Chanifah, 29 tahun. Rini adalah relawan PPSW tingkat desa yang melatih puluhan warga Desa Cikedal, Pandeglang, Banten, salah satu wilayah penerima manfaat program Google.
Setelah melatih warga desa, Rini mengajak dua peserta pelatihan mengembangkan emping melinjo yang sudah menjadi trademark desa itu agar bisa masuk ke dua pasar online sekaligus, Tokopedia dan Shopee. Di pasar daring itu, Keceprek Ratu dengan varian rasa Cabe Ijo kemasan 250 gram dihargai Rp 20 ribu—belum mencakup ongkos kirim. “Sebelumnya perajin keceprek di sini memasarkan dari pintu ke pintu,” ujar Rini, Jumat, 1 Oktober lalu. “Sering juga disetor ke tengkulak untuk jadi oleh-oleh khas Pandeglang.”
Rini memulai Keceprek Ratu pada pertengahan 2019. Kini, setelah masuk ke pasar online sejak 2020, perusahaan kecil-kecilan itu telah melibatkan 20 orang. Sepuluh orang menjadi perajin keceprek, sisanya di bagian pemasaran.
Selain Google, Tokopedia menggelar program pelatihan bagi para pelaku UMKM agar mereka bisa menembus pasar online. Tokopedia antara lain menggelar kerja sama dengan Migrant Care untuk melatih buruh migran yang baru pulang dari luar negeri membuka usaha.
Pelatihan ini melibatkan 230 orang di empat daerah asal buruh migran: Indramayu (Jawa Barat), Wonosobo (Jawa Tengah), serta Jember dan Banyuwangi (Jawa Timur). “Ke depan, Tokopedia akan terus berkomitmen memberikan dukungan kepada pegiat UMKM Indonesia melalui sederet inisiatif dan inovasi digital,” kata Ekhel Chandra Wijaya, External Communications Senior Lead Tokopedia, Kamis, 30 September lalu.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, kerja sama dengan Tokopedia itu bertujuan menyiapkan purnawirawan buruh migran agar punya usaha mandiri yang kompetitif. Syukur-syukur mereka bisa menembus pasar daring. “Dulu kami banyak mendampingi usaha serupa,” tutur Wahyu, Jumat, 1 Oktober lalu. “Tapi produknya hanya laku di pameran-pameran dengan harga solidaritas. Belum mampu masuk pasar riil.”
Wahyu berharap hasil pelatihan dengan Tokopedia berbeda, menghasilkan pelaku UMKM yang siap di pasar nyata sekaligus menciptakan pengusaha yang menjadi mitra baru Tokopedia dalam ekosistem ekonomi digital. Target yang cukup mutualistis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo