Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PLN mengalami krisis pasokan batu bara yang bisa mengganggu kegiatan operasi pembangkit
Kekacauan kebijakan pengaturan komoditas batu bara menjadi penyebab krisis batu bara
Badan layanan umum batu bara tidak bisa menjadi solusi dan rentan penyimpangan
PEMERINTAH tak boleh abai pada krisis pasokan batu bara yang tengah mengancam PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Bahaya listrik pudur mendadak bisa datang dalam tiga pekan ke depan karena pasokan batu bara PLN tinggal 19 hari, di bawah batas aman sediaan, 20 hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minimnya cadangan batu bara, bahan bakar di 50 persen dari 6.143 unit pembangkit listrik milik PLN, terjadi sejak tahun lalu seiring dengan kenaikan harga batu bara. Di pasar global, batu bara dijual 400 dolar Amerika Serikat per metrik ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, pasokan untuk PLN bergantung pada domestic market obligation (DMO)—aturan yang mewajibkan produsen menjual 25 persen produksi batu baranya di pasar lokal. Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri, harga jual ke PLN dipatok US$ 70 per metrik ton. Jomplang jauh ketimbang harga pasaran.
Di sisi lain, ketentuan yang sama tidak mengatur secara khusus pasokan untuk PLN. Pengusaha batu bara memanfaatkan celah aturan dalam keputusan menteri itu dengan menjual batu bara mereka di pasar domestik, misalnya untuk pabrik pupuk dan semen, karena bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi. Smelter mineral, misalnya, membeli batu bara sesuai dengan harga dunia. Dengan demikian, pengusaha mengklaim telah memenuhi DMO batu bara tanpa harus menjual murah ke PLN.
Ironisnya, sanksi DMO pun ringan. Denda bagi perusahaan yang melanggar kewajiban penjualan dalam negeri cuma US$ 5-15 per metrik ton. Tidak ada apa-apanya ketimbang keuntungan mereka dengan menjual batu bara ke luar negeri.
Alasan pengusaha menunda penjualan ke PLN karena menunggu terbentuknya badan layanan umum (BLU) batu bara tak bisa diterima. BLU batu bara adalah mekanisme baru pengaturan harga dari Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Lewat badan ini, pengusaha batu bara mendapat jaminan harga sesuai dengan pasar setiap kali bertransaksi di pasar domestik. Selisih ditambal oleh uang setoran perusahaan ke BLU.
Badan yang aturan hukumnya belum jelas ini sarat moral hazard. Sebab, pungutan yang produsen berikan ke badan tersebut dicatat sebagai penerimaan negara, tapi tak masuk kas negara. Skema tersebut rawan diselewengkan.
Berkaca pada pengelolaan dana sawit, pungutan di luar kas negara itu semata mengalir kembali ke kantong pengusaha. Fungsi lain, seperti pengembangan komoditas sawit berkelanjutan, tak tersentuh.
Alasan lain kita perlu menolak pembentukan BLU batu bara adalah badan ini menegasikan prinsip keadilan. Batu bara adalah sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk hajat hidup orang banyak, seperti yang diatur Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33. Sudah selayaknya perusahaan merelakan sebagian kecil produksi batu baranya demi terciptanya listrik murah bagi masyarakat banyak.
Solusi untuk mengatasi krisis pasokan batu bara PLN sejatinya ada di regulasi yang tegas, bukan pembentukan badan baru. Keputusan menteri yang ada sekarang perlu diperbarui dan dirinci dengan menyebutkan secara detail jumlah pasokan yang wajib produsen jual ke PLN.
Seharusnya mudah bagi Kementerian Energi mengubah ketentuan soal kebutuhan batu bara dalam negeri. Melihat fakta aturan yang ompong tersebut terus dipertahankan, sulit bagi publik untuk tidak curiga ada potensi konflik kepentingan pejabat cum pengusaha batu bara yang duduk di pucuk pemerintahan.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo