Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jamaah Islamiyah menerapkan berbagai cara untuk mendapatkan donasi.
Pengelola Syam Organizer menggunakan isu Palestina dan Suriah untuk mencari uang.
Duit hasil donasi digunakan untuk membiayai pelatihan teror.
GARIS polisi masih melintang di kantor Syam Organizer, Kelurahan Suryodiningratan, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Rabu, 25 Agustus lalu. Papan nama yang menerangkan izin organisasi berdasarkan surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga masih terpacak di teras rumah. Di bangunan dua lantai itu, puluhan anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror atau Densus 88 menggeledah dan menyita aset Syam yang diduga terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah pada 5 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua rukun tetangga setempat, Setyo Karjono, mengatakan polisi mengangkut dokumen, komputer jinjing, bendera Palestina, kaleng infak, dan lemari besi. Ada juga brankas yang diangkat oleh dua petugas dari loteng. “Rumah itu digeledah selama enam jam sejak pukul 12 siang,” kata Setyo, yang menyaksikan penggeledahan hari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajemen Syam melaporkan kegiatan organisasi kepada ketua wilayah setempat pada sekitar November 2019. Berdasarkan dokumen laporan warga yang dilihat Tempo, pengelola Syam mengutus Edris Ernawan, warga Klaten, Jawa Tengah, untuk mengurus izin kepada ketua rukun tetangga dan rukun warga. Dalam buku catatan itu, Edris menulis bahwa Syam merupakan yayasan sosial yang bergiat dalam isu kemanusiaan.
Seorang perempuan yang membuka warung di dekat markas Syam bercerita, karyawan Syam kerap menjadi khatib di masjid terdekat. Mereka lalu mengedarkan kotak amal dari kaleng susu seusai pengajian. Kepada jemaah, pegawai Syam menyatakan sumbangan itu akan dipakai untuk membantu warga Palestina. Perempuan penjaga warung tersebut pernah menerima paket bantuan bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan minyak, dari pengelola Syam.
Kepala Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan Syam Organizer terdeteksi menyalurkan dana kepada Jamaah Islamiyah (JI). Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan JI sebagai organisasi terlarang pada 2008. Syam ditengarai mentransfer duit hingga Rp 1,9 miliar ke organisasi itu. “Mereka membawa isu Palestina dan Suriah untuk menarik simpati masyarakat,” ujar Argo.
Peran Syam sebagai salah satu mesin uang Jamaah Islamiyah terlihat dari sejumlah persidangan kasus terorisme sepanjang 2019-2020. Berdasarkan risalah vonis terhadap anggota JI, Budi Trikaryanto alias Abu Aiman, disebutkan bahwa Syam Organizer didirikan sebagai organisasi amal untuk menghimpun dana dari orang-orang kaya yang bersimpati terhadap perjuangan JI. Sumbangan yang terkumpul kemudian disisihkan untuk operasional organisasi dan membiayai pelatihan teror.
Dalam persidangan anggota Jamaah Ansharud Daulah, May Yusral, Syam disebut mengirim dua pegawai, Ikrimah dan Yazid Fatih, ke Suriah pada Desember 2013. Tujuannya, memberi duit Rp 100 juta dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Di Suriah, mereka tinggal di markas Jabhat al-Nusra, yang berafiliasi ke Al-Qaidah, serta sempat berlatih menembak dan bongkar-pasang senjata.
Syam kembali mengirim orang ke Suriah pada Juli 2015. Kegiatan itu diketahui dari berkas pemeriksaan Laswadi, pengurus Syam Yogyakarta, yang dilihat Tempo. Dalam dokumen itu, Laswadi berangkat ke Idlib bersama pria bernama Syaiful Haq untuk menyerahkan duit US$ 10 ribu kepada Al-Nusra. Ia diperintah untuk memotret penyerahan bantuan ke Suriah agar donatur percaya bahwa donasi sudah dikirim ke Suriah.
Laswadi dicokok tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri di kantor Syam Yogyakarta pada 4 April lalu. Mengaku sebagai Direktur Program Syam kepada penyidik, ia menyebutkan penggalangan dana masyarakat kini ada beberapa cara, seperti menitipkan kotak amal, menawarkan proposal, dan beriklan melalui layanan pesan pendek.
Menurut Laswadi, pengumpulan sedekah menggunakan blek sangat efektif. Ia memerintahkan pengelola Syam daerah untuk memperbanyak kaleng infak. Selama masa pandemi Covid-19, permintaan tambahan kaleng sedekah di daerah melonjak hingga 300 buah. Celengan itu biasanya diedarkan kepada jemaah ketika acara tablig. Mereka juga membuka lapak di depan masjid seusai salat Jumat.
Para Wijayanto. Dok. Divisi Humas Polri
Menurut pengakuan Laswadi, pengiriman dana dari Syam ke Jamaah Islamiyah mulai macet setelah Para Wijayanto, amir JI, ditangkap polisi pada Juli 2019. Para diyakini sebagai amir yang membangun kembali kemampuan ekonomi JI setelah Abu Bakar Ba’asyir, Abu Rusdan, Adung, dan Zarkasih berturut-turut diciduk polisi. Ia mengelola perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan serta ladang cokelat di Sulawesi. Para menggaji pegawainya Rp 10-15 juta per bulan.
Nasir Abbas, bekas Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah, menyatakan jaringan JI yang tersisa kini berupaya mengubah struktur dan memperkuat bisnis untuk mendanai aksi mereka. Ia menyebutkan anggota JI menggunakan isu kemanusiaan sebagai kedok penggalangan dana, tapi memakai infak untuk membiayai pelatihan teror dan membeli aset perkebunan. "Mereka juga membentuk badan analisis politik, badan hukum, dan badan opini masyarakat dengan dana tersebut,” kata Nasir.
Jamaah Islamiyah juga diyakini mengelola yayasan sebagai mesin uang. Juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono, menyebutkan Yayasan Baitul Maal Abdurrahman bin Auf (ABA) telah mengalirkan sedikitnya Rp 1,2 miliar dari Rp 104,8 miliar yang dihimpun dari masyarakat ke kas JI. Transaksi itu diketahui dari data dua rekening atas nama Fitria Senjaya dan Raden Bageskara.
Seorang petinggi kepolisian di bidang antiteror mengatakan Yayasan ABA kerap berganti-ganti nama, tapi tertib mendaftar ke Badan Amil Zakat Nasional. Menyamarkan aktivitas organisasinya, pengurus mendeklarasikan bahwa yayasan hanya aktif dalam kegiatan kemanusiaan, peduli bencana, dan solidaritas untuk warga Palestina.
Pendanaan organisasi Jamaah Islamiyah diduga juga bersumber dari perusahaan ekspedisi. Polisi menemukan PT Sajira Mahardika yang berkantor di Bandung memberikan sebagian dana infak karyawan selama lima tahun terakhir kepada JI. Jumlahnya mencapai Rp 300 juta. Dua karyawan PT Sajira, salah satunya berposisi setingkat direktur, masuk daftar 53 orang yang ditangkap tim Densus 88 Antiteror pada 12-17 Agustus lalu.
Meski pegawainya disangka terlibat terorisme, aktivitas di kantor PT Sajira di Holis Commercial Residence, Bandung, berjalan normal pada Jumat siang, 27 Agustus lalu. Belasan sepeda motor terparkir di depan bangunan itu. Enam orang tampak berkumpul di halaman. Seorang di antaranya menyebutkan kasus infak kepada Jamaah Islamiyah sudah menyebar di antara karyawan, tapi aktivitas pengiriman barang tetap berjalan seperti biasa.
Direktur Pemasaran PT Sajira, Dadan Ramdansyah, membantah kabar bahwa perusahaan menyumbangkan sebagian omzet kepada Jamaah Islamiyah. Namun ia mengakui ada dua pegawai yang digulung tim Densus 88 Antiteror. Dua karyawan itu bertugas mengelola infak dari pekerja Sajira. “Tapi kami tak mengetahui ke mana sedekah itu disalurkan,” ujarnya.
Sylvia Laksmi, kandidat doktor di bidang pendanaan terorisme di Australian National University, menjelaskan bahwa bisnis dan penggalangan dana di kalangan anggota Jamaah Islamiyah sudah berlangsung lama. Organisasi teroris menggunakan segala cara, baik legal maupun ilegal, untuk mengepul duit. “Mereka memakai ideologi dan pendekatan agama untuk menarik sedekah dari masyarakat,” kata Sylvia.
ANDITA RAHMA, EGI ADYATMA, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), IQBAL T. LAZUARDI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo