Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Menyaring Produk Bebas Deforestasi

Sejumlah organisasi lingkungan berdialog dengan Uni Eropa selepas pemberlakuan regulasi antiproduk hasil deforestasi. Aturan Uni Eropa akan berdampak pada ekspor minyak sawit, furnitur, hingga kertas.

11 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Uni Eropa memberlakukan aturan antiproduk hasil deforestasi.

  • Petani dan sejumlah organisasi di Indonesia berdialog dengan Komisi Uni Eropa.

  • Produk sawit, cokelat, hingga furnitur wajib memenuhi aturan antideforestasi.

PARLEMEN dan Dewan Uni Eropa akhirnya memberlakukan peraturan yang mewajibkan produk yang masuk ke kawasan itu dihasilkan oleh industri yang bebas dari praktik deforestasi atau penggundulan hutan. Aturan ini disepakati Parlemen dan Dewan Uni Eropa sehari sebelum Konferensi Keanekaragaman Hayati (COP15) berlangsung di Montreal, Kanada, pada Rabu, 7 Desember lalu. “Saya berharap peraturan inovatif ini akan mendorong pelindungan hutan di seluruh dunia," kata juru runding utama Parlemen Eropa, Christophe Hansen, seperti dikutip Reuters.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam aturan baru ini, semua perusahaan wajib mengadakan uji kelayakan yang membuktikan bahwa rantai pasokan mereka tidak merusak hutan. Eksportir pun harus memenuhi ketentuan ini sebelum menjual produk mereka ke Uni Eropa. Sanksi bagi pelanggar cukup berat, yaitu denda 4 persen dari omzetnya. Eksportir dan perusahaan buyer di Eropa pun harus menunjukkan lokasi dan waktu produksi komoditas tersebut. Informasi bahwa produk tersebut bebas dari deforestasi harus bisa diverifikasi, misalnya tidak ditanam di bekas hutan yang digunduli setelah 2020. Uni Eropa juga disebut akan melacak asal-usul komoditas itu dengan paspor elektronik produk digital.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah regulasi tersebut terbit, perusahaan atau pedagang yang memasok komoditas ke Eropa punya waktu 18 bulan untuk memenuhi syarat itu. Komoditas yang wajib memenuhi syarat antara lain minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, karet, serta produk turunan seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat. Uni Eropa tak lagi mengizinkan produk-produk itu masuk jika dihasilkan dari lahan hasil penggundulan hutan setelah 31 Desember 2020.

Dua minggu sebelum aturan itu disahkan, sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil dan kelompok petani Indonesia berangkat ke Brussels, Belgia, untuk bertemu dengan otoritas lingkungan Eropa. Organisasi yang datang ke pertemuan itu adalah Sawit Watch, Kaoem Telapak, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Pusaka, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau Elsam, The Institute for Ecosoc Rights, Indonesia for Global Justice, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Nasional.

Sekretariat Jenderal Nasional SPKS Mansuetus Darto, yang ikut dalam pertemuan itu, mengatakan ada dua persamuhan. Pertemuan pertama membahas proposal rantai pasokan bebas deforestasi bersama Komisi Lingkungan Eropa pada Rabu, 23 November lalu. Pertemuan berikutnya berlangsung pada Jumat, 25 November, bersama pemimpin tim Komisi Kemitraan Uni Eropa, Maria Jose Pallares Paredes.

Menurut Darto, rombongannya menyampaikan kesediaan petani memenuhi syarat tersebut sepanjang mendapat bantuan teknis dan keuangan. Misalnya perangkat geotagging dan geolokasi untuk melacak asal-muasal produk sawit. "Apakah dihasilkan dari kebun yang legal atau tidak," ujarnya. Mereka juga meminta Komisi Eropa menetapkan kuota minimum bagi perusahaan besar untuk memprioritaskan produk dari petani kecil.

Direktur Sawit Watch Achmad Surambo, yang juga ikut dalam pertemuan di Brussels, mengatakan aturan Uni Eropa bisa menjadi instrumen penting bagi organisasi masyarakat sipil dan petani kecil dalam penyelamatan hutan. Namun, kata dia, aturan ini harus bisa memastikan para petani kecil tidak menjadi pihak yang tertinggal. “Jangan sampai gara-gara aturan ini petani dan buruh terkena dampaknya.”

Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, mengatakan Eropa seharusnya memberikan insentif kepada negara yang sudah berupaya membenahi tata kelola hutan dan tengah menangani deforestasi. Dia juga menyoroti hak atas tanah dan hak masyarakat adat karena "mustahil menghentikan deforestasi tanpa menghormati hak asasi manusia". Namun, Palupi menambahkan, pertemuan di Brussels tidak menghasilkan komitmen yang jelas dari Komisi Uni Eropa.

Pemerintah pun sempat merespons rencana regulasi antiproduk hasil deforestasi yang mengemuka sejak November tahun lalu ini. Pada Januari lalu, pemerintah menyebutkan regulasi ini bisa berdampak pada Indonesia karena Uni Eropa adalah salah satu pasar utama produk sawit. Angka ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa tahun lalu mencapai 5 juta ton atau 14 persen dari total ekspor komoditas tersebut. Sedangkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat jumlah ekspor produk sawit ke Uni Eropa pada Agustus lalu sudah mencapai 506 ribu ton, naik 51,7 persen dari bulan sebelumnya.

AISHA SHAIDRA, FACHRI 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus