Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lehar berusia 84 tahun dan menderita hipertensi dan stroke saat ditahan.
Polisi menolak penangguhan penahanannya.
Cerita perjuangan suku Maboet di Padang mendapatkan hak atas tak mereka.
TAK dinyana, percakapannya di telepon dengan ayahnya pada 16 Mei 2020 menjadi pembicaraan terakhir Gusti Herlina dengan Lehar. Waktu itu, laki-laki 82 tahun itu baru saja masuk tahanan Kepolisian Daerah Sumatera Barat dengan tuduhan menjadi bagian dari komplotan mafia tanah. “Suaranya lirih,” kata Herlina pekan lalu. “Beliau bilang Abak siap bertanggung jawab dan tidak menerima uang.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lehar adalah mamak kepala waris (MKW) Kaum Maboet Suku Sikumbang sejak 2000. Polisi menangkapnya bersama tiga orang lain. Tuduhannya adalah menipu dan memalsukan dokumen untuk tanah seluas 765 hektare di Koto Tangah, Padang. Tiga bulan kemudian, pada 2 Juli 2020, Lehar meninggal saat dibantarkan ke Rumah Sakit Umum Pusat M. Djamil Padang karena sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herlina, 38 tahun, tak sempat bertemu ayahnya. Ia menyayangkan polisi tetap menahan Lehar meski usianya sudah uzur. Polisi mengabaikan permintaan keluarganya untuk menangguhkan penahanan karena Lehar menderita hipertensi dan stroke. “Permintaan kami tak direspons polisi,” tutur Herlina.
Polisi menyebutkan Lehar meninggal karena infeksi saluran pernapasan. Dokter sebenarnya akan mengoperasi tumor yang ada di rahang kanannya. “Sempat menjalani tahap awal operasi dengan cek darah pada pagi, lalu meninggal malam hari,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatera Barat Komisaris Besar Satake Bayu Setianto, kala itu.
Sehari-hari, Lehar bekerja sebagai petani untuk menafkahi tujuh anaknya. Bersama keluarganya, ia tinggal di rumah sederhana di Jalan Parak Buruak, Koto Tangah. Selama belasan tahun, Lehar memperjuangkan kepemilikan lahan seluas 765 hektare agar diakui hukum sebagai milik sukunya. “Bapak sebenarnya hanya menggugat lahan yang masih kosong, bukan yang sudah ditempati orang lain,” ucap Herlina.
Ia mengatakan Lehar sosok bapak yang jujur. Hal ini diamini Yus, kemenakan Lehar. Meski bukan anak kandung, mereka kerap memanggil Lehar dengan sebutan “ayah”. “Beliau sosok yang baik meski cuek,” tutur Yus.
Pengganti Lehar, Muhamad Yusuf, mengenal kerabatnya itu sebagai pria pemarah tapi baik hati. Ia selalu terlihat tampil sederhana. Sesekali Lehar juga melaut. Yusuf menegaskan akan tetap meneruskan perjuangannya. “Kami Kaum Maboet akan tetap berjuang untuk tanah ini,” Yusuf menegaskan.
Lehar tercatat sebagai MKW Kaum Maboet generasi ketiga. Kaum ini merupakan keluarga besar seorang tokoh bernama Maboet dari suku Sikumbang. Hingga kini, jumlah anggota suku mereka mencapai 200 orang di sekitar Kota Padang. Umumnya masyarakat adat suku ini berdomisili di Koto Tangah, kawasan yang hingga kini masih disengketakan.
Kaum Maboet meyakini 765 hektare tanah itu milik mereka dengan modal dokumen Hak Atas Tanah putusan Landraad Nomor 09 Tahun 1931 dan surat ukur Nomor 30/17 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Kota Padang sejak 1985. Saat Kaum Maboet dipimpin Lehar, sering kali ia menerima gugatan dari berbagai pihak yang menginginkan tanah itu, tapi selalu menang di pengadilan.
Nasib Lehar berubah di tangan polisi Sumatera Barat. Penyidik meyakini Lehar dan ketiga temannya bersalah. Selama proses penyelidikan, ia selalu didampingi anak-anaknya yang lain. Lehar tak bisa membaca dan menulis.
Hingga kini, anak-anak Lehar mengaku heran ada orang lain yang menyeret perjuangan sang ayah ke jaringan mafia tanah. Kasus Lehar juga disebut bernuansa politis. Herlina mengklaim Lehar tak pernah sekali pun masuk ke dunia politik. Mereka hanya ingin keadilan. “Bapak bukan orang politik. Dia hanya memperjuangkan hak atas tanahnya,” katanya.
FACHRI HAMZAH (PADANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo