Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengembang game lokal masih kedodoran dengan serbuan game global.
Mereka yang terbatas dana pemasarannya memilih pasar premium dengan pembeli internasional.
Pemerintah menyiapkan stimulus fiskal dan nonfiskal untuk pengembang lokal.
JUMAT pekan lalu menjadi hari penting bagi Muhammad Irfan Sarwono. Direktur Game Xelo Digital Entertainment ini punya kesempatan belajar tentang pemasaran game secara daring kepada Chris Zukowski. Xelo adalah pengembang game lokal. Sedangkan Zukowski pemain industri game global terkenal spesialis pembuat game pendek retro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua game besutan Zukowski, 1 Screen Platformer dan Return of the Zombie King, adalah permainan berbayar yang bisa dimainkan di komputer jinjing. “Memasarkan game itu terasa sangat membingungkan,” tulis Zukowski di blog Howtomarketagame.com. “Ada banyak informasi bertentangan. Anda tidak ingin seperti penjual mobil busuk yang menawarkan permainan Anda kepada setiap orang yang lewat di jalan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Zukowski itu diamini Irfan Sarwono. Ia mengakui amat sulit memasarkan game. “Di Xelo kami hanya produksi game, enggak tahu cara menjualnya,” katanya pada Sabtu pekan lalu. Karena itu, ketika ada tawaran belajar langsung kepada Zukowski, ia langsung mendaftar.
Adalah Asosiasi Game Indonesia (AGI) yang menawari Xelo bergabung di Indonesia Game Developer Xchange (IGDX) 2021. Tawaran itu datang pada akhir Juli lalu. Setelah mempelajari dan yakin bahwa program itu bagus, Irfan mengajukan Xelo sebagai calon peserta. “Ternyata memang bagus,” ujarnya. “Kami dapat ilmu dari veteran game di industri global.”
Xelo terbilang pemain anyar. Setelah resmi menjadi perseroan terbatas pada Mei 2020, pengembang indie game ini baru merilis produk pertama, Escape from Naraka, pada Juli lalu. Ini game yang menantang para pemainnya melakukan perjalanan di alam arwah untuk menyelamatkan kekasih dari cengkeraman iblis jahat bernama Rangda Ratu Leyak—latar game terinspirasi mitologi Bali. “Game-nya sederhana, seperti Mario Bros. (berlari-lari). Cuma, sorot kameranya first person,” tutur Irfan.
Saat mendirikan Xelo bersama Lisun Chang, Irfan sadar mereka tak punya modal besar. Demi menghindari biaya pemasaran seperti iklan, Escape from Naraka didesain sebagai game premium di platform Windows dan dilepas di Steam, marketplace game premium terbesar di dunia. “Mobile game free-to-play (gratis) itu mudah bikinnya, tapi susah memasarkannya,” ucap Irfan. “Marketing-nya harus kuat.”
Xelo satu dari 25 pengembang game lokal yang ikut dalam IGDX Academy, tahap pertama IGDX 2021. IGDX adalah program besutan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam pengembangan industri permainan nasional, baik yang berbasis mobile, komputer jinjing, maupun konsol.
Kementerian Komunikasi menjaring sejumlah mitra dan AGI untuk mendatangkan banyak pakar industri game global yang melatih puluhan pengembang game lokal tersebut. “Kami mengundang para pakar ini selama tiga bulan penuh,” ujar Koordinator Business Matchmaking Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi Luat Sihombing, Kamis, 26 Agustus lalu.
Dalam kategori pakar pengembang game, Kementerian Komunikasi mendatangkan Myriame Lachapelle, produser dan konsultan permainan virtual asal Kanada yang mengembangkan Celeste, salah satu game premium global. Sementara kepada Chris Zukowski produsen game seperti Irfan belajar bagaimana memaksimalkan media sosial sebagai alat pemasaran, kepada Lachapelle, Irfan berguru cara merancang game yang efisien.
Menurut Luat, setelah 25 pengembang game lokal ini rampung mendalami pakem industri permainan dari pakar global, baru pada November nanti mereka dipertemukan dengan calon investor dan penerbit, juga secara virtual. Luat mengaku telah menjajaki sejumlah investor dan penerbit lokal dan global untuk diajak melihat-lihat produk para pengembang ini. “Dengan cara ini, semoga sektor swasta melirik industri game,” tutur Luat.
Pemerintah, Luat menambahkan, sudah mengetahui masalah yang menghadang industri game lokal. Modal mereka terbatas. Tidak seperti perusahaan rintisan di bidang teknologi yang mapan mengakses permodalan, industri game belum banyak dilirik investor lokal. Walhasil, pengembang nasional lebih banyak bermain di ranah game premium yang sudah jelas potensi penghasilannya, yaitu dari berjualan game. Permainan jenis ini tidak menuntut biaya iklan jumbo.
Kebalikannya, permainan free-to-play yang berserak di platform mobile dan laptop begitu mengandalkan pemasaran. Game yang mengandalkan pendapatan dari iklan dan belanja senjata (in-app purchase) cenderung lebih ketat bersaing. Setiap hari ada 1.000 permainan baru yang muncul, esoknya 999 di antaranya tertimbun game baru.
Mereka yang bertahan hanya game dengan sokongan dana iklan gemuk. Fenomena ini terlihat dari popularitas genre game terpopuler di Indonesia, pertempuran daring multipemain (multiplayer online battle arena/MOBA). Lima besar game jenis ini dikuasai pengembang global. Di antaranya Mobile Legends: Bang Bang besutan Moonton (Cina), Garena AOV: Arena of Valor bikinan Garena (Singapura), dan League of Legends karya Riot Games Inc (Amerika Serikat).
Keterbatasan modal membuat industri game lokal hanya merengkuh tak sampai 5 persen pangsa pasar game dalam negeri. Talenta top Indonesia akhirnya memilih berkarier di pengembang game luar negeri yang mampu membayar mahal mereka. Tidak banyak yang memilih pulang kampung dan mengembangkan permainan sendiri dengan bendera mandiri. Irfan Sarwono adalah pengecualian, yang mau pulang dan membangun Xelo setelah berkelana di perusahaan game Malaysia dan Eropa.
Selain menggelar IGDX, Luat Sihombing menjelaskan, Kementerian Komunikasi sedang menyiapkan Gerakan Game Anak Bangsa. Gerakan ini diniatkan sebagai medium buat para pengembang permainan lokal untuk mempromosikan game mereka.
Menurut Luat, medium ini diperlukan karena pemain game punya kecenderungan tidak peduli dengan asal negara pembuat game. “Supaya penggunanya meningkat dan mendorong kapasitas mereka serta membuka peluang pendanaan,” ujar Luat. Sejauh ini, baru satu game MOBA lokal yang mampu bersaing di dalam negeri, yaitu Lokapala besutan Anantarupa Studios.
Selain Kementerian Komunikasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membukakan jalan untuk pengembangan industri game nasional. Kementerian ini, ketika masih di bawah Badan Ekonomi Kreatif, sempat menggulirkan bantuan insentif pemerintah sebesar Rp 200 juta bagi pengembang game terpilih.
Pemenang program itu merupakan hasil kurasi profesional hingga para investor game. Namun, menurut Syaifullah Agam, Direktur Industri Kreatif Film, Televisi, dan Animasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, industri game membutuhkan stimulus yang lebih struktural.
Syaifullah bersama timnya sedang menyusun naskah akademik rancangan peraturan yang memberikan stimulus buat pengembangan industri game dalam negeri. Stimulus itu berupa kebijakan fiskal hingga nonfiskal, seperti keberpihakan belanja pemerintah. Ada juga keharusan pengembang internasional menggandeng penerbit lokal ketika merilis produknya di Indonesia. “Akan kami lakukan cross country analysis dan sesuaikan dengan kondisi di sini,” ucap Syaifullah pada Jumat, 27 Agustus lalu.
Adapun untuk meningkatkan akses pendanaan, Kementerian Pariwisata sedang merayu industri keuangan formal agar mengakui kekayaan intelektual berupa lisensi game sebagai aset yang bisa dijaminkan. “Pembiayaan intellectual property ini adalah amanat Undang-Undang Ekonomi Kreatif,” kata Syaifullah. “Ketika nanti lembaga keuangan formal berani memberikan pembiayaan kepada industri game lokal dengan jaminan kekayaan intelektual, modal ventura dan angle investor juga harus lebih berani.”
KHAIRUL ANAM, AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo