Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian dokter India menggunakan ivermectin untuk pasien Covid-19.
Sebagian dokter lain ragu akan kemujaraban ivermectin.
Penurunan jumlah kasus Covid-19 di sana didorong oleh penutupan wilayah dan vaksinasi.
PULUHAN mayat mengapung di Sungai Gangga yang melintasi Negara Bagian Uttar Pradesh, India, pada Senin, 28 Juni lalu. Mayat korban Covid-19 itu terkubur di bantaran hulu sungai dan terseret arus ketika banjir. Mayat-mayat itu dikubur di sana karena keluarga mereka terlalu miskin untuk membeli kayu bakar kremasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neeraj Kumar Singh, pejabat Kota Prayagraj, Uttar Pradesh, mengatakan ada hampir 150 mayat terkubur di bantaran sungai yang harus mereka kremasi dalam tiga pekan terakhir. “Tersebar sepanjang 1 kilometer,” katanya kepada AFP. “Kami perkiraan ada 500-600 mayat terkubur di sana.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mayat-mayat itu adalah pasien Covid-19. Hingga Jumat, 2 Juli lalu, India mencatat total 30,5 juta infeksi dengan sekitar 400 ribu kematian. Pada awal Mei lalu, jumlah pasien meninggal setiap hari masih di bawah 100 orang, kemudian melonjak mencapai 4.209 orang pada 20 Mei. Jumlah infeksi harian baru juga meroket, dari sekitar 10 ribu pada awal Mei menjadi 414.188 orang pada 16 Mei. Setelah itu turun hingga tinggal 48.786 kasus per hari pada 30 Juni.
Pemerintah mengklaim penurunan jumlah infeksi yang signifikan setelah mereka memakai obat cacing ivermectin. India menjadi sorotan dunia dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) karena beberapa negara bagian di sana secara resmi memakai ivermectin untuk menangani pandemi Covid-19.
Negara Bagian Goa, misalnya, membagi-bagikan ivermectin secara gratis sejak 5 Mei. Hasilnya, dua hari kemudian, jumlah kasus infeksi turun separuh dari kurva puncak 4.195 kasus sehari dan terus turun hingga tinggal 231 kasus memasuki Juli. Belum ada penelitian yang menyimpulkan penurunan angka infeksi karena pengaruh ivermectin.
Goa membagikan ivermectin kepada semua orang dewasa. Keputusan ini keluar setelah pemerintah bertemu dengan Komite Ahli Negara untuk Covid-19, yang beranggotakan dokter spesialis dari lembaga pemerintah dan swasta.
Pengadilan Tinggi Mumbai di Goa kemudian meminta pemerintah setempat menjelaskan kebijakan ini. “Berbagai penelitian di sejumlah negara menunjukkan obat ini memiliki efek positif dalam pencegahan dan pengobatan atau penyembuhan pasien,” ujar Vikas Gaunekar, Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan Goa, dalam penjelasan tertulis kepada pengadilan pada akhir Mei lalu.
Banyak dokter dan rumah sakit sejak awal pandemi memakai ivermectin sebagai suplemen untuk pasien Covid-19. Pemakaiannya diresepkan dalam jumlah tertentu sesuai dengan rekomendasi ICMR, badan riset kedokteran utama pemerintah India. Mereka umumnya menilai bahwa ivermectin adalah obat murah yang tersedia di mana-mana dan aman digunakan.
Shital Poojary, dokter ahli kulit yang menangani pasien Covid di K.J. Somaiya Medical College di Mumbai, mengatakan ivermectin banyak dipakai pada gelombang pertama pandemi. “Kami memang melihat pasien Covid-19 kategori ringan hingga sedang mendapat manfaat dari pengobatan ivermectin. Kami tidak melihat efek samping yang mengkhawatirkan pada pasien,” katanya kepada The Print, Kamis, 24 Juni lalu.
Kabir Sardana, dokter ahli paru di Ram Manohar Lohia Hospital di Delhi, juga mendukung pemakaian ivermectin. “Obat ini bekerja pada fase awal penyakit ketika virus sedang berlipat ganda,” ucapnya.
Sebagian dokter lain masih ragu akan kemanjuran ivermectin. Sandeep Garg, guru besar kedokteran di Maulana Azad Medical College di Delhi, mengatakan, meski menunjukkan harapan, pemakaian ivermectin belum memiliki bukti ilmiah. WHO menyatakan hal serupa. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) juga tidak merekomendasikannya.
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India belakangan mengeluarkan ivermectin dari daftar obat Covid-19 pada 7 Juni lalu. Pemerintah India juga menghapus hidroksiklorokuin dan obat antivirus favipiravir dari daftar tersebut.
Suneela Garg, anggota Komisi Lancet di Gugus Tugas Covid-19 India, mengatakan pedoman dari Kementerian Kesehatan soal ivermectin sudah jelas. “Kami hanya merekomendasikan pemakaiannya dalam kasus-kasus ringan, seperti obat lain yang pernah digunakan,” katanya kepada Times of India.
Obat lain yang disebut Garg adalah hidroksiklorokuin. Tahun lalu obat ini dipakai untuk mengobati pasien Covid-19. Menurut J.C. Suri, kepala departemen paru di Fortis Hospital, baik hidroksiklorokuin maupun ivermectin tidak membantu membangun kekebalan tubuh.
“Kami memiliki sedikit bukti, termasuk secara global,” ujar Suri kepada Times of India. “Kekurangan bukti ini mungkin menunjukkan obat itu tidak terlalu efektif, seperti klorokuin tahun lalu.”
Antrian orang yang hendak menerima dosis vaksin Covid-19 di pusat vaksinasi di Ahmedabad, India, 30 Juni 2021. REUTERS/Amit Dave
Profesor Tjandra Yoga Aditama, guru besar pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang pernah bertugas sebagai Direktur Regional Penyakit Menular WHO di India selama pandemi, punya pendapat mirip. Menurut dia, menurunnya angka infeksi di India disebabkan oleh kebijakan pembatasan sosial yang ketat.
Sewaktu Perdana Menteri Narendra Modi mengumumkan karantina wilayah, kata Tjandra, semua jalan sunyi, kantor dan toko tutup. Pemerintah menerapkan kaidah umum dalam menangani pandemi, yakni meningkatkan tes, membatasi pergerakan manusia, dan vaksinasi. “Pemerintah India tegas ketika menerapkan kebijakan penutupan wilayah,” ujarnya pada Selasa, 29 Juni lalu.
Ihwal jumlah kasus infeksi yang menurun di beberapa negara, Tjandra melihatnya karena ada perubahan kebijakan pemerintah India. Sementara tahun lalu kebijakan karantina bersifat nasional, tahun ini lockdown diserahkan kepada pemerintah negara bagian.
Menurut Tjandra, India juga meningkatkan jumlah tes Covid-19 secara bermakna dan dilanjutkan dengan penelusuran kasus kontak erat yang masif. “Mei lalu tes mencapai 2 juta sehari,” tuturnya. Hingga Jumat, 2 Juli lalu, sudah 414 juta orang yang dites atau 30 persen dari hampir 1,4 miliar lebih penduduk India.
India juga mempercepat program vaksinasi Covid-19. Salah satu kelebihan India, kata Tjandra, adalah ketersediaan vaksin produksi Serum Institute of India. Perusahaan biofarma swasta itu bekerja sama dengan AstraZeneca membuat vaksin Covishield dan bermitra dengan Novavax untuk membikin Covovax. Serum juga memproduksi Sputnik V, vaksin yang dikembangkan Rusia.
India melakukan vaksinasi massal ketika jumlah kasus Covid-19 melonjak tahun lalu. Negara itu pernah mencetak rekor ketika bisa menyuntik 3 juta orang dalam sehari. Hingga Kamis, 1 Juli lalu, 275 juta lebih atau 20,2 persen penduduk sudah menerima suntikan pertama vaksin.
IWAN KURNIAWAN (AFP, THE PRINT, TIMES OF INDIA, DECCAN HERALD)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo