Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada presiden ataupun perdana menteri yang ingin melihat kesejahteraan rakyatnya menurun lantaran terpukul resesi. Begitu juga di Indonesia. Presiden Joko Widodo berulang kali mengatakan ia tak akan segan mengambil langkah luar biasa untuk mengatasi dampak Covid-19 terhadap ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, jika kebablasan, langkah luar biasa itu juga dapat membawa persoalan lebih parah ketimbang resesi yang hendak diatasi. Terutama jika kebijakan itu berani main-main menyentuh pilar utama pengelolaan ekonomi negara di era yang sangat terbuka saat ini, ketika lalu lintas modal begitu bebas bergerak tanpa batas. Pilar itu adalah independensi bank sentral dalam mengelola kebijakan moneter. Inilah jangkar utama kredibilitas ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, yang masih membutuhkan dukungan modal dari investor luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa kredibilitas, kepercayaan investor runtuh. Tak akan ada yang tertarik membeli aset-aset finansial di Indonesia. Kalau toh mereka bersedia, Indonesia harus membayar bunga atau memberikan imbal hasil investasi yang lebih tinggi. Asupan devisa yang sangat dibutuhkan negara ini berisiko merosot. Belum lagi risiko melorotnya nilai rupiah dibandingkan dengan mata uang negara lain. Jika pasar finansial menilai bank sentral yang menerbitkan rupiah tak lagi memegang kendali sepenuhnya, akibat desakan politik ataupun intervensi penguasa politik, merosotlah karisma rupiah.
Memasuki pekan pertama September 2020, persepsi negatif itulah yang mendominasi pasar. Pertama ada kabar bahwa pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Lebih jauh lagi, bukan hanya pemerintah, ternyata Dewan Perwakilan Rakyat pun tengah menyiapkan revisi Undang-Undang Bank Indonesia. Pada prinsipnya, kedua rancangan peraturan perundangan ini mengusung spirit yang sama, memunculkan kesan betapa pemerintah dan DPR kompak ingin menggunduli wewenang dan independensi BI.
Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah akan tetap menjamin independensi BI. Ia menyampaikan pandangan itu saat bertemu dengan media luar negeri di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa, 1 September lalu. Namun, dalam forum yang sama, ia juga menyampaikan hal yang kontradiktif. Pemerintah akan meminta bantuan BI untuk membiayai defisit anggaran hingga 2022.
Jika Presiden meminta bantuan bank sentral hingga 2022, itu sama artinya dengan memaksa Dewan Gubernur BI mengingkari kebijakannya sendiri. Tahun ini BI sebetulnya sudah membantu membiayai defisit anggaran. Lewat mekanisme yang dijuluki pembagian beban alias burden sharing, bank sentral membeli secara langsung obligasi pemerintah di pasar perdana senilai Rp 397 triliun. Skema ini sama artinya dengan BI mencetakkan likuiditas rupiah baru untuk pemerintah. Memahami risikonya, BI menegaskan bahwa skema seperti ini adalah yang pertama dan terakhir. Hanya tahun ini saja BI mau mencetak uang baru secara langsung untuk membiayai defisit anggaran.
Sinyal dari Presiden ini membuat radar kewaspadaan pasar finansial global langsung menyala. Para analis ramai mengulas: ke mana Indonesia sebenarnya akan melangkah? Akankah Presiden Joko Widodo menabrak pakem ekonomi yang paling ortodoks, lalu membawa rupiah, bahkan ekonomi Indonesia, menempuh risiko kehilangan kredibilitas di pasar?
Jumat, 4 September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba meyakinkan pasar. Ia kembali menyampaikan pesan presiden yang merupakan posisi pemerintah. Kebijakan moneter harus tetap efektif, kredibel, dan independen. Hari itu, saat penutupan pasar Jakarta, rupiah masih dalam tren melemah di angka sekitar 14.750 per dolar Amerika Serikat.
Sikap kontradiktif ini mirip dengan situasi menjelang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berulang kali Presiden mengatakan tidak akan melemahkan KPK. Nyatanya, perubahan perundangan tetap bergulir memangkas wewenang lembaga yang dulu sangat ditakuti koruptor itu.
Bukan mustahil independensi bank sentral ujung-ujungnya senasib dengan independensi KPK, jika para politikus kompak bekerja sama. Cuma, yang menjadi pertaruhan kali ini adalah kredibilitas ekonomi negara kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo