Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Waskita Karya menyelesaikan restrukturisasi utang sejak tahun lalu.
Proyek infrastruktur besar di luar negeri mensyaratkan garansi bank.
Bank enggan menyalurkan kredit pada Waskita Karya karena proyeknya berisiko tinggi.
PROSES restrukturisasi utang PT Waskita Karya (Persero) Tbk beres sejak akhir tahun lalu. Lepas dari ancaman pailit, seharusnya kinerja badan usaha milik negara di sektor konstruksi ini mulai membaik. Tapi nyatanya keringanan pembayaran utang belum membuat Waskita Karya mampu sepenuhnya menggarap proyek infrastruktur pemerintah. “Masih ada perbedaan persepsi antara kami dan kreditor,” kata Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono kepada Tempo, Selasa, 20 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui restrukturisasi, Waskita Karya bisa menegosiasikan keringanan pembayaran utang yang sebesar Rp 90 triliun. Selain melonggarkan pembayaran cicilan, bank menurunkan bunga pinjaman serta memperpanjang masa jatuh temponya. Asa kian besar setelah pemerintah berjanji menggelontorkan penyertaan modal negara Rp 3 triliun tahun ini. Waskita Karya pun dijamin mendapat tambahan pinjaman modal kerja hingga Rp 8 triliun dari bank milik negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toh, keringanan itu belum cukup karena, menurut Destiawan, Waskita Karya masih kesulitan mendapatkan tambahan modal kerja dan garansi bank. Tanpa garansi bank, Waskita tak bisa mengikuti tender proyek dan menyediakan jaminan jika mereka menang. Tanpa proyek baru, mereka tak akan mampu membayar tagihan utang.
Salah satu persoalan besar adalah belum ada garansi bank untuk proyek pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer di Sudan Selatan, Afrika. Padahal nilai proyek ini sangat besar, US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27 triliun. Keuntungannya lumayan untuk menambah neraca dan membayar sebagian utang.
Kesulitan Waskita Karya memperoleh modal kerja terendus dalam rapat dengar pendapat Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban pada Senin, 12 September lalu. Saat itu DPR dan Kementerian Keuangan membahas kesiapan penawaran saham baru atau rights issue Waskita, yang menjadi bagian dari proses penyertaan modal negara.
Sejumlah kendaraan melintas di Jembatan Ogan Jalan Tol Trans Sumatera ruas Kayu Agung-Palembang, Sumatera Selatan, September 2021. ANTARA/Nova Wahyudi
Layaknya BUMN yang menjadi perusahaan terbuka, Waskita Karya wajib mengikuti aturan pasar modal jika ada tambahan modal dari pemegang saham. Dengan skenario rights issue, pemerintah yang memegang 75,35 persen saham Waskita menyuntikkan modal baru Rp 3 triliun. Sedangkan investor publik yang memegang 24,56 persen saham idealnya menyuntikkan modal Rp 980 miliar jika tak ingin kepemilikannya tergerus atau terdilusi.
Dalam rencana yang dirancang manajemen Waskita, tambahan modal dari pemerintah bisa dipakai untuk merampungkan pembangunan jalan tol Kayu Agung-Palembang-Betung senilai Rp 2,4 triliun dan Bogor-Ciawi-Sukabumi senilai Rp 996 miliar. Suntikan modal dari investor publik bisa dimanfaatkan untuk menambah modal kerja di proyek lain.
Persoalannya, investor publik belum tentu mau menyuntikkan modal baru. Ini yang terjadi saat Waskita Karya menggelar rights issue pada 2021. Awalnya Waskita menargetkan perolehan dana Rp 11,96 triliun dengan rincian Rp 7,9 triliun dari penyertaan modal negara dan Rp 4,06 triliun dari pemegang saham publik. Saat itu porsi kepemilikan saham pemerintah 66,04 persen dan publik 33,96 persen. Namun rencana ini meleset dan Waskita hanya bisa meraih Rp 1,5 triliun dari investor publik.
Walhasil, saham publik terdilusi menjadi 24,65 persen, sementara saham pemerintah bertambah menjadi 75,35 persen. Menurut Destiawan, jika skenario rights issue tahun ini meleset lagi, Waskita harus kembali menambah pinjaman bank. “Ini akan jadi tambahan beban karena kami harus menanggung beban bunga,” ujarnya.
Dirut Waskita Destiawan Soewardjono (kiri) pada acara Penyelesaian Transaksi Ruas Tol Kanci-Pejagan dan Pejagan-Pemalang antara Indonesia Invesment Authority dan Waskita Toll Road, di Jakarta, 6 September 2022 ANTARA/Dhemas Reviyanto
Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Andreas Eddy Susetyo, ragu akan skenario Destiawan. Menurut Andreas, Waskita masih terikat kesepakatan pokok restrukturisasi kredit atau master restructuring agreement dengan bank. Artinya, Waskita juga tak akan mudah menambah pinjaman karena terkebat perjanjian restrukturisasi utang lama.
•••
DALAM perjanjian restrukturisasi kredit tahun lalu, Waskita Karya sukses mengurangi utang senilai Rp 29,24 triliun kepada 21 bank. BUMN karya ini juga bisa merestrukturisasi utang konsolidasi sebesar Rp 45,86 triliun dan utang anak usaha sebesar Rp 16,62 triliun per Oktober 2021. Walhasil, utang Waskita Karya tinggal Rp 77 triliun pada Juni lalu.
Dua tahun sebelumnya, Waskita Karya terjerat utang besar dan mengalami kerugian. Dari total kerugian Rp 9,2 triliun, sebanyak Rp 5 triliun habis untuk membayar beban bunga utang. Di masa pagebluk Covid-19, saat order proyek dan aktivitas konstruksi menurun, Waskita mulai tak mampu membayar tagihan kepada vendor, kontraktor, dan kreditor.
Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk, Destiawan Soewardjono. Dok. Waskita Karya
Dalam rapat kerja bersama Komisi Badan Usaha Milik Negara DPR pada September 2021, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan bahwa keuangan Waskita Karya morat-marit karena utang yang terus menumpuk dan pendapatan yang terkikis. Kartika juga menyebutkan biang utang BUMN itu adalah penugasan pemerintah sepanjang 2015-2016. Saat itu pemerintah menugasi Waskita mengambil alih pengerjaan ruas proyek jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera yang mangkrak.
Sejatinya bisnis inti Waskita Karya adalah kontraktor. Namun pemerintah menyuruh perusahaan itu mengakuisisi sejumlah proyek jalan tol yang mangkrak, seperti ruas Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, dan Pasuruan-Probolinggo.
Waskita juga ditugasi menggarap jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi, Bekasi-Cawang-Kampung Melayu, Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi, dan Kayu Agung-Palembang-Betung. Secara keseluruhan, Waskita menggarap 16 jalan tol dengan investasi Rp 18,9 triliun. Sebagian proyek itu pun tidak menguntungkan.
Ketika menugasi Waskita menggarap proyek-proyek tersebut, pemerintah tidak mengucurkan penyertaan modal negara. Maka perseroan harus mencari modal sendiri melalui kredit perbankan hingga penerbitan obligasi dengan konsekuensi bunga besar.
Dampaknya, utang Waskita menggelembung empat kali lipat dari sekitar Rp 20 triliun sebelum 2015. Utang grup Waskita yang berhubungan dengan sejumlah jalan tol saja mencapai Rp 52,9 triliun.
Pada masa pandemi Covid-19, saat pemerintah membatasi pergerakan masyarakat, pendapatan dari jalan tol yang sudah beroperasi menurun. Di tengah kondisi tersebut, Waskita harus membayar utang. Bisnis konstruksi yang menyumbang 87 persen dari total pendapatan Waskita pun anjlok karena pandemi. Padahal bisnis ini yang menjadi andalan untuk membayar utang.
Di tengah kondisi tersebut, pendapatan Waskita anjlok dari Rp 45,2 triliun pada 2017 menjadi Rp 16,2 triliun pada 2020. “Waskita menjadi korban kebijakan pemerintah,” tutur anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Misbakhun, pada Senin, 12 September lalu.
Selain mendapat penugasan pemerintah, Waskita didera kasus kesalahan tata kelola dan korupsi. Salah satunya terjadi pada anak usaha Waskita, PT Waskita Beton Precast Tbk. Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus korupsi di perusahaan itu yang terjadi pada 2016-2020 dengan kerugian negara hingga Rp 2,5 triliun.
Badai mulai mereda setelah Waskita Karya mendapat keringanan pembayaran utang. Pada Juni lalu, rasio utang terhadap ekuitas atau debt-to-equity ratio Waskita mencapai 3,32. Angka ini turun jika dibanding pada Desember 2020 yang mencapai 7,71. Pada semester I tahun ini, Waskita membukukan keuntungan Rp 293 miliar.
Pemulihan bisnis makin kentara setelah Waskita mengantongi kontrak senilai Rp 10,51 triliun hingga Agustus lalu. Nilainya naik tipis dibanding pada Januari-Agustus 2021 yang sebesar Rp 10,42 triliun. Beberapa proyek yang menjanjikan keuntungan adalah pembangunan jalan tol ibu kota negara Nusantara segmen Simpang Tempadung-Jembatan Pulau Balang sebesar Rp 990,21 miliar; proyek jalan nasional Oecusse, Timor Leste, (Rp 322,89 miliar); paket pekerjaan struktur area tambang PT Amman Mineral (Rp 314,14 miliar); proyek Bendungan Temef tahap IV di Nusa Tenggara Timur (Rp 274,10 miliar); dan perbaikan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (Rp 252 miliar).
Satu proyek yang menjadi permata bisnis Waskita Karya saat ini adalah pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer di Sudan Selatan. Proyek ini unik karena Sudan Selatan membayar Waskita dengan hasil penjualan minyak mentah ke PT Pertamina (Persero).
Menurut Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono, nantinya Pertamina mentransfer dana pembelian minyak ke escrow account atau rekening bersama yang dikuasai pemerintah Sudan Selatan. Rekening itu didaftarkan di salah satu bank di Indonesia. “Kami bekerja, lalu dibayar dari uang di escrow account tersebut,” katanya.
Untuk menjalankan proyek ini, pemerintah Sudan Selatan meminta garansi bank sebesar US$ 205 juta atau sekitar Rp 3,08 triliun kepada Waskita sebagai jaminan. Masalahnya, Destiawan menambahkan, bank masih enggan memberikan jaminan tersebut. Bahkan ketika nilai garansi bank diturunkan menjadi US$ 100 juta, tetap saja belum ada bank yang mau.
Destiawan mengaku sudah mendekati bank-bank milik negara untuk mendapatkan garansi bank, tapi hasilnya nihil. Menurut dia, hal ini terjadi karena dalam skema restrukturisasi kredit ada kesepakatan plafon pinjaman tunai ataupun nontunai yang berlaku seperti garansi bank. “Selama restrukturisasi belum selesai, kami tidak bisa menambah plafon kredit. Seharusnya ada keringanan karena proyek yang berasal dari pemerintah sumbernya jelas,” ujarnya.
Seorang bankir mengatakan bank enggan memberikan garansi karena ada risiko ketidakpastian keamanan di wilayah proyek. Menurut sumber ini, minyak yang akan dibeli Pertamina berasal dari Block 5A di Unity State, sebuah lapangan kerja yang menjadi rebutan antara Sudan dan pasukan pemberontak yang kini mendirikan Sudan Selatan. Karena ladang minyak ini berada di daratan, kontraktor memerlukan pipa untuk mengangkut hasil produksi. Pipa ini melewati wilayah-wilayah rawan konflik.
Bank Mandiri disebut-sebut mungkin memberikan garansi bank itu. Namun ada keraguan karena pemerintah Sudan Selatan belum memiliki perwakilan resmi di Indonesia. Yang ada sebatas komunike pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Sudan Selatan yang diteken pada Selasa, 20 September lalu.
Tempo meminta tanggapan Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha mengenai proses pemberian garansi bank buat Waskita Karya pada Jumat, 23 September lalu. Dia hanya menjawab, “Akan kami informasikan.”
Selain terganjal dalam proyek di Sudan Selatan, Waskita Karya menghadapi persoalan dalam proyek pembangunan jalan di Timor Leste. Lagi-lagi masalahnya adalah ketiadaan garansi bank. Sumber Tempo di kalangan bankir mengatakan bank ogah menambah plafon kredit karena nyaris semua piutang dan pendapatan dari proyek Waskita sudah menjadi agunan. Bahkan kesulitan ini tetap ada meski Kementerian BUMN sudah meminta bank milik negara mendanai Waskita.
Sekretaris Perusahaan Bank Negara Indonesia Okki Rushartomo menyatakan ekspansi kredit kepada debitor harus berjalan sesuai dengan ketentuan dan sejalan dengan kebijakan manajemen risiko yang prudent. “Demi meminimalkan potensi risiko kredit,” ucapnya. Menurut dia, jika asumsi-asumsi yang disusun saat restrukturisasi utang BUMN berlangsung tercapai, kondisi keuangan Waskita seharusnya membaik.
Sedangkan Sekretaris Perusahaan Bank Rakyat Indonesia Aestika Oryza Gunarto membantah jika perusahaannya termasuk yang enggan memberikan garansi bank kepada Waskita Karya. BRI, kata dia, masih memberikan garansi bank kepada Waskita. “Dan masih terdapat skema kelonggaran tarik yang dapat dipakai oleh Waskita,” tuturnya pada Jumat, 23 September lalu.
Ditanyai tentang hal ini, Kartika Wirjoatmodjo tak menjawab Tempo. Sedangkan Destiawan Soewardjono mengakui Kementerian BUMN selaku pemegang saham telah membantu. Tanpa campur tangan Kementerian BUMN, kata dia, mustahil Waskita Karya mendapat restrukturisasi kredit dari bank negara. Apalagi BNI, Bank Mandiri, dan BRI adalah kreditor terbesar Waskita Karya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo