Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu jalan raya Cepu-Bojonegoro seperti mati suri. Tapi jalur tengah itu kini tak pernah sepi. Apalagi sejak Blok Cepu memuntahkan minyak mentah lebih dari seperempat total produksi nasional.
Kepadatan lalu lintas pun menjadi pemandangan sehari-hari. Sepanjang pekan lalu, sejumlah kendaraan berat leluasa lalu-lalang. Terutama setelah badan jalan diperlebar menjadi 12 meter.
Namun bagi hasil kegiatan produksi Blok Cepu, yang berada di tiga kabupaten, yakni Bojonegoro, Blora, dan Tuban, tidak menetes ke semua daerah. Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Blora, Seno Margo, mengatakan Pemerintah Kabupaten Blora bahkan tak menerima dana bagi hasil sepeser pun. “Tidak satu rupiah pun masuk ke kami,” ujarnya, Rabu, 4 September lalu.
Padahal proyek Cepu, yang dikelola ExxonMobil, tengah menjadi primadona. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat wilayah kerja Cepu menyumbangkan 209,3 ribu barel per hari dari Lapangan Banyu Urip. Jumlah itu hanya kalah dibanding Blok Rokan di Riau, yang rata-rata produksinya 209,4 ribu barel per hari.
Dana bagi hasil di Blora bertolak belakang dengan di kabupaten tetangganya. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mendapat alokasi Rp 2,668 triliun pada tahun anggaran ini. Sedangkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperoleh Rp 1,509 triliun. Dana itu terdistribusi merata ke semua kabupaten atau kota non-penghasil minyak dan gas, seperti Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Blitar, Trenggalek, Kediri, Ponorogo, Pacitan, Madiun, Magetan, dan Ngawi.
Berdasarkan alokasi yang telah ditetapkan pemerintah, setiap daerah tersebut akan menerima lebih dari Rp 81 miliar. “Bayangkan, daerah jauh, yang tidak ada urusan apa-apa dengan Cepu pun kecipratan berkah. Kami tidak,” kata Seno.
Itu sebabnya warga Blora akan memperjuangkan hak mereka. Bupati Blora Djoko Nugroho dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Blora mendukung rencana itu. Dukungan parlemen daerah disampaikan dalam sidang paripurna pandangan umum fraksi di gedung DPRD Blora, dua pekan lalu. DPRD menyokong rencana Koalisi Masyarakat Blora mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas regulasi tentang dana bagi hasil minyak dan gas ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Bupati Djoko mengaku telah menyampaikan keluhan itu kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Blora, juga di berbagai forum yang mempertemukan mereka. Intinya: Pemerintah Kabupaten Blora ingin mendapat dana bagi hasil minyak dan gas dari Blok Cepu.
Gelora warga Blora dalam memperjuangkan dana bagi hasil kian panas. Sebab, Blok Cepu tengah mencapai puncak produksi. Data SKK Migas menunjukkan, per 31 Agustus 2019, produksi Lapangan Banyu Urip bahkan telah menembus 224,7 ribu barel per hari. Capaian itu melampaui target dalam rencana pengembangan (plan of development), yang hanya 165 ribu. Apalagi akan ada tambahan dari Lapangan Kedung Keris, yang ditargetkan berproduksi mulai triwulan keempat tahun ini, sekitar 3.800 barel per hari.
Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Kardaya Warnika, menilai upaya masyarakat Blora itu wajar. “Kalau sampai Blora tidak mendapat apa-apa, itu tidak mungkin,” ujar anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, Kamis, 5 September lalu. Ia mengusulkan pengadaan audit regulasi. Sebab, undang-undang memberikan hak kepada semua daerah penghasil, bukan hanya daerah tempat kepala sumur.
Penyertaan Modal
KOALISI Masyarakat Blora bergerak. Tim kajian dibentuk untuk menyiapkan data pendukung dokumen uji materi. Isinya antara lain perkiraan cadangan minyak dan gas di wilayah kerja Cepu, termasuk sumur yang berlokasi di beberapa desa di Kecamatan Gayam, Bojonegoro, sekitar 16 kilometer dari perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Targetnya, dokumen uji materi rampung dan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung paling lambat akhir September ini,” tutur Seno Margo.
Setidaknya ada tiga peraturan yang dimintakan uji materi. Pertama, Undang-Undang Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Kedua, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8003K/80/MEM/2016 tentang Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Penghitungan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi. Ketiga, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Juru bicara Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, menjelaskan bahwa penentuan daerah yang akan mendapatkan bagi hasil produksi migas didasari letak kepala sumur. Kebijakan itu diatur dalam keputusan Menteri Energi. “Kepala sumur blok migas Cepu berada di wilayah Bojonegoro, bukan Blora, sehingga yang memenuhi syarat sebagai daerah penghasil adalah Bojonegoro.”
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Energi Agus Cahyono membenarkan aturan bagi hasil ke daerah dihitung berdasarkan lokasi kepala sumur. “Blok Cepu luas. Setelah dikaji, yang paling efektif dan efisien mengebor di Bojonegoro,” ucap Kepala Subdirektorat Penerimaan Negara Kementerian Energi 2006-2013 itu.
Ia meyakinkan bahwa pemerintah memperhatikan Cepu, antara lain dengan memberikan hak participating interest kepada Pemerintah Kabupaten Blora. Blok Cepu menjadi model atas kebijakan memberikan 10 persen kepemilikan kepada daerah. Tapi Agus tak bisa menjelaskan dasar penentuan persentase dalam participating interest. “Konsorsium badan usaha milik daerah itu, business to business antardaerah. Saya detailnya tidak tahu.”
Mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Andang Bachtiar, mengungkapkan bahwa ketentuan participating interest yang sekarang berlaku berasal dari masukan IAGI. “Saat itu kami dimintai bantuan pemerintah dan DPR untuk membuat kajian,” ujarnya, Kamis, 5 September lalu.
Andang bercerita, saat itu belum ada payung hukum yang mengatur partici-pating interest. Pemerintah Bojonegoro ingin mengambil seluruh jatah daerah, yakni sebanyak 10 persen. Bojonegoro telah mendirikan badan usaha milik daerah dengan menggandeng swasta. Pemerintah Jawa Timur dan pemerintah Blora juga meminta bagian.
Akhirnya, para ahli geologi IAGI Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur membahasnya. Andang menjabat Ketua Umum IAGI ketika itu. Ia juga konsultan perhimpunan kabupaten/kota penghasil minyak dan gas. IAGI menggunakan pendekatan konsep unitisasi, yang lazim diterapkan dalam bisnis migas. Dalam konsep ini, bila reservoir melewati dua daerah, pembagian dilakukan berdasarkan cadangan.
Pertimbangan utamanya, kata dia, hamparan reservoir yang diperoleh dari data Humpuss, pengelola awal lapangan Cepu, sebelum pengelolaan berpindah ke Ampolex, kemudian ke Mobil Oil. “Perkara area itu dibor atau tidak, yang penting bisa membuktikan bahwa reservoirnya berhubungan.” Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, menerima kajian IAGI.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2009-2014, Marwan Batubara, mempertanyakan kenapa kajian IAGI yang diterima Presiden Yudhoyono malah tidak dipakai dalam penentuan daerah penghasil. Marwan mengaku pernah menerima keluhan soal Cepu ketika duduk di kursi Dewan. “Regulasi bagi hasil terlalu simpel, diberikan ke daerah yang ada kepala sumur.”
Menurut Andang, tarik-ulur ini masalah kebijakan. Ia mencontohkan, Bangka Belitung, yang di wilayahnya tidak terdapat satu pun kepala sumur produksi, tetap menerima dana bagi hasil dari kontraktor yang beroperasi di sekitarnya, misalnya CNOOC. “Pemerintah pusat memiliki hak veto,” ujarnya.
RETNO SULISTYOWATI, SUJATMIKO (BLORA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo