Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi dan Bapeten menemukan lokasi ketiga sumber radioaktif di Perumahan Batan Indah, Serpong.
Tersangka pemilik zat radioaktif diduga memiliki bisnis sampingan.
Polisi menelusuri ketiga sumber zat radioaktif tersebut.
GARIS polisi melintang sepanjang 12 meter di sebuah rumah di Blok F, Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Pintu dan gerbang rumah tertutup rapat. Hanya satu jendela yang terlihat terbuka. “Rumah itu disegel sudah sepekan,” kata Yusuf Mambira, pengurus rukun tetangga setempat, Rabu, 11 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yusuf mengatakan penghuni rumah mengungsi ke tempat salah seorang kerabat. Tim gabungan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dan Kepolisian RI meminta rumah tersebut disterilkan selama proses penyelidikan. Tim menemukan adanya zat radioaktif di salah satu ruangan rumah pada Kamis, 5 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilik rumah tersebut adalah mantan pegawai Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) berinisial GSR. Yusuf mengaku tak mengenal GSR. Ia baru dua tahun menghuni Perumahan Batan, sedangkan GSR meninggal sekitar 10 tahun lalu. Tak lama setelah itu, istrinya juga wafat. “Yang menempati rumah itu hanya anak-anaknya,” ujarnya.
Saat penyegelan, kata Yusuf, tim gabungan meminta pendampingan ketua rukun tetangga, ketua rukun warga, dan seorang warga setempat. Mereka diminta menandatangani dokumen penyegelan dan penyitaan sejumlah barang dari dalam rumah. Yusuf tak mengetahui benda apa saja yang disita. “Penjelasannya sebatas sumber radioaktif. Bentuk kandungannya tidak dijelaskan,” ucapnya.
Rumah GSR menjadi lokasi ketiga ditemukannya zat radioaktif di Perumahan Batan Indah. Lokasi pertama di tanah kosong dekat gerbang perumahan. Adanya zat radioaktif di sana baru diketahui pada akhir Januari lalu. Tim gabungan kembali menemukan paparan radiasi nuklir di Blok A, di rumah milik Suhaedi Muhammad, pada 24 Februari lalu. “Zat yang kami temukan di Blok F sama dengan temuan di Blok A,” ujar Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal M. Agung Budijono.
Agung mengatakan penyidik belum memastikan kaitan penemuan zat radioaktif di tanah kosong dengan temuan di Blok A dan F. Polisi masih menyelidiki rangkaian temuan itu bekerja sama dengan para ahli di Bapeten. “Kami membutuhkan bantuan tim pakar,” tuturnya.
Saat zat radioaktif itu pertama kali terdeteksi, tingkat radiasi di rumah GSR mencapai 13,6 milisievert. Ini jauh lebih tinggi dari radiasi di rumah Suhaedi, yang hanya 0,12 milisievert. Sumber radiasi di rumah GSR, kata Agung, ditemukan dalam gudang rumah. “Anak pemilik rumah sama sekali tidak pernah menyentuh benda itu sepeninggal orang tuanya,” ucapnya.
Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, Komunikasi Publik, dan Protokol Bapeten Indra Gunawan menjelaskan, paparan radiasi dari kedua rumah itu berasal dari sesium-137 (Cs-137) dan salah satu jenis iradium. Saat ditemukan, kedua zat itu masih terbungkus kontainer yang terbuat dari baja. “Jadi, meskipun ada paparan, hitungannya masih dalam batas aman,” ujarnya.
Bagi masyarakat umum, kata dia, tingkat paparan radiasi yang masuk batas aman ditetapkan 1 milisievert per tahun. Bagi pekerja nuklir, batasannya ditetapkan lebih tinggi, yakni 50 milisievert per tahun. Tapi, menurut Indra, penguasaan zat radioaktif tanpa hak dan izin merupakan tindakan ilegal sekalipun berada di bawah ambang batas aman. “Walau itu limbah, tetap wajib diserahkan ke Batan.”
Aturan itu yang menjerat Suhaedi. Polisi menetapkan dia sebagai tersangka karena melanggar Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dengan ancaman maksimal setahun penjara dan denda hingga Rp 100 juta. Ia tak ditahan karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun.
Penyidik masih mencari sumber Cs-137 dan iradium di rumah Suhaedi. Bapeten sudah menyerahkan daftar semua perangkat yang mengandung Cs-137 dan iradium ke polisi. Penyidik juga menelusuri orang atau perusahaan yang pernah bermitra dengan Suhaedi.
Seorang pegawai di Bapeten mengatakan Suhaedi melakukan hal serupa sepuluh tahun lalu. Ia pernah diperiksa karena ketahuan membawa peralatan yang mengandung zat radioaktif ke rumah. Suhaedi juga kerap berhubungan dengan pihak swasta karena memiliki keahlian merawat peralatan yang mengandung zat radioaktif dan bahkan mengolah peralatan bekasnya agar bisa digunakan kembali. Ia pernah menawarkan jasanya lewat forum jual-beli Kaskus pada 2012.
Suhaedi hingga kini masih berstatus pegawai Batan. Kepala Biro Hukum, Hubungan Masyarakat, dan Kerja Sama Batan Heru Umbara mengatakan tim inspektorat tengah mengkaji sanksi yang setimpal dengan kesalahan Suhaedi. Hukuman disiplin tersebut bisa berupa demosi, penundaan pangkat, atau pemecatan. “Kami akan memutuskan dalam waktu dekat ini,” ujarnya.
Menurut Heru, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi kepegawaian bisa berjalan tanpa harus menunggu putusan hukum. Batan tak akan memberi toleransi meski Suhaedi akan memasuki masa pensiun pada April mendatang.
Suhaedi adalah anggota staf senior Batan. Selama berkarier di Batan, ia pernah bertugas di berbagai lembaga yang berkaitan dengan tenaga nuklir milik pemerintah. Ia juga pernah menjadi petinggi di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Batan.
Rumah salah seorang warga Kompleks Batan Blok F63 yang disegel karena temuan zat radioaktif, 6 Maret 2020./TEMPO/Riky Ferdianto
Mantan Kepala Batan, Djarot S. Wisnubroto, mengatakan Suhaedi pernah menerima surat teguran lantaran membawa dan mengelola limbah nuklir tanpa izin. Ia bahkan menjajakan jasa tersebut kepada sejumlah perusahaan yang memiliki peralatan yang menggunakan zat radioaktif. Aktivitas ini diduga sebagai bisnis sampingan Suhaedi. Djarot tak menampik tudingan bahwa sejumlah pegawai Batan bekerja sama di bawah tangan dengan industri yang menggunakan perlengkapan berbahan zat radioaktif.
Suhaedi enggan meladeni permintaan wawancara Tempo. Ia tak menjawab pesan WhatsApp dan sambungan telepon hingga Sabtu, 14 Maret lalu. Saat didatangi, rumahnya kosong dan masih dikelilingi garis polisi sejak penemuan zat radioaktif. Tetangganya mengaku tak mengetahui keberadaan Suhaedi dan keluarga.
Adapun GSR pernah menjabat kepala subdirektorat di Batan. Selama bertugas, ia dan sejumlah karyawan pernah tergabung dalam unit usaha berbentuk koperasi. Salah satu layanan usahanya adalah memfasilitasi jasa angkut limbah radioaktif. “Regulasinya memang memungkinkan perusahaan menggandeng pihak ketiga untuk mengangkut bahan radioaktif,” kata Djarot.
RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo