Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIMMY Febriyadi selalu balik bertanya setiap kali ada calon pembeli yang ingin tahu berapa harga produk kerajinan tangan yang dipamerkannya. Seperti bermain tebak-tebakan, ini adalah triknya untuk mengetahui bagaimana orang menghargai hasil kerja keras sebuah misi sosial yang dijalankannya.
Dalam sebuah marketplace yang menghadirkan sekitar 200 usaha sosial dari berbagai negara yang digelar British Council di Teater Unicorn, London, akhir Mei lalu, Jimmy menerapkan jurusnya. “Menurut Anda, berapa harga yang pantas untuk kalung itu?” Jimmy bertanya kepada seorang pria asal Inggris yang tampak tertarik pada sebuah kalung batik berhias manik-manik. Lelaki itu menjawab, “Sepuluh pound sterling.” Sepakat. Jadilah kalung itu berpindah tangan.
Aslinya, kalung tersebut dihargai Rp 35 ribu. Jimmy berhasil menjualnya dengan harga lima kali lipat lebih tinggi. Taktik dagang tersebut berhasil membuat pria 39 tahun itu mendapatkan 54 pound sterling atau Rp 979 ribu dalam tempo dua jam. Bukan keuntungan semata yang dicari cofounder Disability Empowerment Centre ini. “Pembeli berani menawar, bahkan membayar dengan harga tinggi karena mereka tahu ada misi sosial di dalamnya,” katanya.
Jimmy bersama rekannya, Hardiyo Darmoatmojo, adalah roda penggerak Disability Empowerment Centre dari Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cita-cita mereka sederhana: penyandang disabilitas bisa mandiri dan punya penghasilan sendiri. Hardiyo mendorong para difabel membuat beragam produk kerajinan tangan, sementara Jimmy menangani pemasarannya.
Hardiyo, yang duduk di kursi roda karena mengalami kerusakan tulang sumsum pada usia 27 tahun, paham betul bagaimana penyandang disabilitas dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai benalu dalam keluarga. “Saya dulu minder karena dibilang enggak bisa apa-apa. Keluarga jadi menutup diri karena malu dengan keadaan saya,” tutur pria 52 tahun itu. Lambat-laun dia berusaha membongkar stigma tersebut dengan berkarya dan menjual kerajinan tangan buatan sendiri.
Sukses menjual beragam kerajinan, seperti gantungan kunci bambu, keset, wayang, kalung, dan tas rajut, Hardiyo mengajak teman-temannya sesama difabel untuk membantunya. Dia pun mendirikan Disability Empowerment Centre pada 2017. Kemudian Jimmy turut bergabung. “Ada beberapa teman penyandang disabilitas yang seumur hidupnya belum pernah menghasilkan uang seribu rupiah pun,” ucap Jimmy. “Ketika tahu hasil kerajinan tangannya terjual dan mendapat uang Rp 15 ribu, mereka sampai menangis sujud syukur.”
Hanya, pendapatan itu belum cukup untuk menghidupi organisasi. Jimmy sebagai pengelola bisnis Disability Empowerment Centre mencari cara supaya produk buatan teman-teman difabel dikenal sampai ke mancanegara. Jimmy, yang pernah menjadi pembicara di British Council, kemudian curhat kepada Robert Foster, pendiri lembaga kewirausahaan sosial di Inggris, Red Ochre. Lembaga ini didekati karena terbukti berpengalaman dalam mengembangkan kewirausahaan sosial sejak 2013. Salah satu binaan Red Ochre, Magmatech, yang menghasilkan produk bahan bangunan hemat energi, diganjar Queen’s Awards for Innovation dari Ratu Elizabeth II pada 2018.
Dari Red Ochre, Jimmy dan Hardiyo belajar membuat rencana produksi kerajinan, mengimbangi penawaran dan permintaan, sampai mengolah trik pemasaran tak lazim seperti yang diterapkan di Teater Unicorn tadi. Satu hal lain yang mengantarkan mereka ke pasar mancanegara: proposal yang mereka ajukan untuk mendapat bantuan dana program Developing Inclusive and Creative Economies dari British Council. “Tak disangka, usaha sosial kami terpilih. Ini seperti mimpi,” kata Hardiyo.
Disability Empowerment Centre dan lima wirausaha sosial dari Indonesia, yakni Ketemu Project dari Bali, Nalitari (Yogyakarta), Think.Web, Platform Usaha Sosial atau PLUS, dan Social Innovation Acceleration Programme atau SIAP (Jakarta), dijadikan contoh perkembangan kewirausahaan sosial oleh British Council. Selain dari Indonesia, ada sejumlah wirausaha sosial dari Brasil, Mesir, Pakistan, dan Afrika Selatan.
Perwakilan dari setiap perusahaan sosial itu diboyong ke London untuk diperlihatkan langsung beberapa usaha sosial yang sukses di sana. Tim Disability Empowerment Centre belajar dari lima jenis usaha sosial, yaitu Building Block, Lee Valley VeloPark, Clarity Soap, Joy of Sound, dan London Library. Tiga di antaranya berfokus pada pemberdayaan penyandang disabilitas di London.
Hardiyo beroleh tiga pelajaran penting dari kunjungan ini. Pertama, semua terobosan yang diterapkan perlu waktu dan proses yang tidak sebentar. Contohnya Clarity Soap, yang berdiri sejak 1884 di negara yang relatif kaya tapi sampai saat ini masih butuh dukungan dana dari pihak luar. Kedua, kerja sama dengan berbagai pihak sangat diperlukan karena pemberdayaan begitu kompleks dari berbagai latar belakang. Ketiga, ada strategi yang bisa segera diaplikasikan di organisasi dan ada yang butuh waktu lebih lama. “Yang bisa kami tiru adalah teknik kerja sama dengan berbagai pihak,” ucapnya.
Penasihat program Developing Inclusive and Creative Economies, John Newbigin Obe, mengatakan jenis usaha sosial ini menjawab masalah kemakmuran sekaligus membawa perdamaian di seluruh dunia. “Jika minyak adalah bahan bakar yang menggerakkan ekonomi abad ke-20, bahan bakar ekonomi abad ke-21 adalah kreativitas dan inklusivitas,” ujar Obe, yang juga pendiri usaha sosial Creative England.
Difabel Mandiri Melalui Kolaborasi/foto-foto: TEMPO/ASTARI P SAROSA
Pemerintah mengapresiasi upaya pengusaha dengan misi sosial ini. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan keberhasilan kewirausahaan sosial memiliki kontribusi sekitar 1,91 persen atau Rp 19,4 miliar dari nilai produk domestik bruto Indonesia. “Kewirausahaan sosial menempatkan inklusivitas sebagai inti pembangunan ekonomi,” kata Bambang dalam publikasi British Council dan UNESCAP 2018, “Building an Inclusive and Creative Economy: The State of Social Enterprise in Indonesia”. Menurut dia, usaha sosial adalah platform bagi setiap komunitas di perdesaan sampai perkotaan untuk memberikan dampak positif melalui pendekatan kreatif dan kolaboratif.
Bukan bak ketiban bulan Hardiyo dan Jimmy mendapat hibah sebesar 73.600 pound sterling atau sekitar Rp 1,34 miliar dari program Developing Inclusive and Creative Economies. Kembali ke impian semula, mereka ingin penyandang disabilitas memiliki penghasilan yang lebih baik dengan berbagai program. Duet Hardiyo-Jimmy memilih 14 “local hero” sebagai penggerak kewirausahaan sosial sehingga anggota Disability Empowerment Centre bertambah dari 50 menjadi 150 difabel. Ada pula pelatihan untuk kelompok penyandang disabilitas yang lebih spesifik, misalnya Mitra Ananda yang berfokus pada penyandang cerebral palsy, komunitas perempuan kreatif, dan pemuda difabel.
Mereka menargetkan penghasilan para perajin penyandang disabilitas yang semula hanya Rp 300-500 ribu meningkat menjadi Rp 1-1,5 juta per bulan. “Kami ingin makin banyak penyandang disabilitas yang mendapat manfaat dari usaha sosial ini, dan mereka terbebas dari stigma benalu,” tutur Hardiyo.
ASTARI PINASTHIKA SAROSA (London)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo