Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR keuangan di seluruh dunia luruh sudah. Harga aset-aset finansial berjatuhan. Keadaan yang sungguh tak pasti membuat investor mencari aman. Pilihannya tiada lain lagi: kembali ke dolar Amerika Serikat. Maka, Jumat, 13 Maret lalu, nilai tukar rupiah pun merosot tajam mendekati 15 ribu per dolar Amerika. Dalam sebulan terakhir hingga pasar tutup hari itu, kurs rupiah sudah tergerus 8,01 persen.
Harga saham apalagi. Pengelola Bursa Efek Indonesia bahkan sempat dua kali menghentikan perdagangan pada Kamis dan Jumat karena harga saham ambruk terlalu cepat. Dalam sebulan terakhir, harga saham secara rerata terpangkas 16,35 persen.
Keruntuhan harga saham dan rupiah mencerminkan derasnya aliran keluar dana investasi portofolio asing dari Indonesia. Sejak 2 Februari hingga 11 Maret lalu, investor asing melepas surat berharga negara senilai Rp 55 triliun. Di bursa saham, hingga 13 Maret lalu, dana asing yang hengkang dalam sebulan terakhir tercatat Rp 8,69 triliun. Selama kekhawatiran akan resesi karena wabah Covid-19 masih mencekam dan investor tetap memilih tempat berlindung yang aman, arus deras ini belum akan berhenti. Kurs rupiah dan harga saham akan terus tertekan.
Ada baiknya otoritas keuangan ataupun pemerintah kembali ke pilihan kebijakan yang lebih realistis. Belajar dari krisis 12 tahun lalu, ada baiknya jika Bank Indonesia berfokus menjaga likuiditas di pasar uang, tidak semata-mata menjaga rupiah. Jangan sampai ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas, apalagi jika bank itu tergolong berisiko sistemik.
Problem mendasar ekonomi Indonesia adalah defisit transaksi berjalan yang belum teratasi. Selama ini, salah satu pengganjalnya adalah masuknya dana asing melalui investasi portofolio. Kini, di tengah ancaman resesi karena wabah, ganjal itu tengah lepas. Akan sia-sia jika BI berupaya mendongkrak kurs rupiah selama arus dana asing masih deras keluar.
Di sisi pemerintah, masalah jauh lebih berat. Kredibilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negata sedang terancam. Jika anggaran tidak kredibel, investor asing tentu tak akan tertarik berinvestasi di surat berharga negara. Dana investasi portofolio asing yang parkir di sini bisa lebih deras lagi mengalir pulang.
Kredibilitas anggaran terancam karena penerimaan pemerintah berpotensi merosot tajam. Penerimaan minyak anjlok karena harganya jatuh. Demikian pula penerimaan pajak, yang bakal jauh dari target karena ekonomi sudah lesu sejak awal tahun. Semua itu datang bersamaan dengan tambahan pengeluaran karena melonjaknya pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri yang naik sejalan dengan kurs dolar Amerika. Belum lagi munculnya pengeluaran populis yang sepertinya tak bisa ditawar, seperti program Pra-Kerja. Putusan Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan juga akan menambah beban pengeluaran, kecuali pemerintah menurunkan jumlah dan kualitas pelayanan atau membiarkan lembaga penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional ini bubar.
Yang lebih memprihatinkan, kredibilitas anggaran terancam pula oleh perilaku pemerintah sendiri: masih sok gagah kendati terancam jatuh rudin. Timbunan utang badan usaha milik negara yang sedemikian mengancam tak dipedulikan ketika proyek-proyek mercusuar harus jalan terus. Padahal, sekali saja ada gagal bayar, pemerintah sebagai pemegang saham utama BUMN tentu tak bisa lepas tangan. APBN pula yang akan menanggungnya.
Bahkan proyek pembangunan ibu kota baru yang sudah jelas tak layak dan tidak mendesak tetap bergulir. Ada atau tidak swasta yang berinvestasi dalam proyek ini, dana anggaran negara akan tetap tersedot puluhan triliun rupiah ke sana, setidaknya untuk menyiapkan infrastruktur dasar.
Turunnya penerimaan secara tajam dan melonjaknya pengeluaran berpotensi membubarkan semua asumsi anggaran dan membuatnya menjadi tidak kredibel lagi. Jika robohnya pasar keuangan di mana-mana tetap tak mampu mengubah kekonyolan ini, entah apa lagi yang bisa menyadarkan pemerintah bahwa situasi sudah amat gawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo