Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PTPN bermimpi menyulap seluruh pabrik gula serupa Glenmore.
Divestasi aset ke perusahaan baru Sugar Co disiapkan untuk mengatasi keterbatasan dana revitalisasi pabrik gula.
Dua skenario butuh modal dan investor jumbo.
MUSIM giling tebu telah tiba di sentra-sentra produksi gula sebulan terakhir. Di Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, kemeriahannya bahkan belum berakhir. Pada Jumat, 2 Juli lalu, antrean truk pengangkut tebu masih mengular di pelataran Pabrik Gula (PG) Glenmore, yang menyalakan mesin giling mereka sejak pekan kedua Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ramainya truk tebu yang menunggu giliran membongkar muatan siang itu amat kontras dengan suasana di dalam fasilitas produksi pabrik. Tak seperti jamaknya pabrik yang dipenuhi karyawan, setiap fasilitas produksi PG Glenmore hanya diampu segelintir pegawai. Stasiun penggilingan yang luasnya sekitar setengah lapangan bola, misalnya, dioperasikan dua pekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pabrik gula yang dikelola PT Industri Gula Glenmore (IGG), anak usaha PT Perkebunan Nusantara XII dan PT Perkebunan Nusantara XI, ini memang beroperasi menggunakan mesin yang serba otomatis. Stasiun penggilingan tersebut mengaplikasikan distributed control system (DCS) yang dijalankan seorang operator. “Jadi mesin-mesin dikendalikan dari control room,” kata Guntur Prihatomo, Manajer Sumber Daya Manusia dan Umum IGG, Jumat, 2 Juli lalu.
Sistem di ruang kendali itu memudahkan pegawai IGG dalam mengoperasikan setiap mesin, cukup dengan memencet tombol. Tak hanya itu, DCS juga akan merekam setiap detail proses produksi, dari nama dan jenis bahan, durasi penggilingan, volume tebu yang digiling, hingga hasilnya. Pola ini berbeda dengan sistem pabrik gula konvensional yang menjalankan setiap tahap produksi secara manual.
Direktur PT Perkebunan Nusantara XII Siwi Peni (keempat kiri) bersama jajaranya meninjau Buka Giling perdana 2021 di Pabrik Gula milik PT Industri Gula Glenmore, PTPN XII, Banyuwangi, Jawa Timur, 9 Juni 2021. ANTARA/Budi Candra Setya
Resmi beroperasi pada 2 Agustus 2016, PG Glenmore dibangun dengan biaya investasi senilai Rp 1,5 triliun. Pabrik gula modern yang dilengkapi sistem komputerisasi dan otomatisasi ini mengusung konsep industri terpadu. Tidak hanya memproduksi gula kristal putih alias gula konsumsi rumah tangga, pabrik ini juga menghasilkan produk turunan berupa bioetanol. Sisa olahan produksi juga dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk organik dan pakan ternak hingga penyediaan daya listrik berkapasitas 20 megawatt.
Dengan sistem otomatisasi produksi yang terintegrasi seperti itu, ujar Guntur, pabrik lebih efisien. Pengambilan keputusan pun lebih tepat sasaran karena didukung data yang lengkap dan akurat. Dengan begitu, kinerja pabrik lebih baik tak hanya dari ukuran produktivitas, tapi juga keuangan.
Misi besar sedang diemban IGG. Tahun ini, PG Glenmore diproyeksikan bisa meraup pendapatan hingga Rp 700 miliar, naik 33 persen dibanding pendapatan usaha IGG per 2019 yang mencapai Rp 527 miliar—data terakhir dalam Laporan Tahunan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII. Ketika memulai musim giling, 10 Juni lalu, Direktur PTPN XII Siwi Peni menyatakan optimistis bisa meningkatkan kapasitas giling pabrik dari 6.000 ton tebu per hari (TCD) menjadi 8.000 TCD dalam tiga-lima tahun mendatang.
•••
MONCERNYA kinerja Pabrik Gula Glenmore menjadi rujukan PT Perkebunan Nusantara III. Induk holding badan usaha perkebunan milik negara, termasuk PTPN XII sebagai anak usaha, ini berhasrat membangun lima pabrik gula baru dan merevitalisasi satu pabrik lama menjadi serupa dengan Glenmore: modern dan terintegrasi.
Bagi Muhammad Abdul Ghani, Direktur Utama PTPN III, peningkatan efisiensi dan produktivitas adalah kunci kelangsungan bisnis gula di bawah holding BUMN perkebunan. Berbicara dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain membidangi industri, Senin, 21 Juni lalu, Ghani mengatakan biaya operasional pabrik gula milik PTPN masih tergolong mahal. Di sisi lain, produktivitasnya beragam.
Dia mencontohkan, harga pokok produksi PG Jatiroto di Lumajang, PG Gempolkerep di Mojokerto, dan PG Ngadirejo di Kediri—semuanya di Jawa Timur—berkisar Rp 6.000-8.000 per kilogram. Tapi secara umum harga pokok produksi di pabrik gula lain, terutama yang berkapasitas kurang dari 3.000 ton tebu per hari, mencapai Rp 13 ribu per kilogram. “Itu persoalan di pabrik,” ujar Ghani, Senin, 21 Juni lalu.
Saat ini PTPN Holding memiliki 43 pabrik gula. Dari jumlah itu, hanya 35 pabrik yang beroperasi dengan total kapasitas 130 ribu TCD. Semuanya dikelola tujuh anak perusahaan, meliputi PTPN II di Sumatera Utara; PTPN VII di Lampung; PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, dan PTPN XII di Jawa Timur; serta PTPN XIV di Sulawesi Selatan. Lantaran memiliki lini usaha gula, ketujuh perusahaan itu disebut PTPN Gula.
Masalahnya, merevitalisasi pabrik-pabrik PTPN Gula bukan perkara mudah. Persoalan utamanya adalah keterbatasan dana. PTPN Holding, bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara, baru saja merampungkan perjanjian restrukturisasi utang puluhan triliun rupiah dengan para kreditor, sebagian besar berasal dari utang anak perusahaan. Sedangkan anak usaha yang dalam proses penataan ulang pembayaran pinjaman itu tak diperkenankan menarik pinjaman baru.
Itu sebabnya perseroan tengah menyiapkan strategi baru: merestrukturisasi semua aset pabrik gula PTPN ke satu badan usaha baru. Dalam rapat dengan DPR pada 21 Juni lalu itu, Ghani memaparkan rencana pembentukan perusahaan baru yang akan bernama Sugar Company (Sugar Co).
Materi paparan Grup PTPN dalam rapat dengan DPR itu mencatat sejumlah tahap pembentukan Sugar Co. Rencananya, PTPN III membentuk Sugar Co dari salah satu PTPN yang selama ini menjalankan bisnis gula (PTPN Gula). Lalu semua aset dan kewajiban yang berhubungan dengan bisnis gula dipisahkan dari tujuh PTPN Gula untuk selanjutnya dialihkan ke Sugar Co. Dengan begitu, PTPN III dan tujuh anak usahanya di PTPN Gula akan menggenggam saham Sugar Co.
Kendaraan baru inilah yang diharapkan menjadi tumpuan untuk menarik modal baru. Kelak PTPN III sebagai holding BUMN perkebunan akan melepaskan sahamnya kepada investor baru. Dalam materi paparan PTPN III, Lembaga Pengelola Investasi (INA) disebut sebagai investor yang dimaksud. Lembaga yang baru dibentuk pemerintah pada akhir 2020 ini juga bisa bertindak sebagai ko-investor, menggandeng pemodal baik dari dalam maupun luar negeri. Gambarannya, kelak komposisi pemilik saham Sugar Co terdiri atas PTPN III, PTPN Gula, INA, dan investor baru. Dalam rapat itu, Ghani belum bisa memastikan pembagian porsi kepemilikan tersebut.
Tempo telah berupaya meminta penjelasan langsung kepada Ghani. Namun dia meminta Tempo menanyakannya kepada Sekretaris Perusahaan PTPN III Imelda Alini Pohan. Tapi, hingga Sabtu, 3 Juli lalu, jawaban tertulis atas sejumlah pertanyaan Tempo belum juga tiba. “Akan saya kirimkan jika sudah selesai, Senin, thanks,” ucap Imelda lewat layanan pesan elektronik.
Ghani, dalam rapat dengan DPR, menegaskan bahwa keberadaan investor diperlukan tidak hanya untuk menutup kebutuhan modal, tapi juga buat membekali Sugar Co dengan pengetahuan dan pengalaman bisnis gula dari hulu sampai hilir. “Mulai dari on farm (kebun tebu). Dia juga harus punya pabrik gula, jaringan bisnis gula di dalam dan luar Indonesia. Dan, yang utama, punya dana,” tutur Ghani tanpa membeberkan siapa saja calon investor yang dimaksud.
Pekerja mengangkut tebu saat panen di Desa Bakalankrapyak, Kudus, Jawa Tengah, 31 Mei lalu. ANTARA/Yusuf Nugroho
Seorang sumber Tempo yang mengikuti rencana ini mengungkapkan, perseroan kini tengah menggelar beauty contest untuk menentukan calon mitra strategis tersebut. Grup Wilmar, konglomerasi bisnis besar di sektor sawit, disebut-sebut sebagai salah satu kandidat investor yang berniat bergabung. Pada 2013, Wilmar juga turut dalam program pengembangan lahan pangan (food estate) di Merauke, Papua, dengan komoditas tebu. Wilmar juga memiliki pabrik gula setelah mengakuisisi Sucrogen, pabrik gula mentah terbesar kelima di dunia, dari konglomerat Australia, CSR, senilai US$ 1,5 miliar pada 2010.
Namun komisaris PT Wilmar Indonesia, Master Parulian Tumanggor, menampik kabar bahwa Wilmar akan bergabung dalam Sugar Co. “Setahu saya tidak ada rencana kerja sama Wilmar dalam revitalisasi pabrik gula PTPN,” ujarnya, Jumat, 2 Juli lalu.
Adapun juru bicara INA, Masyita Crystallin, hanya menjawab secara umum bahwa lembaganya akan membuka diri untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk BUMN. INA, kata dia, akan menjembatani investor dengan proyek-proyek yang tepat dan berkualitas.
Menurut Masyita, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk menentukan proyek yang tepat dan berkualitas, termasuk pemenuhan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik. Dia mengatakan INA juga berupaya memberikan tingkat pengembalian yang optimum kepada investor ataupun proyek investasi. “Selama investor dan proyek yang ditawarkan memenuhi kriteria, INA akan membantu menjembatani prosesnya.”
•••
RENCANA penyatuan pabrik gula ke entitas baru Sugar Co adalah bagian dari 88 proyek strategis badan usaha milik negara. Proyek-proyek ini diprioritaskan lantaran digadang-gadang akan berdampak besar dan memiliki kompleksitas tinggi. Restrukturisasi PTPN Gula dianggap penting tak hanya untuk menyehatkan bisnis perseroan, tapi juga menopang kebutuhan produksi nasional. Pemerintah masih bermimpi bisa mencapai swasembada gula pada 2025.
Seperti halnya Abdul Ghani, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury belum memberikan penjelasan detail mengenai rencana strategis ini. Dia hanya mengatakan pembentukan Sugar Co bertujuan menaikkan produksi gula. “Serta meningkatkan penghasilan masyarakat di sekitar pabrik gula, termasuk petani tebu mitra,” ucap Pahala.
PTPN adalah portofolio BUMN di bawah supervisi Pahala. Pada 19 Maret lalu, ia mengirim surat kepada direksi PTPN III yang intinya meminta rencana pendirian Sugar Co berjalan sesuai dengan target penyelesaian pada triwulan III 2021 atau setidaknya pada September mendatang.
Enam tahun terakhir, jumlah produksi gula kristal putih nasional rata-rata hanya 2,2 juta ton per tahun dengan tren menurun dalam dua tahun belakangan. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding jumlah kebutuhan konsumsi gula nasional yang rata-rata sebesar 5,87 juta ton per tahun. Walhasil, saban tahun Indonesia harus mengimpor sekitar 4,29 juta ton dalam bentuk raw sugar dan gula rafinasi.
Pemerintah sejak jauh hari telah menggeber program revitalisasi pabrik gula, terutama terhadap unit produksi milik PTPN. Jika produktivitas pabrik tak dibenahi, angka impor diperkirakan terus menanjak saban tahun. Pasalnya, pada 2030, angka konsumsi gula konsumsi dan gula industri di Indonesia diprediksi mencapai 9,7 juta ton per tahun.
Namun anggota Komisi VI DPR, Amin A.K., mengingatkan bahwa masalah pergulaan nasional tak semata-mata urusan pabrik gula. Dia menilai rencana pembentukan Sugar Co cukup baik. Namun langkah ini kudu didukung perbaikan di hulu industri. “Jadi ada peningkatan produktivitas, rendemen tebu rakyat, ataupun peremajaan dan perluasan lahan perkebunan tebu,” ucap Amin.
Data menunjukkan produktivitas lahan tebu sejak masuk era reformasi merosot dan bertahan di kisaran 70-85 ton per hektare. Produktivitas lahan tebu PTPN sekarang bahkan cuma 62 ton per hektare dengan tingkat rendemen alias kadar gula dalam tebu hanya 7,5 persen.
Masalah tersebut bukannya tak dipikirkan PTPN III. Dalam rencana mereka, Sugar Co kelak disiapkan dalam dua skenario bisnis. Dalam skenario konservatif, capital expenditure Sugar Co diestimasikan senilai Rp 22 triliun. Adapun jika agresif, nilainya diperkirakan mencapai Rp 23 triliun.
Duit sebesar itu diperlukan untuk mengubah bisnis PTPN Gula. Dalam bahasa dokumen PTPN Holding, “Transformasi kelas dunia di bawah manajemen bisnis yang disederhanakan dan tersentralisasi.” Sugar Co digadang-gadang bisa meningkatkan produktivitas tebu menjadi 91-93 ton per hektare dengan rendemen 10,6-11,2 persen.
Modal kerja juga diperlukan untuk mengerek luas lahan tebu menjadi 239-248 ribu hektare. Saat ini bisnis gula PTPN mengandalkan 150 ribu hektare lahan tebu dengan komposisi 55 ribu hektare milik sendiri dan 95 ribu hektare milik petani rakyat. Dalam hitungan PTPN, Sugar Co bisa meningkatkan sisa hasil usaha kepada petani dari saat ini sekitar Rp 3,7 juta menjadi Rp 36-55 juta per hektare. Entah kapan.
RETNO SULISTYOWATI, AHMAD SUUDI (BANYUWANGI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo