Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembentukan BLU batu bara menanti penerbitan regulasi.
BLU akan menalangi selisih harga pasar dengan harga batu bara untuk PLN.
BLU hanya akan berfungsi saat harga batu bara di atas US$ 70 per ton.
TITIK terang rencana pembentukan badan layanan umum (BLU) batu bara datang dari Kementerian Sekretariat Negara. Melalui surat bertanggal 12 Agustus 2022, Kementerian Sekretariat Negara memberi tahu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai persetujuan Presiden Joko Widodo terhadap rencana penyusunan peraturan presiden (perpres) tentang pembentukan badan penyalur dan penghimpun dana kompensasi batu bara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat itu juga memerintahkan rapat pembahasan perpres lintas kementerian dan lembaga dimulai paling lambat 14 hari sejak surat terbit sehingga regulasi tersebut selesai sebelum akhir tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga hari sebelum persetujuan presiden terbit, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan rencana pembentukan BLU batu bara tertahan di Sekretariat Negara. Dalam rapat kerja dengan Komisi Industri Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 9 Agustus lalu, Arifin mengatakan belum ada persetujuan karena masih ada perdebatan mengenai bentuk regulasi pendirian BLU batu bara, apakah berupa perpres atau peraturan pemerintah (PP). “Kami telah menyampaikan surat kepada Sekretariat Negara agar aturan itu berupa perpres,” ujar Arifin.
Mendengar penjelasan Arifin, sejumlah anggota DPR memberi saran. Salah satunya Mukhtarudin, politikus Partai Golkar, yang mendesak regulasi pendirian BLU menggunakan perpres. “Penyusunan PP lama, kebutuhan sudah mendesak,” ucapnya.
Dalam diskusi publik pada Kamis, 4 Agustus lalu, anggota staf khusus Menteri ESDM, Irwandy Arif, mengatakan perdebatan tentang regulasi terjadi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. Menurut Irwandy, pembahasan rencana pendirian BLU dimulai di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada Januari lalu, ketika PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengalami kekurangan pasokan batu bara.
Saat itu produsen memilih menjual batu bara ke luar negeri ketimbang ke PLN, yang mematok harga beli US$ 70 per ton. Sebab, harga batu bara di pasar global menembus US$ 300 per ton dan harga batu bara acuan Indonesia saat itu saja sudah mencapai US$ 158 per ton.
BLU dianggap sebagai solusi untuk mengatasi disparitas harga batu bara global dengan harga beli dari PLN. Lembaga ini menampung iuran dari perusahaan batu bara dan uang yang terkumpul disalurkan kembali ke perusahaan tambang untuk menutup selisih harga jual batu bara ke PLN dengan harga pasar.
Menurut Irwandy, Kementerian Keuangan berpendapat pembentukan BLU harus memakai landasan PP, yang artinya mesti ada pembentukan lembaga baru. Padahal, dia menambahkan, Kementerian ESDM sudah menyiapkan dua lembaga yang akan menjalankan peran sebagai BLU, yakni Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi.
Terbitnya surat dari Kementerian Sekretariat Negara mengakhiri perdebatan mengenai regulasi. Namun perdebatan tampaknya belum akan berakhir karena bukan hanya PLN yang menghendaki pasokan batu bara. Produsen semen, pupuk, dan industri pengguna batu bara lain juga meminta ambil bagian dalam BLU.
•••
PEMERINTAH memasang badan layanan umum batu bara sebagai solusi permanen masalah kelangkaan pasokan yang kerap dialami Perusahaan Listrik Negara. Persoalan ini berulang manakala harga batu bara internasional melambung jauh di atas harga wajib pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
Dalam aturan DMO, penambang wajib menjual 25 persen batu bara yang mereka keruk untuk pasar domestik. PLN menyerap 62 persen DMO. Dari 188,9 juta ton kebutuhan batu bara dalam negeri tahun ini, PLN mengambil 119 juta ton. Pelahap batu bara terbesar kedua adalah industri pengolahan pemurnian tambang atau smelter sebanyak 35,36 juta ton (18,71 persen), industri semen 16,07 juta ton (8,5 persen), dan tekstil 8,25 juta ton (4,3 persen).
Dari semua industri pengguna batu bara, hanya PLN yang tak bisa leluasa meneruskan kenaikan biaya bahan baku ke harga jual listrik. Untuk melindungi keuangan PLN sekaligus menekan tarif listrik, sejak 18 Maret 2018 pemerintah menetapkan harga batu bara untuk kelistrikan maksimal US$ 70 per ton. Pada November 2021, giliran industri semen dan pupuk yang mendapat harga khusus, maksimal US$ 90 per ton.
Pada akhir 2021, saat harga batu bara mencapai ratusan dolar Amerika Serikat per ton, banyak penambang yang mengabaikan DMO dan mengekspor hasil tambangnya. Pada Desember 2021, stok batu bara PLN tinggal 2,5 juta ton, jauh di bawah batas aman. Pemasok lama enggan memperbarui kontrak, pemasok baru pun tak kunjung datang. Presiden kemudian melarang ekspor batu bara pada Januari 2022.
Pemerintah sudah menyiapkan sejumlah strategi, antara lain aturan kompensasi dan denda bagi penambang yang tak memenuhi kewajiban DMO. Ketika harga batu bara acuan melewati US$ 200 per ton, strategi kompensasi dan denda tak mangkus. Penambang memilih membayar kompensasi dan denda karena biaya itu bisa ditutup dari keuntungan ekspor.
“Karena itu, sampai hari ini tidak ada satu pun pemasok batu bara yang mau berkontrak dengan PLN. Yang sudah berkontrak dengan PLN, tidak ada satu pun yang mau memperpanjang,” kata Direktur Energi Primer PLN Hartanto Wibowo pada Selasa, 9 Agustus lalu.
PLN pun mengusulkan BLU batu bara segera dibentuk. Menurut PLN, BLU menyelesaikan masalah disparitas harga batu bara domestik dengan internasional. “Ini satu-satunya peluang PLN menyelesaikan masalah,” ujar Hartanto. BLU akan bekerja hanya jika harga pasar batu bara di atas US$ 70 per ton.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif (kedua kiri) saat mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR membahas kebijakan pemenuhan Domestic Market Obligation batubara untuk PT PLN Persero, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 Agustus 2022. ANTARA/Galih Pradipta
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, konsep iuran batu bara sebetulnya sudah mengemuka pada 2018, sebelum pemerintah memutuskan harga batu bara kelistrikan maksimal US$ 70 per ton. Saat itu APBI sempat berdiskusi dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Karena itu, BLU batu bara memakai skema seperti BPDPKS, yang mengambil pungutan dari setiap eksportir. BPDPKS memakai dana pungutan untuk meremajakan kebun hingga menambal selisih harga jual bahan baku biodiesel ke PT Pertamina (Persero). Sedangkan iuran batu bara akan dipakai untuk menutup selisih harga batu bara PLN dan pasar. “Apakah pungutan itu dicatat dalam keuangan negara, silakan negara yang urus,” tutur Hendra pada Sabtu, 13 Agustus lalu.
Namun belakangan usul penggunaan BLU meluas. Bukan hanya untuk PLN, BLU juga akan mengakomodasi kebutuhan industri pupuk dan semen. Sejak Maret lalu, industri pupuk dan semen serta industri di luar smelter tambang mendapat harga batu bara maksimal US$ 90 per ton. Nasib mereka pun sama seperti PLN karena pasokan untuk mereka berkurang. “Biasanya ada stok batu bara sampai dua bulan, kini hanya untuk dua minggu,” kata Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia Widodo Santoso pada Jumat, 12 Agustus lalu.
Menurut Widodo, industri semen hampir sama dengan PLN karena produknya masuk daftar 10 barang strategis kebutuhan nasional, termasuk untuk infrastruktur. “Kalau harga semen naik 30 persen, apa enggak kolaps keuangan pemerintah?” ucap Widodo.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif memastikan semen dan pupuk akan masuk daftar industri yang bakal diakomodasi BLU batu bara. Alasan Arifin, ada unsur subsidi dalam industri pupuk. Sedangkan semen, Arifin menambahkan, adalah material penting dalam program infrastruktur pemerintah. “Masyarakat kecil juga banyak yang ingin punya rumah tembok,” tuturnya
Tapi APBI meminta pemerintah mengkaji ulang rencana memasukkan semen dan pupuk ke ekosistem BLU batu bara. Sebab, kata Hendra Sinadia, dua industri itu, kendati turut melayani kebutuhan publik, punya pasar ekspor yang cukup besar.
Sepanjang semester pertama tahun ini, industri semen nasional telah mengekspor 4,7 juta ton. Adapun Pupuk Indonesia menjual 14 juta ton dan sebagian diekspor. “Rasanya kurang pas kalau menikmati ekspor, dan banyak pemilik asingnya, masuk BLU. Semangat untuk membantu industri dalam negeri jadi agak bias,” ujar Hendra.
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo