Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mantan Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, diduga menggunakan kaki tangan untuk mengumpulkan suap izin mendirikan bangunan.
Ada peran orang dekat Deputi Penindakan KPK Inspektur Jenderal Karyoto.
Tarif izin dibanderol Rp 200 juta hingga Rp 2 miliar.
PAGAR seng mengelilingi tanah seluas 6.051 persegi di sudut Jalan Gandekan dan Jalan Kemetiran Lor, kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta. Lahan yang berada di kawasan cagar budaya dan jantung kota itu kerap digunakan sebagai lahan parkir. Keberadaan tanah kosong itu mencuat setelah munculnya kasus suap bekas Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti.
Tanah itu milik PT Java Orient Property, anak usaha PT Summarecon Agung Tbk. Rencananya, PT Summarecon akan membangun apartemen Royal Kedhaton di sana. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Haryadi setelah menerima suap US$ 27.258 atau setara dengan Rp 440 juta dari proyek Royal Kedhaton pada Kamis, 2 Juni lalu. “Uang itu untuk memuluskan penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB),” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Sejak awal, proyek pembangunan apartemen sudah menuai masalah. Selain persoalan syarat pendirian bangunan dan kepemilikan lahan, proyek ini turut mengungkap modus Haryadi Suyuti mengobral izin berbagai proyek properti di Yogyakarta.
Mantan Ketua Rukun Warga 13 Kemetiran Lor, Andreas Agung Budi, mengatakan Direktur PT Java Orient Property Dandan Jaya Kartika gencar mendatangi warga sekitar untuk mensosialisasi pembangunan apartemen pada tahun lalu. “Ia juga memimpin pertemuan di balai RW,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Tbk Oon Nusihono juga beberapa kali hadir, salah satunya pertemuan pada 16 Juni 2021. “Pak Oon menjanjikan kompensasi untuk warga sekitar,” tutur Andreas. Tapi, setahun berlalu, apartemen tak kunjung dibangun.
Baca Juga: Jejak Deputi Penindakan KPK di Bisnis Tambang Pasir Yogyakarta
Penduduk setempat justru menerima kabar KPK menangkap Oon dan Haryadi dalam operasi tangkap tangan (OTT). KPK juga menangkap enam orang lain yang diduga terlibat dalam tersebut.
Namun hanya empat orang yang menjadi tersangka. Mereka adalah Haryadi, Oon, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Kota Yogyakarta Nurwidhihartana, dan ajudan Haryadi, Triyadi Budi Yuwono. Dandan juga dikabarkan tengah dibidik di kasus ini.
Oon dan Dandan melalui Triyanto diduga pernah menyerahkan uang secara bertahap dengan nilai minimal Rp 50 juta untuk Haryadi dan Nurwidhihartana. “Penyerahan uang selama proses penerbitan IMB,” ujar Alexander.
Permohonan IMB Royal Kedhaton sebenarnya sudah diajukan pada 2019. Lantaran berada di kawasan cagar budaya, penerbitan IMB apartemen terganjal proses verifikasi. Saat itu, Oon dan Dandan mendekati Haryadi. Setelah berkomunikasi intens, Haryadi setuju “membantu” proses izin dengan sejumlah imbalan.
Dalam proses verifikasi, muncul sejumlah persoalan dalam rancangan bangunan. Apartemen tersebut akan berdiri setinggi 40 meter. Sementara itu, batas yang diizinkan hanya 32 meter. Posisi derajat kemiringan bangunan dari ruas jalan juga melebihi ketentuan. Meski dengan sejumlah masalah, Haryadi tetap menerbitkan IMB Royal Kedhaton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahan apartemen Royal Kedhaton di Kampung Kemetiran Lor, Kota Yogyakarta, yang jadi tempat parkir, 12 Juni 2022./TEMPO/Shinta Maharani
Penjabat Wali Kota Yogyakarta, Sumadi, mengatakan proses serah-terima jabatan berlangsung pada Ahad, 22 Mei lalu. Pada hari itu pula, Haryadi yang menjabat wali kota dua periode tersebut seharusnya mengosongkan rumah dinas. Namun ia meminta izin kepada Sumadi untuk meminjam rumah dinas selama sepekan dengan alasan suatu keperluan. “Saya pikir dia meminta waktu untuk kemas-kemas barang pribadi,” ucap Sumadi. Belakangan, KPK menemukan barang bukti suap izin di rumah dinas wali kota.
Selepas menyandang status tersangka dan hendak dibawa ke ruang tahanan KPK di Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat, 3 Juni lalu, Haryadi tak menjawab pertanyaan wartawan yang mengerubunginya. Oon Nusihono, Nurwidhihartana, dan Triyadi Budi Yuwono juga diam seribu bahasa.
PT Summarecon Agung Tbk enggan mengomentari kasus suap ini. Mereka juga tak menjelaskan asal-usul lahan dan pengurusan IMB yang bermasalah. Mereka beralasan menghormati proses hukum di KPK. “Kami siap bekerja sama dengan semua pihak terkait agar proses hukum dapat segera terselesaikan dengan baik,” tutur General Manager Corporate Communications PT Summarecon Agung Tbk Cut Meutia.
•••
LAHAN strategis di Kemetiran Lor, Yogyakarta, sudah lama menjadi incaran makelar. Mantan Ketua Rukun Warga 13 Kemetiran Lor, Andreas Agung Budi, mengatakan Dandan Jaya Kartika bersama Direktur PT Surya Utama Kalaka, Muhammad Suryo, sudah mendatangi warga sekitar sejak 2013. “Waktu itu kami tahunya PT Surya Utama mau bangun proyek,” ujarnya.
Suryo dikenal sebagai pengusaha tambang pasir lewat PT Surya Karya Setiabudi. Izin usaha pertambangan perusahaan ini sempat bermasalah dan diduga menambang pasir secara ilegal di Sungai Bebeng, Magelang, Jawa Tengah, pada 2016.
Dalam laporan majalah Tempo edisi 18 April 2020, tambang pasir ilegal itu turut menyeret Inspektur Jenderal Karyoto yang kini menjabat Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mantan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta itu dikatakan pernah memarahi Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak karena menerbitkan surat teguran sekaligus meminta PT Surya Karya menghentikan penambangan pada 2017. Karyoto tak merespons permintaan wawancara Tempo ihwal kedekatannya dengan Suryo hingga Sabtu, 18 Juni lalu.
Untuk rencana proyek apartemen di Kemetiran Lor, Suryo menggandeng Dandan. Rencananya, lahan seluas 636 meter persegi tersebut akan dibangun kondotel 11 lantai dengan ketinggian 32 meter. Keduanya gencar mendatangi penduduk meski belum mengantongi izin dari Pemerintah Kota Yogyakarta.
Awalnya tanah tersebut adalah pemberian Sultan Yogyakarta kepada pejabat administrasi setingkat camat. Kawasan cagar budaya itu kemudian dijual kepada Suryo pada 2013.
Sebagian lahan menampung rumah-rumah loji atau rumah tinggal yang memiliki bentuk arsitektur kolonial. “Kami robohkan bangunan lalu menjual tanahnya kepada Suryo,” kata salah satu anak dari pemilik lahan itu. Ia enggan menyebutkan nilai jual lahan kepada Suryo.
Pada 2013, kongsi bisnis Suryo mengumpulkan uang untuk membeli empat bidang lahan lain di Kemetiran Lor sehingga total luasnya menjadi 6.051 meter persegi. Kemudian tanah tersebut dijual kepada PT Summarecon untuk dibangun apartemen.
Pada 2015, penduduk mendengar pengelolaan lahan tersebut beralih ke PT Summarecon lewat PT Java Orient Property. Tanah menjadi tak terurus. Sebelum dipagari seng, lahan kosong itu dipenuhi semak-belukar dan menjadi sarang ular. Sebagian bidang lahan bahkan menjadi tempat penampungan sampah.
Seorang pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta menceritakan Dandan merupakan kaki tangan Haryadi Suyuti dalam berbagai proses perizinan bangunan. Selain Royal Kedhaton, jejaknya terendus dalam pengurusan izin restoran, hotel, dan apartemen lain.
Tarif “pengurusan” IMB bervariasi. Untuk pengusaha skala kecil, merekadiduga diminta menyetor Rp 200 juta. Jika ingin mengurus izin pembangunan hotel berskala besar, setidaknya mereka diminta menyediakan uang Rp 2 miliar. Sebagian uang diduga mengalir ke kantong Wali Kota Haryadi.
Pemerintah Kota Yogyakarta sebenarnya mensyaratkan penerbitan IMB harus melewati verifikasi tim ahli cagar budaya yang berada di Dinas Kebudayaan pada 2011. Selama bertugas, tim ini hanya meloloskan izin untuk lima hotel pada 2012. Pada tahun itu, ada 182 berkas permohonan IMB yang masuk ke meja tim cagar budaya.
Wali Kota Haryadi kemudian mempereteli kewenangan tim cagar budaya. Rekomendasi IMB dikeluarkan langsung oleh Kepala Dinas Kebudayaan.
Pejabat tersebut menceritakan Haryadi menggunakan Dandan dan kaki tangan lain sebagai perantara pengurusan izin. Mereka juga menjadi tim khusus untuk memudahkan pengurusan IMB dan menjadi jembatan wali kota dengan kepala dinas dan pengusaha.
Setelah kasus ini mencuat, Pemerintah Kota Yogyakarta langsung mengevaluasi berbagai izin yang sudah diterbitkan dan tengah diproses. Sejak dilantik menjadi wali kota pada 2011 hingga di akhir masa jabatannya, Haryadi diduga memperjualbelikan hampir semua perizinan pembangunan hotel di Yogyakarta.
Pada April lalu, misalnya, dia menerima Rp 200 juta dari salah satu utusan pemilik hotel di pusat Malioboro yang sedang mengurus perizinan. Sebulan kemudian, ia juga menerima uang dengan jumlah yang sama dari pemilik hotel lain yang lahannya tak jauh dari milik PT Java Orient Property.
Tempo mendatangi kantor Suryo dan Dandan untuk meminta konfirmasi mengenai berbagai tuduhan ini. PT Java Orient Property tercatat beralamat di Karangwaru, Tegalrejo, Yogyakarta. Mona, salah satu pegawai, mengatakan Dandan sudah lama tidak ke sana. “Ya, benar kantor PT Java Orient Property di sini. Tapi Pak Dandan sudah lama tidak ke sini sejak Lebaran,” kata Mona.
Suryo juga tidak terlihat di kantornya, PT Surya Mataram Sakti, di Caturtunggal, Depok, Sleman. Suryo menuliskan alamat tersebut saat sosialisasi rencana pembangunan kondotel dengan bendera PT Surya Utama Kalaka yang berubah menjadi apartemen Royal Kedhaton. Vika, karyawan Suryo, mengatakan bosnya juga jarang datang. “Pak Suryo lebih banyak di Surabaya dan Jakarta,” tutur Vika.
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan penyidik akan memanggil siapa pun yang terkait sebagai saksi dalam proses penyidikan perkara tersebut, termasuk Dandan dan Suryo.
Namun hingga kini dua orang tersebut tak pernah dijadwalkan untuk menghadiri pemeriksaan untuk melengkapi dakwaan kepada Haryadi Suyuti. Penyidik KPK dikabarkan akan menjerat Dandan sebagai tersangka. “Jika ada keterlibatan pihak lain, kemudian ada bukti-bukti yang ditemukan, kami pastikan akan dikembangkan lebih lanjut,” ujar Ali.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), ROSSENO AJI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo