Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Pilihan Rumit Bank Sentral

Bank Indonesia menghadapi dilema setelah The Federal Reserve menaikkan suku bunga. Memilih mengerem inflasi atau memperlambat pertumbuhan ekonomi.

18 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • The Fed menaikkan suku bunga hingga 0,75 persen.

  • Bank Indonesia akan memutuskan ihwal suku bunga pekan ini.

  • Jika BI menaikkan suku bunga, konsumsi dan pertumbuhan ekonomi akan melambat.

TAHUN lalu, The Federal Reserve keliru memprediksi arah inflasi. Mantranya, waktu itu inflasi hanya sementara. Ternyata inflasi di Amerika Serikat terus menanjak sehingga The Fed kini harus pontang-panting menaikkan suku bunga untuk meredamnya. Pada Rabu, 15 Juni lalu, bunga The Fed naik 0,75 persen, kenaikan terbesar sejak 1994. Ini di luar rencana semula, yang mematok kenaikan 0,5 persen saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Besar kemungkinan The Fed kembali memutuskan kenaikan bunga 0,75 persen dalam pertemuan di bulan-bulan mendatang. Maklum, tingkat inflasi tahunan di Amerika sungguh ganas, yaitu 8,6 persen per akhir Mei 2022. Pasar menduga rentang bunga The Fed mencapai 3,25-3,5 persen di akhir tahun, dua kali lipat rentang saat ini yang mencapai 1,5-1,75 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekspektasi kenaikan bunga yang begitu tajam langsung membuat pasar finansial di seluruh dunia bereaksi. Di Indonesia, kurs rupiah merosot nyaris menyentuh level 14.800 per dolar Amerika Serikat di akhir pekan. Imbal hasil atau yield obligasi pemerintah berjangka 10 tahun, yang merupakan patokan pasar, kembali merangkak naik hingga melampaui 7,5 persen.

Kenaikan yield berarti harga obligasi pemerintah turun. Investor mengobral obligasi pemerintah demi mencari aman, memindahkan investasi ke instrumen lain dan bahkan ke negara lain. Realokasi investasi ini berpotensi memicu pelarian modal keluar. Ini salah satu penyebab kurs rupiah tertekan.

Berikutnya, pemerintah harus memberi bunga lebih besar ketika menjual obligasi. Padahal hingga akhir tahun ini pemerintah RI masih harus menjual obligasi senilai Rp 553 triliun lagi untuk menutup defisit anggaran. Beban bunga yang lebih tinggi akan menguras anggaran pemerintah hingga bertahun-tahun ke depan.

Sekarang terpulang kepada Bank Indonesia, bagaimana BI merespons perkembangan ini. Umumnya, ketika The Fed menaikkan suku bunga, bank-bank sentral di seluruh dunia turut menyesuaikan suku bunganya. Hingga bulan lalu, BI masih sangat percaya diri, tetap menahan bunga meski The Fed sudah lebih dari sekali menaikkan bunga sejak Maret lalu. Alasannya, inflasi di Indonesia memang mulai menanjak, tapi belum melonjak tinggi. Per Mei 2022, inflasi tahunan cuma 3,5 persen.

Masalahnya, kondisi ekonomi dunia kini makin buruk. Inflasi global yang sudah begitu tinggi besar kemungkinan segera merambat ke sini. Tekanan inflasi terbesar datang dari harga minyak bumi. Rata-rata harga minyak dunia pada Mei 2022 sudah mencapai US$ 111,96 per barel, melompat 63,9 persen dibanding pada Mei 2021.

Pemerintah mencoba menahan tekanan itu dengan mengguyurkan subsidi energi secara besar-besaran, total senilai Rp 502 triliun tahun ini saja. Harga bahan bakar minyak di dalam negeri untuk sementara tidak naik. Masalahnya, seberapa lama bendungan subsidi ini mampu menahan tekanan harga minyak global yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda?

Kenaikan harga bahan pangan pun makin menakutkan. Ada kenaikan karena faktor lokal musiman, seperti harga cabai yang kini sedang melompat tajam. Ada pula kenaikan akibat faktor global dampak invasi Rusia ke Ukraina, seperti harga gandum yang terbang tinggi.

BI sekarang menghadapi kondisi yang sama sekali berbeda dengan satu-dua bulan lalu. Ada kombinasi tiga faktor negatif yang bekerja berbarengan: inflasi yang cenderung naik, bunga The Fed yang meningkat pesat, dan pasar finansial yang bergejolak. BI makin terdesak untuk mengambil keputusan sulit dalam rapat Dewan Gubernur pekan ini.

Menaikkan bunga memang bisa meredam inflasi dan sedikit-banyak dapat menahan kaburnya dana investasi ke luar negeri. Ada tambahan insentif bagi investor untuk bertahan di sini. Namun efek samping bunga tinggi bisa sangat menyakitkan ekonomi. Harga segala macam kredit akan naik. Kemampuan konsumen mencicil utang, dari pinjaman rumah sampai kredit kendaraan, bakal menurun. Hal ini akan menekan permintaan dan pada akhirnya mengerem pertumbuhan ekonomi.

Adapun tidak menaikkan suku bunga bisa membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi risikonya juga amat besar. Stabilitas nilai tukar rupiah terancam dan inflasi bisa melejit makin tak terkendali. Sungguh tak ada pilihan ideal kali ini. Semuanya sama-sama menyakitkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus