Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Terseret Skandal Dua Saudara

Setelah Jiwasraya dan Asabri, giliran Taspen disorot dalam masalah pengelolaan dana investasi. Pernah tersangkut transaksi obligasi bermasalah di anak perusahaan.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengelolaan dana investasi Taspen dikabarkan bermasalah.

  • Ada jejak manajer investasi yang juga mengelola duit Jiwasraya dan Asabri.

  • Badan Pemeriksa Keuangan menemukan transaksi janggal di anak perusahaan.

ANTONIUS Nicholas Stephanus Kosasih mengambil alih kemudi PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau Taspen (Persero) pada momen yang kurang enak. Diangkat sebagai bos baru perusahaan asuransi wajib para abdi negara itu sejak 17 Januari lalu, pria yang akrab dipanggil Steve ini langsung berhadapan dengan badai di asuransi pelat merah lain, yakni PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero). “Kami sekarang dikait-kaitkan,” kata Steve di Jakarta, Jumat, 14 Februari lalu.

Kasus Jiwasraya menjadi skandal terbesar yang menjerat perusahaan asuransi. Pengelolaan dana investasi secara sembrono lewat sejumlah perusahaan manajer investasi ditengarai berpotensi merugikan negara hingga Rp 17 triliun.

Kejaksaan Agung telah menetapkan dua bekas direktur Jiwasraya, Hendrisman Rahim dan Harry Prasetyo, sebagai tersangka. Status yang sama disematkan penyidik kepada Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, dua pengusaha yang diduga kebagian banyak dana investasi Jiwasraya. Ombudsman RI, yang belakangan mengkaji pola investasi badan usaha milik negara perasuransian, menengarai kasus serupa terjadi di Asabri, “saudara kembar” Taspen yang khusus mengelola asuransi wajib anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI.

Taspen saat ini mengelola Rp 263 triliun dana pensiun nasabah. Sebagian besar, yakni 67,5 persen, ditempatkan pada surat utang. Dana investasi pada saham dan reksa dana masing-masing hanya 4,9 persen dan 6,7 persen. Sisanya berada di deposito serta instrumen investasi lain.

Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, mengakui, dibandingkan dengan Jiwasraya dan Asabri, penempatan dana investasi Taspen jauh lebih konservatif. Porsi terbesar berada di surat utang dan deposito. Penempatan pada saham dan reksa dana saham pun, menurut Alamsyah, mayoritas berada di BUMN, bukan saham “gorengan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivitas pelayanan di kantor Taspen, Jakarta./Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, beberapa pekan terakhir, berembus desas-desus yang menyebutkan dana kelolaan Taspen tersangkut di reksa dana pada salah satu manajer investasi yang juga mengelola duit Jiwasraya dan Asabri. Taspen, oleh dua pelaku pasar modal, disebut punya investasi yang dikelola PT Emco Asset Manajemen.

Di pasar modal, Emco tercatat mengelola empat produk reksa dana: Emco Mantap, Emco Growth Fund, Emco Saham Barokah Syariah, dan Emco Pesona. Sejak 27 November 2019, manajemen Emco meminta nasabahnya tidak melakukan penarikan dana (redemption). “Hal tersebut dapat membantu kami dalam proses pemulihan kinerja reksa dana saham,” kata Direktur Utama Emco Eddy Kurniawan dalam suratnya kepada para nasabah.

Rupanya, beberapa dari empat produk reksa dana itu mengoleksi sejumlah saham perusahaan yang terlibat dalam skandal Jiwasraya. Salah satunya Emco Growth Fund, yang per September 2019 masih tercatat menggenggam saham Hanson International (MYRX) milik Benny Tjokrosaputro.

Steve membenarkan kabar bahwa Taspen saat ini menanamkan duitnya lewat Emco. Namun pelaksananya adalah anak perusahaan, PT Asuransi Jiwa Taspen alias Taspen Life.

Pada 2016, Taspen Life membeli surat utang jangka menengah (medium-term note/MTN) PT Perkebunan Nusantara V (Persero) senilai Rp 200 miliar. Bunga obligasi itu 12 persen dengan pembayaran kupon setiap tiga bulan.

Namun, sebagai anak usaha, Taspen Life tidak bisa membeli langsung surat utang. Maka Taspen Life menggunakan Emco sebagai perantara. Emco menerbitkan reksa dana penyertaan terbatas, RDPT Plantation Fund, yang dipakai untuk membeli MTN PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V. Berikutnya, Taspen Life mencaplok RDPT Plantation Fund. “Kupon pembayaran MTN-nya lancar. September 2021 jatuh tempo,” ujar Steve.

Dalam MTN PTPN V itu, Taspen Life tidak sendiri. Taspen Life hanya mengambil 40 persen dari total penerbitan surat utang PTPN V sebesar Rp 500 miliar. Pemegang terbesarnya Bank Mandiri dengan porsi 49 persen atau Rp 245 miliar. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan pun mengantongi 2,3 persen atau Rp 11,5 miliar. PT Bursa Efek Indonesia memegang 3,7 persen atau Rp 18,5 miliar. Adapun Emco Asset Manajemen mengoleksi 1 persen alias Rp 5 miliar—batas minimal porsi manajer investasi penerbit RDPT. “Jadi ini bukan Emco—empat reksa dana—yang mau dilikuidasi,” ucap Steve.

Kendati tidak menggenggam produk Emco yang bermasalah, Steve mengakui, Taspen Life sempat tersandung persoalan dengan manajer investasi tersebut. Duit Taspen Life lewat Rp 150 miliar gara-gara mencaplok surat utang milik PT Prioritas Raditya Multifinance yang dibungkus Emco dalam bentuk kontrak pengelolaan dana (KPD) pada 2017.

Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa kejanggalan transaksi itu pada Desember 2018. Audit kelar tiga bulan kemudian. BPK mencatat investasi bermasalah ini bermula pada 25 Oktober 2017, ketika Taspen Life membeli surat utang jangka menengah Prioritas Raditya senilai Rp 150 miliar melalui KPD Emco. Surat utang bertenor tiga tahun itu—jatuh tempo pada 22 Oktober 2020—menjanjikan kupon sebesar 15 persen per tahun. Dikurangi pajak dan komisi, Taspen Life bakal menerima bersih kupon 12 persen.

Pembayaran kupon pertama pada 25 Januari 2018 lancar, sebesar Rp 4,5 miliar. Masalah baru muncul saat pembayaran kupon kedua pada April tahun yang sama. Prioritas Raditya tidak kunjung membayarnya. Sempat disepakati mundur ke Juli 2018, rencana pembayaran kembali meleset. Begitu pula kupon jatuh tempo ketiga. Taspen Life kemudian memutuskan jatuh tempo surat utang itu dipercepat menjadi pada Agustus 2018 dari semula Oktober 2020. Kala itu, total tagihannya, termasuk kupon dan denda, telah mencapai Rp 161,6 miliar.

Gedung Taspen Life di kawasan Sudirman, Jakarta, Jumat pekan lalu./ Tempo/Tony Hartawan

PT Prioritas Raditya Multifinance memang bermasalah saat itu. Sempat dibekukan Otoritas Jasa Keuangan pada Mei 2018, izin usaha perusahaan pembiayaan ini dicabut dua bulan kemudian.

Dalam pemeriksaan, BPK menilai transaksi MTN tersebut bermasalah sejak awal. Berdasarkan notula rapat komite investasi pada 3 Oktober 2017, komite menyetujui pembentukan KPD dengan underlying Emco sepanjang MTN tersebut memenuhi sejumlah persyaratan.

Sebelum rapat komite, pada 25 September 2017, Kepala Divisi Investasi Taspen Life mengkaji kelayakan MTN yang akan diboyong. MTN tersebut layak jika Prioritas Raditya memperbaiki kualitas rasio keuangan, masuk kategori satu tingkat di bawah “layak investasi”, menggunakan RDPT (bukan KPD), dan nilai jaminan tanah divaluasi oleh pihak ketiga yang independen.

Rupanya, saat Taspen Life mencairkan dana untuk penempatan KPD itu, syarat yang direkomendasikan Kepala Divisi Investasi tersebut diabaikan. Kepala Divisi Investasi ogah meneken lembar pengantar transaksi investasi (LPTI) karena menganggap penempatan MTN itu tidak sesuai dengan prosedur dan berisiko tinggi. LPTI adalah instruksi pembelian investasi yang semestinya diteken kepala divisi investasi. “Tapi dalam hal ini LTPI ditandatangani oleh direktur utama,” begitu bunyi temuan BPK. Direktur Utama Taspen Life saat itu Maryoso Sumarsono.

Saat Taspen Life mencairkan duit untuk penempatan KPD, MTN Prioritas Raditya belum terdaftar di Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) dan belum punya peringkat investasi. Padahal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi menegaskan perusahaan asuransi hanya boleh berinvestasi di MTN yang terdaftar di KSEI dan memiliki peringkat investasi.

Risiko dari tabrak pagar ini akhirnya terjadi. Prioritas Raditya gagal membayar surat utang. Masalah ini dibereskan lewat pembayaran bertahap enam kali mulai Oktober 2018. “Setelah ditagih dan diancam mau diperkarakan,” kata Steve.

Namun masih ada kekurangan pembayaran Rp 388 juta. Belakangan, sisa tunggakan ini baru ditagih Taspen Life setelah pemeriksaan BPK rampung. Auditor juga mencatat kerugian lain senilai Rp 420 juta yang harus ditanggung Taspen Life buat menyelesaikan masalah tunggakan MTN.

Steve mengklaim telah menerapkan peraturan baru. PT Taspen sebetulnya selama ini hanya boleh mencaplok MTN yang diterbitkan badan usaha milik negara dan anaknya. Namun peraturan itu rupanya tidak mengikat anak usaha seperti Taspen Life. “Sekarang mengikat sampai ke bawah,” tuturnya.

KHAIRUL ANAM, GHOIDA RAHMAH, PUTRI ADITYOWATI

Main Aman Investasi Pensiunan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus