Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Menunggu Realisasi Janji Investasi

Sembilan bulan beroperasi, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) belum merealisasi proyek investasi yang digembor-gemborkan pemerintah. Dianggap tak lebih sebagai pengelola aset.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jalan tol Waskita Karya jadi calon proyek pertama Lembaga Pengelola Investasi.

  • Skema pengelolaan LPI jadi sorotan.

  • LPI mengklaim puluhan investor telah menyatakan minat menanamkan modal di Indonesia. Cukupkah?

TEKA-TEKI proyek perdana Lembaga Pengelola Investasi (LPI) mulai sedikit terjawab pada Senin, 27 September lalu. Siang itu, dalam rapat bersama Komisi Badan Usaha Milik Negara Dewan Perwakilan Rakyat, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara II Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan rencana pemanfaatan ataupun pemindahtanganan aset lama (recycling assets) PT Waskita Karya (Persero) Tbk secara bertahap. “Kami sedang berdiskusi dengan SWF INA untuk beberapa ruas lain,” kata Kartika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INA, brand LPI gubahan dari nama lainnya, Indonesia Investment Authority, adalah institusi sovereign wealth fund (SWF) bentukan pemerintah. Dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, lembaga ini praktis baru beroperasi penuh setelah Presiden Joko Widodo melantik direksi LPI pada medio Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Mei lalu, LPI mengumumkan penggandengan tiga pengelola dana global, yakni Caisse de dépôt et placement du Québec (CDPQ) asal Kanada, APG Asset Management (APG) dari Belanda, dan Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) asal Uni Emirat Arab. Keempat lembaga meneken nota kesepahaman untuk membentuk konsorsium pengelola investasi di sektor jalan tol. Total kapasitas investasi yang disiapkan oleh konsorsium ini mencapai US$ 3,75 miliar atau sekitar Rp 54 triliun.

Presiden Joko Widodo mengumumkan lima orang figur yang akan menduduki jajaran Dewan Direktur Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority di Istana Merdeka, Jakarta, 16 Februari 2021. setkab.go.id

Setidaknya, hingga pekan lalu, kerja sama ini yang paling menjanjikan bakal menjadi proyek investasi pertama LPI lewat skema co-investment. Namun belum terang jalan tol mana yang akan menjadi aset pengelolaan konsorsium tersebut. Ketika kerja sama ini diumumkan, LPI menyatakan konsorsium masih menyeleksi sedikitnya 35 ruas jalan tol. Uji tuntas dilakukan untuk mengecek aset yang layak diakuisisi.

Paparan Kartika, yang ditampilkan dalam rapat dengan DPR, mencatat tiga ruas jalan tol pada daftar tahap pembahasan bersama LPI, yakni ruas Pejagan-Pemalang, Kanci-Pejagan, dan Pemalang-Batang. Ketiga ruas jalan tol sepanjang 131,7 kilometer ini milik PT Waskita Toll Road, anak usaha WSKT—kode saham Waskita Karya di Bursa Efek Indonesia.

Senior Vice President Corporate Secretary PT Waskita Karya (Persero) Tbk Ratna Ningrum tak menampik isi paparan tersebut. Menurut dia, pelepasan atau divestasi ruas tol yang dijalankan Waskita tengah melibatkan sejumlah investor potensial, di antaranya LPI, yang kini masih dalam pembahasan. “Saat ini INA masih melakukan tahap due diligence pada beberapa ruas tol WTR (Waskita Toll Road), khususnya di Trans Jawa yang telah beroperasi penuh,” ucap Ratna, Jumat, 1 Oktober lalu.

Juru bicara LPI, Masyita Crystallin, mengatakan konsorsium masih mengevaluasi ruas jalan tol yang akan diakuisisi. “Asetnya lagi disiapin,” ujarnya, Selasa, 21 September lalu.

Selain Waskita Karya, PT Wijaya Karya (Pesero) Tbk dan PT Jasa Marga Tbk sempat menyatakan telah menyiapkan beberapa aset potensial yang bisa dikelola oleh LPI. Namun, saat dimintai konfirmasi, BUMN sektor infrastruktur tersebut tidak memberikan respons.

Adapun Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) Budi Harto meminta Tempo menunggu semua proses tuntas. “Nanti saja kalau sudah selesai,” ujar Budi Harto saat dihubungi, Kamis, 30 September lalu.

•••

Pembangunan jalan Tol Cinere-Serpong seksi kedua ruas Tol Cinere-Pamulang di Kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, 13 September 2021. ANTARA/Muhammad Iqbal

JAUH sebelum resmi beroperasi, Lembaga Pengelola Investasi telah menjadi sorotan banyak kalangan. Lembaga ini digadang-gadang sebagai institusi SWF. Konsep SWF pertama kali diperkenalkan dengan lahirnya Kuwait Investment Authority pada 1953 yang mengelola kekayaan Kuwait dari sektor minyak dan gas bumi.

Sedekade terakhir, makin banyak negara mengembangkan institusi pengelola dana kekayaan negeri mereka, baik berupa cadangan devisa, surplus fiskal, maupun hasil ekspor sumber daya alam. Dengan perkiraan total aset dalam pengelolaan (AUM) mencapai US$ 8,3 triliun di seluruh dunia, SWF kini menjadi sumber pendanaan alternatif yang mulai menyaingi pemodal swasta.

Permasalahannya, LPI didirikan ketika Indonesia belum memiliki sumber dana kekayaan yang dapat diputar seperti negara lain. Untuk memenuhi modal awal LPI sebesar Rp 75 triliun, anggaran negara yang sedang defisit harus menanggung Rp 15 triliun. Sisanya, modal awal akan dipenuhi lewat inbreng aset negara, termasuk saham badan usaha milik negara.  

Walhasil, alih-alih menjadi pengelola dana kekayaan negara, LPI lebih mirip pengelola aset atau proyek pemerintah. Skema ko-investasi yang disiapkan untuk mengakuisisi aset jalan tol BUMN karya itu salah satu yang menarik perhatian.

Dalam bahasa Direktur Center of Economic and Law Studies Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, LPI tak lebih dari sekadar menggantikan BUMN karya menjual beberapa hasil konstruksi yang sudah ada kepada investor. “INA dibentuk bukan sebagai pengelola kekayaan negara, jadinya seperti asset management BUMN,” tutur Bhima, Sabtu, 2 Oktober lalu.

Bhima membenarkan pandangan bahwa skema tersebut bisa memberikan jaminan yang lebih kuat kepada calon investor. Pasalnya, praktik business-to-business yang biasa dilakoni BUMN kini bisa menjadi government-to-business, bahkan government-to-government, lewat LPI. “Itu saja bedanya,” katanya. Namun dia khawatir skema ini membuat LPI sebagai SWF bukannya mengurangi beban pemerintah, melainkan hanya menjadi pengalih beban yang secara akumulatif dapat meningkatkan risiko.  “LPI perlu kembali marwahnya.”


Jalan Pintas Mencari Cuan

PEMERINTAH membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dengan ambisi menarik investasi asing yang dapat mendorong pembangunan. LPI diharapkan bisa menjadi terobosan di tengah kinerja penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) yang cenderung stagnan beberapa tahun terakhir.

Sembilan bulan berdiri, LPI mengklaim berhasil mengantongi komitmen investasi dari sejumlah pengelola dana global. Gelombang pertama rencana investasi ini menyasar sektor jalan tol, yang kebanyakan adalah aset badan usaha milik negara. Sektor lain masih alot.

Sumber: INA  |  Naskah: Khairul Anam

Masyita Crystallin menjelaskan, skema pendanaan LPI tidak dimaksudkan untuk mengalihkan aset-aset BUMN menjadi milik investor. LPI, dia menambahkan, akan membentuk sebuah badan usaha baru yang dimiliki secara bersama dengan para investor. Dana dari investor akan ditampung dalam master fund atau thematic fund yang selanjutnya dikelola LPI untuk investasi.

Skema master fund disiapkan bagi investor yang ingin berinvestasi di berbagai jenis aset milik perusahaan BUMN atau swasta. Sedangkan dalam thematic fund, investor berinvestasi di sektor strategis, seperti jalan tol, bandar udara, dan pelabuhan yang menjadi proyek prioritas LPI saat ini.

LPI, ujar Masyita, menjalankan prinsip investasi berupa penempatan ekuitas jangka panjang yang menjamin keberlangsungan perusahaan, transfer ilmu dan teknologi, serta peningkatan kemampuan perusahaan dalam mengakses pasar. Menurut dia, pengelolaan aset BUMN ini juga telah diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/03/2021. “Pemindahtanganan aset dengan cara penjualan dapat dilakukan kepada perusahaan patungan yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh LPI, atau perusahaan yang dikendalikan oleh LPI,” ucapnya.

Hingga September lalu, menurut Masyita, sudah ada 80 investor global yang tertarik berinvestasi di sektor infrastruktur Indonesia melalui LPI. Dari sekian investor global yang menyatakan ketertarikan, kata dia, belum semuanya mendapat aset yang cocok untuk memperoleh suntikan dana. Saat ini ada sejumlah aset yang siap, tapi belum ditemukan investor yang cocok. Demikian juga sebaliknya, ada investor yang sudah berniat masuk, tapi aset belum siap.

Bagi Chief Economist Trimegah Securities, Fakhrul Fulvian, sebuah lembaga pengelola investasi (LPI) baru dapat dikatakan berjalan jika investor sudah sepakat dan dananya telah disuntikkan. Tak peduli berapa banyak investor menyatakan minat lewat penandatanganan nota kesepahaman, “Kalau belum selesai, ya, saya lihat SWF belum optimal,” ujarnya, Jumat, 1 Oktober lalu.

KHAIRUL ANAM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus