Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARIEF Prasetyo Adi mendapat tugas berat di tengah kondisi yang silang selimpat. Setelah menjabat Kepala Badan Pangan Nasional semenjak Februari 2022, Arief ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi pelaksana tugas Menteri Pertanian pada Jumat, 6 Oktober lalu. Dia menggantikan Syahrul Yasin Limpo yang terjerat kasus korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan jabatan barunya, Arief harus menyelesaikan persoalan pangan di sisi hulu hingga hilir. Salah satunya masalah harga beras yang melambung karena hasil panen seret di masa El Niño seperti saat ini. Selain menangani problem harga dan distribusi beras di sisi hilir, Arief harus memikirkan peningkatan angka produksi hingga impor agar kelangkaan bahan pangan pokok ini tak berkepanjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada jurnalis Tempo, Khairul Anam dan Retno Sulistyowati, Arief bercerita persoalan hingga strategi menyelesaikan urusan beras. Berikut ini petikan wawancara yang berlangsung sambil jalan santai dari kediaman Arief di kawasan Tirtayasa, Kebayoran Baru, menuju Gelora Bung Karno pada Kamis malam, 19 Oktober lalu.
Apa penyebab harga beras tak kunjung turun beberapa bulan terakhir?
Jumlah produksinya sudah meleset jauh di bawah kebutuhan kita. Dalam satu bulan kita perlu 2,5 juta ton, tapi produksi beras hanya 1,6 juta ton per bulan. Selisihnya terlalu jauh. Selisih ini yang harus diganjal dengan mekanisme beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP). SPHP dan bantuan pangan, semua sudah dijalankan. Kalau itu tidak dikerjakan, harga sudah pasti jauh lebih tinggi.
Bagaimana cara pemerintah menyelesaikan masalah itu?
Saat ini masih ada stok cadangan beras pemerintah (CBP) dan stok beras komersial. CBP digelontorkan ke pasar beras induk sebagai beras SPHP, sedangkan stok beras komersial ke penggilingan padi. Kami sedang membuat aturan agar penyalurannya tidak kacau. Jangan sampai karena kondisi ini governance tidak terjaga. Kementerian Pertanian hari ini juga harus melakukan perbaikan dengan benar-benar berfokus pada produksi. Siapin faktor yang bisa membuat produksi meningkat. Saya tantang Direktur Jenderal Tanaman Pangan supaya target produksi 35 juta ton beras tercapai, harus ngapain?
Tapi pada kenyataannya harga beras tidak turun....
Kalau mau harga turun, produksi harus dinaikkan. Karena itu, (saya) yang biasa komplain soal produksi sekarang dijadikan pelaksana tugas Menteri Pertanian supaya berpikir bagaimana produksi bisa meningkat. Apakah dikasih bibit unggul, pupuk, air, semua masalah harus saya urutkan satu per satu, baru kemudian merencanakan penanaman padi November, karena mungkin baru ada hujan. Penanaman beras di delapan provinsi harus disiapkan, ini harus sama-sama dikerjakan. Kalau tidak disiapkan dari sekarang, stok tidak akan cukup untuk Februari-Maret. Bayangkan, target beras SPHP itu 1,2 juta ton setahun.
Target SPHP ini yang kemudian juga dipenuhi dengan beras impor? Mengapa impor terlambat?
Sejak tahun lalu sudah saya katakan, di akhir tahun tidak akan seimbang antara konsumsi dan produksi. Jadi harus sama-sama kita siapkan antisipasi sejak awal tahun. Sewaktu saya membuat proyeksi, semua orang sebal, seolah-olah saya pro-impor. Coba kalau sekarang kita tidak impor, kira-kira harga beras akan jadi berapa? Melihat segala sesuatu itu harus dari angle yang komprehensif, jangan melihat dari satu sisi, helicopter view sudah harus jalan.
Benarkah Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sebelumnya tidak mau membagi stok beras karena hendak beroperasi sendiri dengan distributornya?
Siapa bilang tidak mau. Justru kami berterima kasih kepada Pak Budi Waseso (Direktur Utama Perum Bulog) karena tidak ada penyelewengan. Bayangkan, dulu sudah dikasih harga Rp 9.950 per kilogram, karungnya diganti oleh pedagang agar bisa dijual lebih mahal. Wajar dong kalau Pak Budi Waseso lebih berhati-hati. Selain itu, tugas pengawasan ada di Satuan Tugas Pangan. Kami berbagi tugas. Salahnya ada di mana, kami koreksi.
Ada usulan Ombudsman Republik Indonesia agar pemerintah melepas atau menaikkan harga eceran tertinggi (HET) supaya tidak terjadi kelangkaan beras di pasar modern. Apa tanggapan Anda?
Dengan kondisi saat ini, bisa saja HET tidak memadai dan sudah terlampaui. Tapi solusinya bukan menaikkan HET, tapi menaikkan produksi atau mengisi pasar dengan cadangan beras milik pemerintah. Kalau HET dilepas, terus harga terbang, bagaimana nantinya? Justru kondisi ini menjadi semacam early warning system bahwa kita tahu produksi kurang. Karena itu, produksi harus digenjot, dan 21 juta warga termiskin dikasih bantuan pangan. Bukan dengan cara melepas HET. Jangan bandingkan dengan kasus minyak goreng dulu. Saat itu stok minyak banyak tapi dijual ke luar negeri. Beras kini barang pas-pasan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kalau Tidak Impor, Harga Beras Bakal Berapa?"