Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Tak Ada Pilihan yang Menyenangkan

The Federal Reserve hingga Bank Indonesia menaikkan suku bunga demi mengerem inflasi. Apa akibatnya?

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bank Indonesia menaikkan suku bunga menjadi 4,25 persen.

  • Inflasi akan makin parah jika konflik Cina dan Taiwan memanas.

  • Indonesia menghadapi dilema jika harga komoditas naik tinggi.

SESUAI dengan perkiraan, bank sentral di berbagai pelosok dunia, dari The Federal Reserve hingga Bank Indonesia, menaikkan suku bunga. Kini semua pemangku kepentingan harus berhitung cermat, bagaimana perubahan kebijakan moneter yang amat drastis ini akan mempengaruhi iklim bisnis, ekonomi secara makro, ataupun pasar.

Bank Indonesia menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis point atau menjadi 4,25 persen pekan lalu. Sebetulnya bunga tinggi saat ini merupakan konsekuensi logis kebijakan moneter selama masa pandemi. Dua tahun lalu, demi menyelamatkan ekonomi, atau lebih tepatnya menyelamatkan pasar finansial dari kehancuran, bank-bank sentral mengadopsi kebijakan moneter yang amat longgar. Otoritas moneter menggelontorkan uang secara besar-besaran, bahkan boleh dibilang tanpa batas. Sementara itu, hukum ekonomi sudah jelas: jika jumlah uang yang beredar melonjak, kenaikan inflasi cepat atau lambat pasti akan mengikuti.

Inflasi, setelah mulai merebak tahun lalu, akhirnya meledak tahun ini. Situasi menjadi lebih parah karena ada satu faktor yang belum masuk hitungan sebelumnya bakal ikut mendongkrak inflasi. Sejak awal tahun ini stabilitas geopolitik global mendadak limbung. Awalnya adalah invasi Rusia ke Ukraina yang menimbulkan dampak berantai amat panjang.

Belum lagi invasi ini menampakkan ujung yang jelas, gejolak juga muncul di Asia. Hubungan Cina-Taiwan, yang tentu melibatkan Amerika Serikat sebagai pendukung utama Taiwan, memanas. Kemungkinan eskalasi konflik menjadi pertikaian militer terbuka makin besar. Ada pula kebijakan penanganan Covid-19 pemerintah Cina yang masih gemar menggunakan cara tangan besi mengisolasi total ekonomi.

Kedua masalah itu pada akhirnya menimbulkan gangguan serius terhadap rantai pasokan berbagai komoditas. Dampak gangguan yang tak kalah besar dialami pasokan barang-barang manufaktur ke seluruh dunia. Efek gangguan apa pun yang terjadi di Cina, sebagai pusat manufaktur dunia, pasti terasa di seluruh dunia. Harga segala macam produk manufaktur melonjak dan turut mendorong inflasi.

Kombinasi kebijakan moneter yang longgar dan instabilitas geopolitik inilah yang memicu inflasi hingga melonjak tinggi selama 2022. Harga energi hingga komoditas pangan naik tak karuan. Bank-bank sentral pun harus bertindak. Tak mungkin mereka membiarkan inflasi mengamuk tanpa kendali. Dus, senjata ampuh yang mereka punyai untuk mengerem inflasi, yakni menaikkan bunga, mulai dikerahkan.

Jelas terlihat, kenaikan suku bunga sebetulnya baru separuh obat, untuk mengatasi banjir likuiditas. Sedangkan pemicu inflasi lain, terganggunya rantai pasokan global karena guncangan geopolitik, tak akan langsung bisa terobati oleh kebijakan moneter. Tekanan kenaikan harga masih akan terus terjadi selama gangguan rantai pasokan global belum teratasi.

Walhasil, kendati suku bunga naik tajam dan ekonomi melambat, inflasi belum tentu akan mereda dengan cepat tahun depan. Kondisi stagflasi inilah yang amat dikhawatirkan para ekonom, analis, ataupun para pembuat kebijakan. Ekonomi stagnan, sementara inflasi tetap tinggi.

Untungnya, Indonesia juga mendapat manfaat dari instabilitas politik di Selat Taiwan hingga invasi Rusia. Kenaikan harga komoditas membuat Indonesia mencetak surplus perdagangan amat besar selama delapan bulan pertama 2022, US$ 34,92 miliar.

Namun kondisi ini ibarat pedang bermata dua. Selama harga komoditas tinggi, pemerintah memang ikut menikmati tambahan pendapatan dari pajak, royalti, ataupun bagi hasil sumber alam yang cukup besar. Pada saat yang sama, jika harga komoditas tetap tinggi, pemerintah menanggung beban subsidi energi yang amat besar, kecuali berani menaikkan lagi harga jual bahan bakar minyak.

Ini dilema yang amat pelik. Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, anggaran bisa berantakan kecuali bila harga minyak dunia merosot. Jika benar ekonomi global terpuruk ke dalam resesi karena suku bunga tinggi, harga berbagai komoditas akan turun. Dus, beban subsidi energi berkurang. Tapi merosotnya harga komoditas akan memukul ekonomi Indonesia karena surplus perdagangan bisa ikut merosot. Sungguh, harga komoditas naik atau turun, keduanya bukanlah situasi yang menyenangkan bagi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus