Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Beras Sumo hilang di pasar modern.
Pengusaha tak bisa menyesuaikan harga jual dengan biaya produksi beras.
Pemerintah tak ingin melepas mekanisme HET.
ANGGOTA Ombudsman Republik Indonesia, Yeka Hendra Fatika, dua kali mempertemukan pengusaha penggilingan padi Banten dengan manajemen PT Wilmar Padi Indonesia pada September lalu. Persamuhan itu adalah buntut protes para penggiling padi terhadap Wilmar yang mereka tuduh membuat harga gabah di Serang, Banten, meroket. Karena pabrik beras Wilmar membeli gabah petani dengan harga tinggi, penggilingan tradisional tak kebagian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertemuan pertama, Yeka mempersilakan perwakilan penggilingan padi berbicara dan manajemen Wilmar Padi mendengarkan. Dalam pertemuan kedua, giliran manajemen Wilmar Padi yang berbicara. Namun saat itu tak ada kesepakatan “Saya bilang, kalau di pertemuan ketiga tetap tak ada jalan tengah, bubar saja semua,” kata Yeka kepada Tempo pada Kamis, 19 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyataannya, tak pernah ada pertemuan ketiga. "Mereka sudah sepakat," ujar Yeka. Kesepakatannya, Wilmar Padi tidak akan membeli gabah dari petani di Serang dan sekitarnya. Sebagai gantinya, Willmar akan membeli beras kelas medium dengan kualitas setingkat di atas beras pecah kulit atau beras sekali giling dari penggilingan padi lokal.
Wilmar masuk ke bisnis beras setelah mengakuisisi pabrik PT Lumbung Padi Indonesia milik pengusaha Rachmat Gobel di Jombang, Jawa Timur. Tahun lalu, Wilmar berekspansi ke Banten. Di Serang, raksasa perkebunan sawit itu membuka pabrik beras pada Juni 2022 dan beroperasi penuh lima bulan kemudian. Wilmar menempatkan pabrik beras itu di kawasan industri terpadu yang mereka kelola.
Menurut data Ombudsman, pada Januari-Agustus 2023, Wilmar menyerap 39.845 ton gabah petani di Serang dan sekitarnya. Jika dibandingkan dengan angka produksi gabah Banten Januari-Agustus 2023 yang mencapai 1,5 juta ton, serapan gabah Wilmar hanya 2,65 persen. Meski kecil, langkah Wilmar membuat pengusaha penggilingan padi di Serang meradang. Penyebabnya bukan mereka tak kebagian gabah, tapi petani kini ogah menjual murah gabahnya setelah Wilmar berani membeli dengan harga premium.
Pengusaha penggilingan padi Serang menyebutkan Wilmar membeli gabah di atas harga pokok pembelian yang ditetapkan pemerintah. Dampaknya, 90 persen penggilingan padi yang tak sanggup bersaing dengan Wilmar tutup. Menurut Ombudsman, banyak penggilingan padi berskala besar di Serang berebut gabah. Perusahaan itu antara lain Penggilingan Karya Muda, Penggilingan Ar Rahman, dan Penggilingan Mugi Jaya.
Perebutan gabah makin parah pada 2023, setelah jumlah produksi padi turun. Selama Agustus lalu, misalnya, Wilmar hanya mendapatkan 200 ton gabah per hari di Serang, jauh di bawah rata-rata produksi sebelumnya yang mencapai 5.000 ton per hari. Sejak itu pula Wilmar tak lagi menyerap padi petani di Serang dan hanya menggiling stok gabah yang ada. Itu sebabnya sejak September lalu beras premium merek Sania dan Fortune buatan Wilmar hilang di pasar. “Sudah sebulan tak ada,” tutur pramuniaga sebuah minimarket di Cisauk, Tangerang, Banten, pada Senin, 16 Oktober lalu.
Direktur Operasional Wilmar Padi Indonesia Saronto Soebagio mengatakan perusahaannya mengurangi kapasitas produksi pabrik di Serang karena kesulitan mendapatkan pasokan gabah. Sedangkan dua pabrik Wilmar di Jombang dan Ngawi, Jawa Timur, masih bisa beroperasi karena suplai gabah dari Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur masih ada. “Karena itu, beras Sania dan Fortune masih ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata Saronto pada Kamis, 19 Oktober lalu.
•••
SERETNYA produksi gabah membuat Hendra Tan mengangkat bendera putih. Pemilik PT Sinar Makmur Komoditas di Jombang, Jawa Timur, itu terpaksa menghentikan produksi beras premium merek Sumo sejak 11 September lalu karena biaya produksi kian tinggi. Tatkala harga beli gabah dari petani melambung, Hendra tak bisa serta-merta menyesuaikan harga jual karena pemerintah menetapkan mekanisme harga eceran tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium. “Sudah setahun kami merugi, semoga kami bisa come back stronger,” katanya pada awal Oktober lalu.
Nasib beras Lahap buatan PT Surya Pangan Semesta pun nyaris sama dengan Sumo. Pemilik Surya Pangan Semesta, Yimmy Stephanus, berusaha bertahan dengan mengurangi produksi. Menurut Yimmy, Surya Pangan Semesta hanya memproduksi beras jika ada permintaan demi mempertahankan pasarnya. “Kalau enggak diisi, nanti pasarnya hilang. Mau enggak mau harus bertahan,” ucapnya pada Rabu, 18 Oktober lalu.
Adapun Fery Onggo, pemilik penggilingan padi CV Tiga Jaya di Karawang, Jawa Barat, masih bisa menggelontorkan beras merek Sunmi ke sejumlah gerai retail modern. Meski labanya tipis, Fery berupaya mengambil peluang tatkala sejumlah merek pesaing tumbang. “Walaupun harga enggak cocok, harus tetap kerja,” ujarnya pada Rabu, 18 Oktober lalu.
Merek Sunmi kian populer setelah sejumlah jenama beras premium hilang di pasar sejak September lalu. Di media sosial, banyak warganet yang merekomendasikan Sunmi sebagai pengganti merek beras yang tumbang. Fery Onggo pun mengakui banyak faktor yang mendorong jumlah penjualan Sunmi. Selain promosi gratis dari warganet, dia mengungkapkan, peretail modern seperti AEON yang menjadi outlet tunggal Sunmi rela mendapat laba tipis. “Mereka menawarkan fasilitas yang lebih baik dibanding saat beras berlimpah,” tuturnya.
Menurut Fery, ketika beras berlimpah, peretail modern meminta bagian sampai 8 persen dari harga jual akhir kepada pemilik barang atau distributor. Kini, dia melanjutkan, toko modern rela kebagian 1 persen saja. Peretail modern juga tidak memungut biaya pajang di rak atau listing fee kepada produsen dalam kondisi seperti saat ini agar beras tetap tersedia di toko mereka.
Bagi toko modern, beras adalah magnet utama pembeli. Mereka rela hanya beroleh sedikit laba dari penjualan beras, tapi kekurangan target akan ditutup dengan margin yang lebih besar dari produk lain. Sebab, pembeli beras biasanya selalu berbelanja kebutuhan pendamping seperti minyak goreng, lauk-pauk, dan bahan pangan lain.
Prinsip itu yang diterapkan Fery dan manajemen Tiga Jaya. Bahkan mereka rela menjual rugi beras Sunmi demi mendapatkan pasar. Sumber keuntungan untuk menutup kerugian berasal dari penjualan beras curah kemasan 25 kilogram dan 50 kilogram di pasar tradisional. “Sunmi baru berkembang, masih ratusan ton per bulan. Kami masih lebih banyak main di general trade,” ujarnya.
Selain Sunmi, merek beras premium yang masih bertahan di pasar adalah Topi Koki dan Hoki buatan PT Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI). Topi Koki dan Hoki masih terpajang di rak toko retail meski stoknya terus menipis. Hingga 31 Juni lalu, nilai stok Hoki mencapai Rp 12,5 miliar, turun 60 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu.
Hilangnya sejumlah merek beras premium yang biasa dikonsumsi kalangan menengah ke atas membuat toko modern membatasi pembelian beras kemasan 5 kilogram. Pembatasan tak hanya berlaku buat beras Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik alias Bulog, tapi juga beras komersial. “Sudah kami survei ke hampir 40 supermarket di Jakarta dan sekitarnya, sudah ada pembatasan pembelian maksimal 10 kilogram per orang per hari,” kata anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika.
Agar kondisi membaik, Yeka mengusulkan revisi HET beras kepada Badan Pangan Nasional. Tujuannya adalah produsen masih bisa berjualan dan beras di pasar modern tidak hilang. “Dalam kondisi begini, HET harus dilepas,” ucapnya.
Beras di pasar modern relatif patuh terhadap ketentuan HET. Namun ceritanya berbeda di pasar tradisional. “Harga beras sudah di atas HET kalau di pasar tradisional,” tutur Abdullah Mansuri, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia, pada Kamis, 19 Oktober lalu.
Kepala Badan Pangan Nasional yang menjadi pelaksana tugas Menteri Pertanian, Arief Prasetyo Adi, membenarkan adanya usulan Ombudsman tentang revisi HET. Namun, kata dia, pemerintah punya pertimbangan lain untuk mempertahankan HET. Menurut Arief, solusi mengatasi kelangkaan beras adalah menggelontorkan beras murah melalui operasi pasar dengan cadangan beras pemerintah ataupun beras komersial Bulog. “Kalau HET dilepas, harganya terbang," ucapnya. Arief mengaku tak terlalu khawatir akan hilangnya sejumlah merek beras premium di pasar modern. “Bukan berarti merek itu hilang."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Langka Beras Kelas Atas"