Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Utang BUMN sektor karya membengkak karena mengerjakan proyek infrastruktur pesanan pemerintah.
Mayoritas BUMN karya mengalami krisis modal karena tumpukan utang dan proyek penugasan.
Waskita Karya terpaksa melego sebagian aset untuk mendapatkan dana segar.
BEBAN utang besar beberapa badan usaha milik negara (BUMN) sektor konstruksi adalah buah kekeliruan pemerintah memaksakan proyek infrastruktur yang tak layak secara bisnis. Tumpukan utang yang makin besar itu terus mengikis modal kerja sehingga mereka megap-megap menjalankan roda perusahaan. Padahal sebagian besar BUMN karya itu masih harus menuntaskan proyek ambisius pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu BUMN yang menanggung beban berat senggulung batu itu adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Demi menambal modal, Waskita terpaksa melego ruas jalan tol Kanci-Pejagan dan Pejagan-Malang kepada Lembaga Pengelola Investasi senilai Rp 5,8 triliun. Divestasi dua aset tersebut bagian dari rencana perusahaan melepas lima ruas jalan tol pada tahun ini dengan target perolehan dana Rp 29 triliun. Alih-alih memperkuat modal kerja, hasil divestasi tersebut—kalaupun semuanya laku terjual—hanya cukup untuk menutup sebagian utang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Utang Waskita bengkak dalam beberapa tahun terakhir sejak ketiban tulah penugasan pemerintah. Hingga semester pertama 2022, total utang perseroan mencapai Rp 77,21 triliun. Dengan utang yang makin mencekik leher, pilihan Waskita sangat terbatas. Perusahaan pelat merah ini tidak bisa menambah modal kerja melalui pinjaman perbankan. Sebab, batas maksimum pemberian kredit ke Waskita sudah mentok. Buntut dari program restrukturisasi kredit tahun lalu, kolateral perusahaan juga sudah menjadi agunan untuk mencicil utang-utang sebelumnya.
Di sisi lain, bank tidak bisa begitu saja menerbitkan garansi bank buat perusahaan tanpa ada jaminan. Bila Waskita tidak bisa menyediakan garansi bank atau menambah modal, mereka tidak bisa mengerjakan proyek-proyek lain. Sementara itu, penyertaan modal negara Rp 3 triliun yang mengucur tahun ini hanya bisa digunakan untuk menyelesaikan proyek jalan tol Kayu Agung Palembang-Betung dan Ciawi-Sukabumi.
Kondisi serupa menimpa BUMN karya lain yang mengerjakan proyek-proyek penugasan, seperti kereta cepat Jakarta-Bandung atau LRT Jabodebek. Dalam laporan keuangan kuartal pertama 2022, rata-rata rasio utang terhadap ekuitas (DER) beberapa perusahaan pelat merah masih berada di atas dua. Adhi Karya, misalnya, memiliki DER 5,97 atau utangnya hampir enam kali lipat dari ekuitas. Sementara itu, DER Waskita dan Wijaya Karya tercatat 5,7 dan 2,96. Selain terbebani utang jangka pendek, mereka bisa mengalami gagal bayar karena jumlah utang jauh melampaui ekuitas. Bila sudah begini, rakyat juga yang mesti menanggung beban melalui skema penyertaan modal negara.
Negara memang memerlukan infrastruktur. Proyek semacam ini penting untuk mendorong pertumbuhan. Tapi bukan berarti pemerintah bisa sewenang-wenang menugasi perusahaan pelat merah tanpa disertai kalkulasi matang. Sementara itu, manfaat infrastruktur pada ekonomi umumnya baru terasa tiga-lima tahun setelah pembangunan dimulai.
Yang tak kalah berbahaya, proyek penugasan ini merupakan jalan pintas untuk menghindari hak bujet Dewan Perwakilan Rakyat. Tanpa melewati proses pembahasan secara terbuka di parlemen, proyek penugasan kepada BUMN karya yang serampangan ini minim transparansi. Lemahnya mekanisme kontrol atas uang pajak rakyat ini membuat proyek infrastruktur rawan dikorupsi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo