Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hasil review BPKP mementahkan rencana impor KRL bekas dari Jepang.
KCI akan membeli KRL baru buatan pabrik Inka di Banyuwangi.
Inka kini memakai teknologi KRL dari Jepang.
BERKAS itu terbit juga. Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi menerima hasil telaah atau review dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ihwal rencana impor KRL atau kereta rel listrik oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Berkas review setebal 20 halaman ini menentukan jadi-tidaknya KCI mengimpor KRL bekas dari Jepang untuk angkutan komuter di beberapa wilayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi PT KCI, hasil review BPKP adalah pil pahit. Dalam berkas tersebut, BPKP ternyata tidak merekomendasikan impor KRL bekas. Artinya, KCI harus membeli kereta baru yang dibuat oleh PT Industri Kereta Api (Persero) atau Inka. Menurut Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto, BPKP mengirim berkas itu pada Senin, 27 Maret lalu, tapi pengumuman baru disampaikan pada Kamis, 6 April lalu. "Saat ini tidak direkomendasikan mengimpor KRL bekas," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi meminta BPKP menelaah rencana impor KRL bekas oleh KCI, anak usaha PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. KCI dan KAI meminta izin untuk mengimpor KRL bekas dari Jepang sebanyak 10 rangkaian pada 2023 dan 19 rangkaian pada tahun berikutnya. Kereta itu sebelumnya dioperasikan JR East, operator KRL terbesar di Jepang. Armada bekas ini sudah berumur 28 tahun.
Penumpang berada di dalam rangkaian kereta commuter line di Stasiun Manggarai, Jakarta, 28 Maret 2023. Antara/Rivan Awal Lingga
Impor kereta bekas Jepang ini tak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan lembaga negara ataupun badan usaha milik negara mengutamakan produk dalam negeri. Namun PT Kereta Commuter dan PT Kereta Api meminta dispensasi dari aturan ini sejak September 2022. Kementerian Perindustrian menolaknya seraya meminta KCI membeli kereta buatan Inka. Di sisi lain, Inka baru bisa menyediakan armada itu pada 2025. Di sini terjadi tarik-ulur sehingga pemerintah mengambil jalan tengah dengan meminta BPKP menelaah rencana itu. Kini KCI dan KAI harus banting setir, mencari strategi baru.
SEBELUM berangkat ke Jepang pada pertengahan Maret lalu, tim BPKP menyurati direksi KCI untuk meminta sejumlah data, dari Rencana Jangka Panjang Perusahaan 2020-2024, proyeksi volume penumpang 2023-2040, perkiraan biaya impor KRL bekas, analisis tingkat kandungan dalam negeri KRL bekas, perbandingan nilai investasi dan biaya operasi KRL bekas dibanding KRL baru, hingga rincian biaya retrofit KRL lama.
Melalui sejumlah surat dan beberapa kali rapat, direksi KCI berkukuh akan mengimpor KRL bekas untuk mengganti kereta yang pensiun pada 2023 dan 2024. Mereka berdalih impor ini mendesak karena Inka tak bisa menyediakan kereta pesanannya dalam waktu cepat. Inka memerlukan waktu setidaknya 18 bulan untuk membuat KRL pesanan KCI.
Jika tak ada penggantian KRL, armada yang tersisa tidak bakal sanggup menampung potensi pertumbuhan penumpang. Dalam hitungan KCI, tanpa penggantian kereta, okupansi atau tingkat keterisian mencapai 109-195 persen pada 2024. Dengan kata lain, terjadi overload alias kelebihan penumpang. Tahun ini, okupansi KRL sebesar 69 persen, tapi pada jam sibuk bisa mencapai 126 persen.
Tarik-ulur ini sempat memicu perdebatan, antara lain dalam rapat dengar pendapat Komisi Industri Dewan Perwakilan Rakyat dengan KCI, KAI, dan Inka pada Senin, 27 Maret lalu. Saat itu anggota Komisi Industri DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade, menuding KCI sejak awal hanya ingin mengimpor KRL bekas dan ogah membeli kereta buatan Inka. KCI, menurut Andre, sebetulnya berkesempatan memesan KRL baru lebih awal kepada Inka, yaitu sejak Desember 2020 atau Januari 2021. Saat itu fasilitas produksi Inka di Banyuwangi, Jawa Timur, selesai dibangun. "Tapi pabrik itu kosong karena tak kunjung dapat order," ujar Andre.
Pabrik yang dibangun dengan modal negara Rp 603 miliar itu sempat mendapat napas ketika KAI meneken letter of intent (LOI) dengan perusahaan patungan Inka-Stadler pada September 2019. Stadler adalah perusahaan kereta asal Swiss. Namun kelanjutan LOI itu tak pernah ada. Ada satu pasal dalam LOI yang menyebutkan perusahaan patungan baru bisa berproduksi jika mendapat order 500 kereta baru dari KCI.
Pabrik Banyuwangi kian bergairah setelah KAI membuat nota kesepahaman pemesanan KRL dengan Inka pada Mei 2022. Perjanjian itu, menurut Andre, muncul setelah Presiden Joko Widodo mempersoalkan minimnya penggunaan produk lokal oleh BUMN. Jokowi marah setelah PT Pertamina (Persero) membeli pipa impor. "Itu pun KCI mau tanda tangan dengan Inka setelah ditekan Kementerian BUMN," tutur Andre.
Tapi perjanjian ini pun majal. Pada September 2022, KCI malah mengajukan permohonan impor KRL bekas. Andre menuding Roppiq Lutfi Azhar sewaktu menjabat Direktur Utama KCI pada Desember 2022 meminta Inka mendukung impor KRL bekas jika ingin mendapatkan order. Waktu bergulir dan pada Februari lalu Roppiq diangkat menjadi Direktur Pengembangan Inka. "Kami tahu Inka sudah mampu memproduksi KRL di Banyuwangi sejak 2021," ucap Andre.
Roppiq membantah tudingan Andre. "Kami mencari solusi, bukan mengancam atau seolah-olah kalau Inka tidak mendukung saya tidak pesan," ujarnya. Menurut Roppiq, saat itu kondisi keuangan KCI lesu gara-gara pandemi Covid-19. "Bukan dibatalkan, tapi ditahan dulu sampai mampu," katanya. Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo juga mengatakan kemampuan keuangan KCI terbatas sehingga tak bisa membeli KRL baru. Untuk membeli kereta baru, KCI bergantung pada KAI. Padahal pada 2020 KAI merugi Rp 1,7 triliun dan setahun kemudian masih boncos Rp 400 miliar. “Saat ini kami sedang mengkaji dampak pembelian KRL baru," ujarnya.
Berdasarkan hitungan KAI, pembelian KRL baru bisa berdampak pada penyesuaian tarif dan subsidi angkutan komuter. Biaya pengadaan satu KRL bekas Rp 1,6 miliar atau Rp 16 miliar untuk satu rangkaian berisi 10 gerbong. Sedangkan harga KRL baru Rp 20 miliar per gerbong atau Rp 240 miliar untuk satu rangkaian berisi 12 gerbong. “Biaya operasi pasti akan bengkak,” tutur Didiek.
Toh, setelah hasil review BPKP terbit, KAI dan KCI mesti membeli KRL baru. Meski impor KRL, KCI tetap mendapatkan kereta buatan Jepang. Rupanya, Inka memakai teknologi dari J-TREC, perusahaan asal Jepang yang membuat KRL E217, jenis yang sama dengan yang akan diimpor KCI. Menurut Didiek, kereta Jepang itu memakai bahan baja tahan karat atau stainless steel yang cocok untuk lintasan KRL Jabodetabek yang banyak bersinggungan dengan jalan raya, berbeda dengan buatan Stadler yang memakai bahan aluminium dan tak cocok dengan kriteria KCI. Artinya, mau bekas mau baru, KCI tetap memakai kereta Jepang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo