Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bapeten akan membeli 126 unit RDMS hingga 2024.
Spesifikasi RDMS milik Bapeten dianggap tak memadai.
BPK mencatat ada selisih harga pembelian perangkat RDMS dalam proyek pengadaan tahun 2013.
RENCANA pengadaan pendeteksi radioaktif bagi menteri, kepala daerah, pejabat eselon I, dan kepala lembaga menjadi pembicaraan di lingkup internal Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto mencetuskan ide itu dalam rapat koordinasi inspektur pada Rabu, 18 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah presentasi konsep keamanan nuklir bagi konsep smart city di hadapan para pengawas nuklir, Jazi mengatakan rencana itu berlangsung di masa depan. Jika program ini berjalan, Bapeten akan menyiapkan sekitar 600 detektor radioaktif untuk digunakan para pejabat itu. “Ini menunjukkan bahwa radiasi bukan persoalan main-main,” kata Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, Komunikasi Publik, dan Protokol Bapeten Indra Gunawan, Kamis, 12 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang inspektur senior Bapeten mengatakan rekan-rekannya mempertanyakan rencana Jazi yang dianggap mubazir. Togap Marpaung, mantan inspektur senior di Bapeten, mendengar hal serupa dari para pengawas yang menghadiri acara tersebut. “Proyek itu hanya akan membuang uang negara,” ucapnya.
Ia menuduh Bapeten memanfaatkan momentum penemuan radioaktif sesium-137 di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, untuk menambah proyek baru. Sebelumnya, rencana itu tak pernah muncul di Bapeten. Tak ada yang mengetahui latar belakang ide perlindungan kepada pejabat terhadap radiasi nuklir. “Untuk mengurus alat yang ada saja Bapeten masih kepayahan karena sering rusak,” ujar Togap.
Petugas Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Bada Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) melakukan dekontaminasi terhadap tanah yang terpapar radiasi radioaktif di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 18 Februari 2020./TEMPO/M Taufan Rengganis
Perangkat pendeteksi radioaktif milik Bapeten mendeteksi sesium-137—biasa disebut Cs-137—di Perumahan Batan Indah pada 30 Januari lalu. Cs-137 itu ditemukan di tanah kosong sebelah lapangan badminton yang hanya berjarak sekian puluh meter dari gerbang perumahan. Zat radioaktif buatan ini diduga sudah bertahun-tahun teronggok di sana.
Bapeten sedang menguji kemampuan radiation data monitoring system (RDMS) tipe Mona saat menemukan Cs-137 di Perumahan Batan Indah. Bapeten membeli Mona pada 2013 dengan harga sekitar Rp 800 juta. Perangkat Mona sempat rusak setahun lebih dan baru beroperasi kembali akhir 2019. “Sepertinya rusak karena lama ditaruh di alam terbuka,” kata Indra Gunawan.
Hingga kini Bapeten dan kepolisian masih belum mengidentifikasi asal-usul zat radioaktif tersebut. “Setelah penemuan itu, polisi menyisir ke dalam perumahan,” ujar Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal M. Agung Budijono, Jumat, 13 Maret lalu.
Penelusuran itu menemukan sumber radiasi baru. Polisi bersama Bapeten mendeteksi adanya bahan radioaktif di sebuah bangunan di Blok A Perumahan Batan Indah pada Senin, 24 Februari lalu. Rumah itu milik Suhaedi Muhammad, pegawai senior Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Ia diduga menyimpan perangkat yang mengandung Cs-137. Penyidik kemudian menetapkan Suhaedi sebagai tersangka karena melanggar Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dengan ancaman maksimal setahun penjara dan denda hingga Rp 100 juta.
Hampir tiga pekan setelah temuan Cs-137 di tanah kosong Perumahan Batan Indah, Jazi Eko Istiyanto membuat gebrakan. Ia mengumumkan rencana pengadaan 126 unit RDMS secara bertahap hingga 2024 dalam rapat 18 Februari lalu. Tahun ini Bapeten rencananya membeli 22 unit RDMS. Alat-alat itu akan dipasang di stasiun milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Ada juga pendeteksi zat radioaktif yang bisa dibawa dengan tas punggung.
Rencana itulah yang kemudian dikritik sejumlah pegawai. Seharusnya, kata Togap Marpaung, Bapeten mengoptimalkan perangkat yang ada. Ceceran radioaktif di Perumahan Batan Indah, misalnya, bisa dideteksi sejak awal seandainya Mona dirawat sehingga tak sempat rusak.
Perangkat Mona milik Bapeten terpasang di dalam mobil khusus dan memiliki jangkauan yang luas. Mona bertugas memantau unsur radioaktif di tempat publik, khususnya kawasan yang berdekatan dengan reaktor nuklir milik Batan di Serpong. Togap pesimistis Bapeten sanggup mengelola 126 RDMS yang direncanakan. “Perawatan RDMS yang mahal dan rumit bakal membuat Bapeten kewalahan,” ujarnya.
•••
Setelah penantian selama tiga tahun, Bapeten menerima kabar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2019 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Keselamatan Nuklir dan Radiasi. Jokowi meneken peraturan itu pada 19 September 2019. “Bapeten melakukan pendekatan ke Istana sebelum perpres itu muncul,” kata Abdul Qohhar, Kepala Bagian Komunikasi Publik dan Protokol Bapeten, pada Kamis, 12 Maret lalu.
Salah satu pendekatan itu adalah memasang RDMS tipe Mira di atas salah satu gedung di kompleks Istana, Jakarta Pusat. Selain memasang RDMS, Bapeten memasang dua unit radiation portal monitor (RPM) di gerbang Istana dan salah satu pintu masuk gedung. RPM di Istana berfungsi mendeteksi radiasi radioaktif pada kendaraan dan barang bawaan tamu. “Pemasangan RDMS dan RPM itu untuk meyakinkan Istana,” ujar Qohhar.
Bapeten juga memberikan pelatihan kepada Pasukan Pengamanan Presiden untuk mengoperasikan RPM. Istana Negara mengatakan masih mengoperasikan RDMS dan RPM itu. “Sampai sekarang alatnya masih ada,” kata Kepala Biro Umum Kementerian Sekretariat Negara Piping Supriatna, akhir Januari lalu.
Berbekal peraturan presiden itu, Bapeten mengajukan rencana pengadaan 126 unit RDMS dan sejumlah proyek lain. Bapeten menggandeng agen tunggal pemegang merek salah satu pabrikan RDMS asal Jerman. Harga satu unit RDMS mencapai Rp 800 juta. Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto pertama kali mengungkap rencana pemasangan RDMS di 126 stasiun BMKG dalam sebuah seminar soal tenaga nuklir di Aceh pada 2017.
Rencananya, Bapeten akan memasang RDMS tersebut di stasiun pemantau BMKG di sisi utara Indonesia, seperti di Papua, Kalimantan, dan ujung Sumatera. Pemilihan lokasi didasarkan pada potensi kebocoran radiasi dari negara-negara pemilik reaktor nuklir yang umumnya berada di utara.
Saat ini Bapeten memiliki 15 unit RDMS, yang dibeli pada 2013. Selain terpasang di Istana, perangkat pemantau radiasi nuklir itu terpasang di gedung-gedung milik Batan di Tangerang Selatan, Bandung, dan Yogyakarta. Lima unit lain terpasang di stasiun BMKG sejak 2018. “Operasional peralatan RDMS berada di tangan Bapeten untuk memantau lingkungan aman dari nuklir atau tidak,” ucap Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono pada Jumat, 13 Maret lalu.
Peneliti senior Batan, Susilo Widodo, menganggap pemasangan RDMS di stasiun BMKG kurang tepat. Perangkat RDMS yang dimiliki Bapeten saat ini, kata dia, hanya mampu menangkap sinar gama dan alfa yang muncul dari unsur radioaktif. Susilo pernah bertugas selama sembilan tahun di Divisi Inspeksi Comprehensive Nuclear-Test Ban Treaty Organization, lembaga dunia pemantau uji coba nuklir yang berkedudukan di Wina, Austria. “Butuh RDMS spesifikasi berbeda dari milik Bapeten untuk mendeteksi sinar radiasi lain,” ujar Susilo.
Sesium-137 dan kobalt-60 adalah unsur radioaktif yang memancarkan sinar gama. Padahal, kata Susilo, radiasi nuklir juga menghasilkan sinar alfa, beta, dan neutron. Maka, jika terjadi kebocoran unsur radioaktif yang memancarkan sinar beta dan neutron, peralatan RDMS milik Bapeten tak akan menangkap radiasi nuklir tersebut. “Belum lagi soal operasional seluruh RDMS yang nantinya berada di pelosok. Siapa yang akan merawat semuanya?” tuturnya.
•••
Kejanggalan itu terungkap dalam laporan hasil pemeriksaan Bapeten tahun anggaran 2017. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat terdapat selisih harga pembelian tiga unit RDMS pada 2013. Jumlahnya mencapai Rp 1,1 miliar. Harga tiap unit diduga lebih mahal Rp 200-600 juta. Tapi laporan tak berlanjut ke proses hukum karena perusahaan pemenang tender telah mengembalikan selisih harga itu ke kas negara pada 2017.
Togap Marpaung, bekas inspektur Bapeten, melaporkan sejumlah dugaan korupsi pengadaan barang di Bapeten ke Markas Besar Kepolisian RI pada 2014. Salah satunya pengadaan tiga RDMS tadi. Laporan itu kemudian dialihkan ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya hingga disetop pada 2018. “Polisi menghentikan penyelidikan berdasarkan laporan BPK itu,” ujar Togap.
Penghentian penyelidikan itu tercantum dalam surat nomor B/446 yang dikeluarkan pada 15 Februari 2018. Surat itu menyebutkan salah satu alasan menghentikan dugaan korupsi tersebut adalah pihak ketiga sudah mengembalikan kerugian negara. Sebagai pelapor, Togap tak patah semangat. Surat itu menyebutkan polisi masih menangani dua laporan dugaan korupsi pengadaan barang lain. “Saya terus menagih hasil penyelidikan ke polisi,” ucapnya.
Penyidik Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Markos Sihombing mengatakan timnya memang menangani dugaan korupsi di Bapeten. “Semua dokumen pemeriksaan lengkap,” katanya. Tapi ia enggan menceritakan detail kasus itu. Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Komisaris Besar Yusri Yunus mengaku belum mengetahuinya.
Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, Komunikasi Publik, dan Protokol Bapeten Indra Gunawan mengatakan BPK memang menemukan kelebihan harga dalam proyek pengadaan RDMS pada 2013. Menurut dia, rekanan menentukan harga karena ada kesalahpahaman perbedaan harga pabrik dan distributor. “Persoalan sudah dianggap selesai,” ujarnya.
Susilo Widodo menganggap harga dan biaya perawatan RDMS terlalu mahal. Penggunaannya pun tak transparan. Misalnya ia tak pernah mendengar catatan logbook penggunaan RDMS di Istana.
Ia mengusulkan pemerintah menggunakan teknologi air monitoring, yang sudah digunakan negara maju. Daya jangkau peralatan ini jauh lebih luas dan efektif menangkap seluruh sinar radiasi dan zat radioaktif yang melewati perbatasan. “Dengan alat ini, Indonesia hanya butuh satu-dua alat,” katanya.
Pemerintah juga tak perlu melakukan impor. Bekas Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto, mengatakan lembaganya merintis pembuatan detektor tersebut sejak beberapa tahun lalu. Meski masih berbentuk purwarupa, harga produksinya tak semahal detektor impor. “Harganya bisa setengah dari produk dari luar negeri,” ucapnya.
MUSTAFA SILALAHI, RIKY FERDIANTO, LINDA TRIANITA, AHMAD FAIZ
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo