Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Demi Angan-Angan Mobil Listrik

Angka produksi yang menyentuh 560 ribu ton pada 2018 menjadikan Indonesia sebagai salah satu penghasil bijih nikel terbesar dunia.

7 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH nikel yang terkandung di dalam perut bumi sebenarnya sangat berlimpah. Namun, mayoritas kandungan nikel tersebut sulit dijangkau karena posisinya jauh di dalam tanah. Itu sebabnya pasokan nikel kerap kali langka, dan harga nikel yang dimurnikan sering melonjak tajam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun ini harga nikel di pasar spot mendadak meningkat hingga menyentuh US$ 16 ribu per ton. Penyebabnya, apalagi kalau bukan minimnya pasokan bijih nikel dari Indonesia. Situasi ini diperkeruh oleh ambisi sejumlah politikus di Jakarta. Untuk jangka pendek, lonjakan harga nikel seperti ini sulit bertahan.

Indonesia adalah salah satu penghasil bijih nikel terbesar dunia, dengan produksi mencapai 560 ribu ton tahun lalu. Angka tersebut naik nyaris dua-pertiga dari produksi total pada 2017. Cadangan nikel Indonesia sebesar 21 juta ton adalah yang terbesar di dunia. 

Selama ini, mayoritas bijih nikel produksi Indonesia diekspor ke Cina, yang kemudian diolah untuk memproduksi lempengan nikel  berharga murah sebagai bahan dasar untuk memproduksi baja antikarat (stainless steel). Cina sendiri terus berekspansi di sektor ini, terlihat dari data BMO Capital Markets yang menunjukkan produksinya kini mencapai 20 persen dari seluruh bijih nikel yang diolah di seluruh dunia. 

Setiap beberapa tahun, pemerintah Indonesia biasanya memutuskan --mungkin dengan dasar yang bisa dibenarkan-- untuk melarang ekspor bijih nikel mentah yang hanya menguntungkan pihak asing yang bisa mengolahnya jadi produk yang bernilai lebih tinggi.  Pemerintah Indonesia sudah memutuskan larangan ekspor bijih nikel akan dimulai pada 2022. Pasar mencurigai kebijakan tersebut akan diimplementasikan lebih awal.

Motif utama di balik keputusan Indonesia saat ini melibatkan industri mobil listrik. Katoda baterai kendaraan listrik menggunakan nikel. Indonesia sendiri saat ini sedang berusaha keras menjadi pusat produksi mobil listrik di Asia.
Toyota dan Hyundai telah menunjukkan minatnya memproduksi mobil listrik di Indonesia. Namun, kapasitas fasilitas pemurnian (smelter) nikel di Indonesia tidak cukup untuk melayani sebuah pusat produksi kendaraan listrik. Indonesia harus membangunnya terlebih dahulu.

Pada 2014, Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan ancaman untuk menghentikan ekspor nikel untuk membangun industri manufaktur stainless steel domestik. Namun, tiga tahun berselang, larangan tersebut dicabut tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Indonesia tentu punya banyak pekerjaan rumah untuk mewujudkan rencananya, dan tetap butuh pemasukan ekspornya. Karena itu, tampaknya pelarangan ekspor nikel tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FINANCIAL TIMES

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus