Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini sebuah aplikasi belanja online asal China, Temu, menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Platform yang menawarkan berbagai produk dengan harga sangat murah ini dinilai mengancam keberadaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa Itu Aplikasi Temu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari USAToday, Temu adalah sebuah platform e-commerce yang diluncurkan pada Agustus 2022 dan berbasis di Boston, Amerika Serikat. Meski didirikan di Amerika Serikat, Temu sebenarnya adalah bagian dari PDD Holdings Inc., yang juga merupakan induk perusahaan Pinduoduo, platform belanja terkenal dari China.
Temu menawarkan berbagai produk dengan harga yang sangat murah karena menggunakan model bisnis Factory to Consumer (F2C), di mana produk dikirimkan langsung dari pabrik ke konsumen tanpa perantara.
Melalui model bisnis ini, Temu dapat menekan harga barang secara signifikan, membuatnya menarik bagi konsumen yang mencari produk murah. Produk yang ditawarkan bervariasi, mulai dari pakaian, perlengkapan rumah tangga, hingga elektronik.
Namun, model F2C ini justru dinilai berpotensi merugikan pelaku UMKM di Indonesia karena mereka tidak bisa bersaing dengan harga yang sangat rendah dari barang-barang impor yang dijual di Temu.
Ancaman terhadap UMKM Indonesia
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi melarang platform perdagangan Temu yang berasal dari Cina beroperasi di Indonesia guna melindungi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri.
Budi Arie mengatakan Temu tidak bisa masuk ke pasar Indonesia karena dapat merusak ekosistem UMKM. "Kita tetap larang. Hancur UMKM kita kalau dibiarkan," ujarnya di Jakarta, Selasa, 2 Oktober 2024.
Selain dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan UKM juga dengan tegas menolak kehadiran Temu di Indonesia. Staf khusus Kementerian Koperasi dan UKM, Fiki Satari, menyatakan aplikasi seperti Temu harus tunduk pada regulasi yang ada di Indonesia.
Salah satu regulasi yang menjadi rujukan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Larangan Penggabungan KBLI 47 serta Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Pengawasan Pelaku Usaha Sistem Elektronik. Regulasi-regulasi ini melarang platform yang melakukan perdagangan lintas batas (cross-border) tanpa mematuhi aturan perdagangan dalam negeri.
Fiki menegaskan, jika Temu diizinkan beroperasi tanpa pengawasan ketat, UMKM akan kehilangan pasar domestik mereka karena konsumen lebih memilih produk impor yang lebih murah. Hal ini juga dikhawatirkan akan menciptakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di sektor industri pengolahan, yang sangat bergantung pada keberadaan UMKM sebagai rantai pasok utama.
Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM, potensi ekonomi digital bagi UMKM di Indonesia diproyeksikan mencapai Rp 4.531 triliun pada 2030. Ini merupakan angka yang sangat signifikan dan menunjukkan bahwa ruang digital memiliki peran besar dalam mendukung pertumbuhan UMKM.
Namun, apabila platform seperti Temu diberi ruang untuk beroperasi di Indonesia, angka ini bisa saja menurun drastis, karena UMKM tidak akan mampu bersaing dengan barang-barang impor yang dijual dengan harga murah.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, juga mengingatkan bahwa Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk-produk asing jika tidak ada upaya untuk melindungi UMKM lokal.
Dalam skenario terburuk, banyak pelaku UMKM yang terpaksa gulung tikar, menciptakan gelombang PHK di sektor manufaktur dan industri pengolahan. “Indonesia hanya dijadikan pasar, akan banyak pelaku usaha yang terancam gulung tikar,” kata Bhima.