Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian BUMN sedang menggodok skema pembentukan perusahan induk atau holding PLN.
Peran PLN dalam menyediakan listrik akan dipecah ke dalam banyak anak usaha.
Meski targetnya selesai akhir tahun ini, skema holding PLN belum jelas.
KRISIS pasokan batu bara akibat pengusaha lebih senang mengekspornya di tengah harga yang tinggi mendorong Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menggenjot transformasi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Pada Rabu, 19 Januari lalu, ia memimpin rapat tim percepatan pembentukan subholding PLN yang didirikan pada Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Erick, rapat itu baru membahas kajian awal struktur holding dan subholding PLN. Transformasi akan mengarahkan PLN sebagai perusahaan induk (holding) dengan anak-anak perusahaan (subholding) dibagi berdasarkan peran. Karena itu, dalam rancangan awal ini, setidaknya ada dua subholding yang disiapkan pemerintah: bidang retail yang mengurus layanan konsumen listrik dan bidang pembangkit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat pembentukan perusahaan induk PLN pertama pada 2022 ini baru membahas contoh penyedia listrik di banyak negara. Ada beberapa negara yang menjadi rujukan, di antaranya Vietnam Electricity, Korea Electric Power Corporation, dan Tenaga Nasional Berhad dari Malaysia.
Di negara-negara itu, kata Erick, tak hanya urusan pembangkit yang dipisahkan dari induknya dengan peran-peran anak usaha lain. Bahkan ada subholding yang mengurus aset pembangkit listrik. Jika kelak skema ini dipakai PLN, pembangkit-pembangkit batu bara milik negara bakal dikelola perusahaan baru. “Di dalamnya bisa transisi ke energi terbarukan,” tutur Erick pada Jumat, 28 Januari lalu.
Sejauh ini, tim percepatan pembentukan subholding tengah memetakan aset dan kewajiban PLN. Kewajiban jaminan aset, Erick menjelaskan, rencananya dikaji sesuai dengan struktur yang akan disetujui bersama antara PLN dan kreditor. Karena masih berupa konsep, gambaran perusahaan baru urusan setrum ini pun masih berkabut.
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan infrastruktur gardu induk dan transmisi PT PLN Persero di Desa Lam Puja, Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, pada 26 Januari 2022. ANTARA/Ampelsa
Anggota staf khusus Menteri BUMN, Muhammad Ikhsan, menyebutkan skema subholding PLN “masih fluid dan terdapat beberapa opsi”. Padahal Kementerian BUMN menargetkan skema pembentukan perusahaan induk dan anak-anaknya dimulai pada triwulan kedua tahun ini, tepatnya April 2022.
Ikhsan menjelaskan, pembentukan anak usaha PLN bertujuan membuka nilai dan transparansi biaya rantai pasokan listrik. Ikhsan menunjuk pendirian PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa-Bali yang terbukti memberikan tambahan pendapatan karena pengelolaan asetnya dibuat terpisah. Hanya, dengan potensi untung besar, risikonya tak kecil. “Perlu berbagi keuntungan dan risiko supaya tidak menggerogoti bisnis utama,” ucapnya.
Masalahnya, pemisahan aset pembangkit juga bukan masalah enteng. Transisi menjadi pembangkit energi terbarukan membutuhkan biaya besar, sementara PLN masih diganduli utang Rp 500 triliun. Apalagi Menteri Erick melarang PLN menambah utang dan penyertaan modal. “Harus cari alternatif,” katanya. “Misalnya aksi korporasi”. Erick tak menjelaskan jenisnya. Hanya, “Jangan menjual aset negara.”
Di atas kertas, pengelompokan unit bisnis akan membuat perusahaan setrum negara ini makin lincah. Menurut Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, anak usaha yang berfokus mengurus satu jenis layanan mendorong manajemen cepat mengambil keputusan, termasuk dalam mencari pendanaan. “Risiko bisnis akan makin mudah diantisipasi,” ujarnya.
Darmawan mencontohkan anak usaha pembangkit. Dengan memisahkan urusan pembangkit dalam satu anak usaha, kinerjanya akan lebih efisien. Subholding ini akan lebih berfokus mengelola pembangunan, pendanaan, juga operasi pembangkit.
Baik Erick maupun Darmawan memereteli peran PLN berdasarkan fungsi ke dalam perusahaan-perusahaan baru yang akan mempercepat pembangunan pembangkit energi terbarukan untuk mencapai target net zero emission pada 2060 yang membutuhkan dana sekitar US$ 500 miliar. Apalagi tujuan ini juga ditopang pemisahan (spin-off) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Spin-off untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara agaknya menjadi salah satu skema subholding pembangkit. Menurut Erick, kajian spin-off PLTU berfokus pada sisi finansial, legal, pajak, dan beberapa hal lain untuk memastikan suplai listrik sesuai dengan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL). Dalam RUPTL 2021-2030, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas 40.967 megawatt, yang separuhnya disumbang energi bersih.
Pekerja memeriksa instalasi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Lontar, Tangerang, Banten, 8 Juni 2016. TEMPO/Tony Hartawan
Pekerja memeriksa instalasi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Lontar, Tangerang, Banten, 8 Juni 2016. TEMPO/Tony Hartawan
Penghentian pengolahan batu bara sebagai sumber listrik Indonesia sudah disetujui Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Konferensi Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada awal November 2021. Indonesia hendak mengurangi emisi karbon sebanyak 41 persen dari 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Salah satu caranya adalah melalui kemitraan Mekanisme Transisi Energi (MTE) Indonesia dan Filipina bersama Bank Pembangunan Asia (ADB).
MTE adalah pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian operasi pembangkit listrik bertenaga batu bara dan membuka investasi bagi energi bersih. Secara teknis, ADB akan bekerja sama dengan PLN untuk merintis transisi energi. Salah satunya pemisahan PLTU batu bara. Saat ini ADB sedang menganalisis kelayakan implementasi MTE beberapa PLTU di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa berpendapat rencana pembangunan anak usaha PLN bisa berdampak positif terhadap kinerja perusahaan. “Lanskap bisnis listrik sudah berubah,” katanya. “Dulu pembangkit harus tersentralisasi dalam skala besar, sekarang tidak lagi.”
Fabby menyebutkan pemisahan aset pembangkit yang akan pensiun dini juga bisa memberi peluang bagi PLN untuk memiliki dana investasi di sektor energi terbarukan. Karena itu, spin-off bisa menjadi alternatif aksi korporasi untuk menambah anggaran transisi energi PLN.
Rencana-rencana besar itu, menurut Darmawan Prasodjo, akan dituntaskan pada akhir tahun ini. Sebelum itu, sebagai persiapan, PLN akan membentuk perusahaan induk secara virtual pada Mei mendatang. Namun semua rencana ini belum terkomunikasikan kepada karyawan PLN.
Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai PT Indonesia Power, mengaku belum paham mengenai rencana pembentukan perusahaan induk, perusahaan virtual, ataupun anak-anak usahanya. “Sebagai pegawai, kami enggak tahu di dalamnya akan seperti apa,” ujarnya.
Rencana spin-off PLTU juga belum jelas. Andy malah ragu akan efektivitasnya. Menurut dia, pemisahan PLTU malah bakal membuat PLN mati. Sebab, penjualan PLTU akan diikuti sejumlah jaminan yang merugikan.
Ia mencontohkan skema take-or-pay dan power purchase agreement (PPA) yang terus membebani PLN. Take-or-pay adalah perjanjian pembelian listrik oleh PLN kepada penyedia setrum swasta. Ketika terjadi kelebihan pasokan listrik, PLN tetap harus membelinya sesuai dengan kontrak atau membayar denda.
Andy juga merujuk pada PPA atau perjanjian jual-beli setrum yang membuat PLN terus merugi dan tak optimal memproduksi energi terbarukan. “Jangan sangka ketika mau jual PLTU maka akan dibeli swasta tanpa ada jaminan,” ucapnya.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo