Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Joko Widodo menyodorkan I Nyoman Wara dan Johanis Tanak sebagai komisioner KPK pengganti Lili Pintauli.
Nyoman Wara dan Johanis Tanak dulu tak mendapatkan suara dalam seleksi calon pemimpin KPK di DPR.
Sebaik apa pun komisioner pengganti Lili Pintauli, sulit menyelamatkan KPK dari kemunduran.
Komisi Pemberantasan Korupsi di era Presiden Joko Widodo tak ubahnya mobil bobrok yang butuh turun mesin total. Walau bannya diganti merek Michelin pun tak akan bisa menyelamatkan kondisi mobil yang sudah sedemikian parah. Hanya pengembalian kewenangan dan struktur seperti semula yang bisa membuat KPK kembali bertaji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, rencana pemilihan satu komisioner KPK pengganti Lili Pintauli Siregar pekan depan tak perlu direspons berlebihan. Presiden Jokowi telah menyodorkan dua calon, I Nyoman Wara dan Johanis Tanak, untuk dipilih Dewan Perwakilan Rakyat. Wara adalah auditor utama di Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan Johanis adalah Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara di Kejaksaan Agung. Wara dan Johanis gagal dalam seleksi calon pimpinan KPK di DPR pada 2019. Keduanya tak mendapatkan satu pun dukungan dalam pemungutan suara ketika itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa pun yang kelak terpilih, kecil kemungkinan mereka bisa memperbaiki situasi. Kemunduran KPK sudah amat parah. Terlebih para pemimpinnya kerap melanggar sendiri kode perilaku di KPK. Ketika masih menjabat Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar pernah melanggar etik karena menerima tiket menonton balapan MotoGP Mandalika. Dia juga mendapat fasilitas akomodasi dari anak perusahaan PT Pertamina. Namun, untuk pelanggaran etik seberat itu, Dewan Pengawas KPK hanya bisa menjatuhkan hukuman potong gaji.
Masalahnya memang bukan sekadar soal siapa pengganti Lili. Pokok soalnya ada pada KPK. Lembaga yang pernah begitu perkasa ini sekarang terseok-seok karena revisi Undang-Undang KPK malah melucuti sejumlah kewenangan utama komisi itu. Anggota stafnya kini hanya aparatur sipil negara biasa yang harus tunduk pada birokrasi dan aturan pemerintah. Jadi jangan berharap mereka agresif menangkapi pejabat korup. KPK memang sudah kehilangan independensinya. Tangan-tangan pemerintah sudah terlalu jauh merasuk ke jantungnya.
Bukan hanya itu, Ketua KPK Firli Bahuri juga terlihat sangat dominan mengendalikan para komisioner lain. Peran empat pemimpin KPK lain praktis hanya pelengkap atau malah pajangan belaka. Padahal Undang-Undang KPK secara spesifik menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif-kolegial. Dengan dinamika seperti sekarang, Wara atau Johanis tak akan bisa berbuat banyak meski Firli Bahuri terus melanggar kode etik di lembaga itu.
Firli memang sosok yang paling bertanggung jawab atas rusaknya integritas KPK—fondasi penting bagi tegaknya muruah lembaga tersebut. Dia berkali-kali bertemu dengan orang yang perkaranya tengah ditangani penyidik KPK. Dia juga pernah mendapat gratifikasi berupa pemakaian helikopter mewah sebuah perusahaan swasta. Sayangnya, untuk semua kesalahan itu, Dewan Pengawas menganggap Firli hanya melakukan pelanggaran etik ringan.
Nama Firli juga pernah masuk catatan sejarah antikorupsi sejagat raya karena dia menjadi pemimpin lembaga antirasuah pertama yang memberikan penghargaan khusus kepada istrinya sendiri. Jasa sang istri memang luar biasa: dia menciptakan mars dan himne KPK untuk dinyanyikan di acara-acara internal lembaga itu.
KPK akhirnya benar-benar porak-poranda ketika Firli menyingkirkan puluhan pegawainya sendiri melalui tes wawasan kebangsaan. Padahal sebagian dari mereka adalah penyelidik andalan yang tengah menangani kasus korupsi kakap. Di mata Firli, mereka adalah batu sandungan yang harus dibuang jauh-jauh. Hanya dengan cara itu, Firli bisa sepenuhnya mengendalikan KPK.
Ibarat mobil bobrok, satu-satunya cara memperbaiki KPK adalah menggantinya dengan mobil baru. KPK yang baru kelak harus lebih kokoh, berintegritas, dan berani melawan koruptor kakap tanpa pandang bulu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo