Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sepatutnya Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo menetapkan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Ungkapan biar lambat asal selamat tak berlaku dalam perkara ini: polisi terkesan menunggu reaksi publik dan sibuk membaca sikap politik presiden dan para petinggi Republik. Menjadikan fakta “tempat kejadian perkara yang sudah tercemar” sebagai dalih, penetapan itu baru dilakukan ketika orang ramai dan Presiden meminta kasus ini tidak ditutup-tutupi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi bukan tak punya kemampuan mengusut. Meski demikian, pada pekan-pekan pertama kejadian, mereka seolah-olah melencengkan penyebab kematian Yosua, dengan hanya mengandalkan pengakuan Ferdy Sambo. Sebulan setelah kejadian, polisi tak punya temuan untuk mematahkan keterangan mereka yang ada di sekitar pembunuhan Yosua. Mendapat anggaran Rp 111,4 triliun per tahun, polisi telah mencorengkan arang ke wajah publik dengan mengeluh kesulitan menemukan barang bukti di lokasi kejadian yang disebut sudah centang perenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengakuan terduga pelaku hanya satu anasir dalam penyidikan. Pencarian bukti pendukung dan mendapatkan kesaksian adalah cara umum dalam menelisik sebuah kejahatan. Dengan hanya berbasis pengakuan—apalagi yang jelas-jelas tak masuk akal—penanganan sebuah kejahatan rentan salah perspektif. Ferdy Sambo mengaku memerintahkan pembunuhan Yosua karena mempertahankan muruah keluarga yang tak jelas apa persisnya karena polisi menolak mengungkap motif pembunuhan ini.
Orang ramai lalu sibuk menerka—apalagi ketika Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menambah bensin syak wasangka. Alih-alih meminta polisi untuk tidak lamban, Mahfud malah bergunjing dengan menyebut motif pembunuhan Yosua adalah “konsumsi orang dewasa”. Jika benar kelambanan itu disebabkan oleh pertarungan politik antar-jenderal atawa ada rahasia besar yang terbongkar jika kasus ini diungkap, Mahfud semestinya ambil peranan untuk meluruskan segala yang bengkok.
Yang kini terjadi adalah opera sabun. Tanpa klarifikasi, penyidikan sebuah kejahatan berubah menjadi cerita gosip soal dugaan perselingkuhan. Jika karena motif ini Ferdy Sambo menghilangkan nyawa orang lain, opini publik akan tergiring menyalahkan Putri Candrawathi, istri Ferdy, sebagai prima causa pembunuhan itu.
Padahal kejahatan utamanya adalah pembunuhan berencana oleh Ferdy Sambo dan kawan-kawan. Semestinya polisi berfokus di sini. Jangan sampai machoism ala Ferdy Sambo yang terlupakan karena polisi gagal menemukan bukti-bukti pembunuhan. Bias gender ini akan melemahkan dakwaan karena ada pemakluman terhadap apa yang dilakukan Ferdy. Di pengadilan, Ferdy Sambo bisa dihukum ringan jika berhasil meyakinkan hakim bahwa ia melakukan kejahatan itu untuk membela martabatnya sebagai kepala keluarga.
Yang tak boleh dilupakan: Ferdy Sambo juga merekayasa cerita kematian Yosua. Polisi harus mengembangkan penyidikan terhadap siapa saja yang membantu Ferdy merekayasa cerita. Kepala Polri memang sudah memutasi 27 perwira yang diduga terlibat rekayasa kematian Yosua. Tapi itu tidak cukup: mutasi bahkan pemecatan tak membuat hukum jadi berwibawa. Mereka harus diseret ke pengadilan untuk mendapatkan hukuman setimpal.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo