Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Nasib Rupiah dan Penantian Kebijakan Prabowo

Kenaikan suku bunga BI belum mampu menyelamatkan rupiah. Investor menanti kebijakan Prabowo Subianto dalam mengelola APBN. 

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • BI menaikkan suku bunga acuan dari 6 persen menjadi 6,25 persen.

  • Kredibilitas APBN di mata investor dipertaruhkan ketika pemerintahan berganti.

  • Pasar menanti kebijakan ekonomi Prabowo Subianto.

BANK INDONESIA akhirnya menaikkan suku bunga untuk mengobati pelemahan rupiah. Per 24 April 2024, suku bunga acuan BI yang kini bernama BI-7 Day Repo Rate atau BI-7DRR naik dari 6 persen menjadi 6,25 persen. Sebagai catatan penting, kenaikan bunga punya efek samping negatif: berisiko mengerem pertumbuhan ekonomi di sepanjang tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati BI sudah mengambil risiko itu, ternyata rupiah tak langsung menguat signifikan. Sehari sebelum bunga naik, nilai tukar rupiah memang sempat sedikit membaik, menyentuh 16.150 per dolar Amerika Serikat di pasar tunai. Namun esoknya rupiah kembali membal ke kisaran 16.200 per dolar. Seolah-olah inilah titik keseimbangan baru rupiah setelah BI Rate naik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurs rupiah di kisaran 16.200 per dolar Amerika Serikat jelas masih terlalu jauh dari sasaran ataupun tingkat yang ideal bagi otoritas keuangan. Pemerintah, misalnya, menetapkan patokan kurs rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini sebesar 15 ribu per dolar. Jika rupiah tak segera menguat signifikan dan realisasi kurs ternyata berbeda cukup jauh dari patokan itu, pemerintah bisa menghadapi masalah serius. 

Efek buruk yang bisa segera muncul adalah turunnya kredibilitas APBN di mata investor. Ini berbahaya karena pengelolaan anggaran yang kredibel merupakan jangkar utama keyakinan investor kepada Indonesia. Inilah salah satu pertimbangan terpenting bagi investor asing sebelum membawa masuk dana investasinya ke Indonesia, terutama ke instrumen obligasi pemerintah. 

Ada dua indikator penting yang dapat menggambarkan seberapa kuat keyakinan investor kepada Indonesia: posisi dana asing yang tertanam pada obligasi pemerintah dan pergerakan yield atau imbal hasil obligasi pemerintah. Sayangnya, kedua indikator itu terlihat makin buruk akhir-akhir ini. 

Pelan tapi pasti, aliran dana asing terus merembes keluar dari obligasi pemerintah. Investor asing secara neto menjualnya lalu memindahkan dana ke tempat yang lebih aman. Jika dihitung sejak awal tahun hingga 24 April lalu, secara total dana asing yang mengalir keluar dari instrumen ini sudah mencapai Rp 49 triliun. Selain akibat faktor bunga The Federal Reserve yang belum menampakkan tanda-tanda bakal segera turun, keluarnya dana asing dari obligasi pemerintah mencerminkan lemahnya keyakinan investor kepada Indonesia.

Naiknya yield obligasi pemerintah RI menyimpulkan hal serupa. Sebagai contoh, yield obligasi bertenor 10 tahun yang merupakan salah satu rujukan pasar naik sangat pesat. Dari sekitar 6,65 persen di awal April, per 24 April lalu angkanya sudah mencapai 7,19 persen. Naiknya yield merupakan refleksi meningkatnya risiko berinvestasi di Indonesia. Karena risikonya meningkat, investor menuntut imbal hasil lebih besar.

Kini, setelah BI Rate naik, apakah keyakinan investor bisa segera membaik? 

Sepertinya itu belum akan terjadi. Setidaknya ada satu soal yang masih menggantung. Pasar finansial belum yakin bahwa pemerintah Indonesia tidak akan menjalankan kebijakan fiskal agresif yang membuat defisit anggaran meledak. Belum tampak ada komitmen politik yang kuat untuk mencegah melonjaknya utang pemerintah di masa sulit ini.

Bukan dari Joko Widodo yang sudah mendekati akhir masa jabatannya, pasar justru menanti jawaban dari Prabowo Subianto. Sebagai presiden terpilih yang mulai memerintah Oktober nanti, Prabowo bisa memperbaiki keyakinan investor di pasar finansial jika ia segera menegaskan segamblang-gamblangnya bagaimana arah kebijakan fiskal Indonesia di masa pemerintahannya kelak.

Tanpa penegasan itu, pasar masih akan terus menebak-nebak dalam ketidakpastian yang kian meningkat. Sedangkan gejolak di pasar global masih terus menambah tekanan negatif pada kurs rupiah. Seperti biasa, investor yang berani mengambil risiko akan memanfaatkan suasana gonjang-ganjing ini sebagai sarana berspekulasi. 

Campuran berbagai faktor itu sudah pasti akan menambah gejolak kurs rupiah. Stabilitas mata uang makin jauh dari realitas. Rupiah tetap merana. Sedangkan risiko perlambatan ekonomi karena naiknya suku bunga acuan BI Rate tetap harus kita tanggung bersama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus