Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua produsen nikel akan menggelar IPO di Bursa Efek Indonesia.
Saham nikel masih prospektif di tengah booming kendaraan listrik.
Dominasi Cina akan menjadi sentimen negatif bagi industri nikel Indonesia.
REZEKI dari nikel sedang melimpah ruah menggenangi ekonomi Indonesia. Bulan ini, giliran pasar saham mulai menuai transaksi besar yang melibatkan saham-saham perusahaan tambang dan pengolah nikel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dua perusahaan yang akan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Saham PT Trimegah Bangun Persada Tbk, yang populer dengan sebutan Harita Nickel, mulai diperdagangkan pada 12 April pekan ini. Nilai penjualan 12,7 persen saham Harita Nickel di pasar perdana atau initial public offering (IPO) mencapai Rp 9,99 triliun. Hingga April 2023, itulah rekor nilai IPO di Indonesia untuk tahun ini, melampaui nilai IPO PT Pertamina Geothermal Energy yang sebesar Rp 9 triliun pada Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan berikutnya, 18 April, giliran PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) masuk bursa. Penjualan 10,24 persen saham MBMA di pasar perdana, yang sedang berlangsung, diperkirakan memperoleh dana Rp 8,74 triliun. Nama pengusaha terkenal seperti Garibaldi Thohir dan Edwin Soeryadjaya turut tercantum dalam daftar pemegang saham MBMA yang memiliki fasilitas produksi di Morowali, Sulawesi Tengah; dan Konawe, Sulawesi Tenggara.
Hasil dua IPO itu menunjukkan betapa investor berani menetapkan valuasi yang cukup tinggi untuk kedua perusahaan. Valuasi MBMA mencapai Rp 85,26 triliun. Sedangkan Harita Nickel yang memiliki tambang dan fasilitas produksi di Pulau Obi, Maluku, dinilai Rp 78 triliun. Selain valuasi, kualitas investor yang masuk ke dua perusahaan tergolong papan atas. Di pasar beredar kabar bahwa banyak dana investasi milik pemerintah atau sovereign wealth fund dari berbagai negara tetangga ikut memborong saham dua perusahaan nikel itu di pasar perdana.
Valuasi yang cukup baik dan investor yang berkualitas mencerminkan optimisme pasar. Kinerja industri nikel Indonesia dua tahun terakhir memang sangat mencorong. Hasil ekspor nikel dan produk-produk turunannya menjadi salah satu penyumbang terbesar surplus perdagangan Indonesia. Nilai total ekspor berbagai produk nikel tahun lalu mencapai US$ 33 miliar.
Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, ekonomi Indonesia tentu berpeluang terus menikmati keuntungan besar dari nikel. Apalagi tren penggunaan kendaraan listrik terus meningkat di mana-mana. Mobil listrik mutlak memerlukan baterai. Sampai saat ini nikel merupakan bahan baku penting untuk baterai kendaraan listrik.
Namun dalam jangka panjang ketergantungan pada industri nikel berpotensi memunculkan tantangan. Salah satunya teknologi baterai yang selalu berkembang. Formula bahan bakunya terus berubah. Bukan tak mungkin para ilmuwan segera menemukan bahan pengganti nikel untuk membuat baterai. Hal ini bisa menurunkan permintaan akan nikel dan memukul industrinya di Indonesia.
Masalah lain, hampir semua pabrik peleburan nikel di Indonesia merupakan hasil kerja sama dengan perusahaan nikel asal Cina. Di tengah kondisi geopolitik global yang kian tak menentu dan eskalasi ketegangan hubungan Amerika Serikat dengan Cina yang terus berlanjut, dominasi Cina di industri nikel Indonesia dapat memicu reaksi negatif.
Misalnya, pemerintah Amerika Serikat berniat tak memberikan insentif pajak untuk perusahaan otomotif yang menggunakan baterai dengan bahan baku nikel Indonesia. Alasannya, Indonesia tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika. Namun semua orang dapat membaca yang tersirat. Amerika tak ingin dominasi Cina di Indonesia berlanjut tanpa hambatan.
Masalah lain, perusahaan nikel Tiongkok mengandalkan teknologi high-pressure acid leaching technology atau HPAL untuk “memeras” nikel dari galian tambang di Indonesia yang umumnya memiliki kadar rendah. Sementara itu, HPAL dianggap sebagai teknologi kotor, menghasilkan limbah lebih banyak. Hal itu dapat mempengaruhi kredensial lingkungan produk-produk yang memakai bahan baku nikel asal Indonesia di masa depan.
Booming nikel mungkin masih akan berlangsung hingga beberapa tahun ke depan. Tapi, jika tak ada antisipasi, berbagai tantangan itu dapat mengakhiri kejayaan nikel lebih cepat dari yang kita inginkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo