Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan masyarakat mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menunda rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan pada bulan ini. Susunan aturan yang dirancang dinilai belum menjawab masalah agraria. "Jika disahkan justru berpotensi menambah konflik," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, di Jakarta, Selasa 3 September 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi mengatakan, RUU Pertanahan seharusnya memberi solusi bagi krisis agraria saat ini seperti ketimpangan kepemilikan lahan, konflik agraria, hingga kerusakan ekologis yang kian meluas. Namun merujuk pada naskah RUU yang dibuat hingga pada 1 September lalu, dia tak menemukan jawaban atas masalah yang ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya nampak dari kebijakan terkait Hak Guna Usaha (HGU). Dewi mengatakan pemodal skala besar mendapatkan prioritas penguasaan lahan lantaran boleh menguasai HGU hingga maksimal 90 tahun. Perusahaan dapat mengajukan HGU selama 35 tahun lalu diperpanjang 35 tahun dan diberi hak perpanjangan kembali selama 20 tahun. Dalam aturan yang berlaku saat ini, HGU diberikan selama 35 tahun dan hanya dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.
Selain itu, Dewi mencatat RUU ini memberikan pemutihan bagi pelanggaran penguasaan tanah yang melebihi HGU serta penguasaan atas tanah tanpa HGU. "Bukannya menarik HGU atau menindak pelanggaran, pemerintah justru memberi impunitas atau pemutihan dengan pajak progresif," katanya.
Dewi menyatakan kebijakan tersebut berpotensi memperbesar ketimpangan kepemilikan lahan. Saat ini rasio penguasaan tanah berada di sekitar angka 0,58. Artinya, satu persen penduduk menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang.
Ketimpangan penguasaan lahan, menurut Dewi, merupakan salah satu pemicu konflik agraria. KPA mencatat luas lahan konflik agraria mencapai 807 ribu hektare pada 2018. Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria mencatat mendapat laporan konflik agraria sebanyak 666 kasus dengan luas lahan konflik mencapai 1,45 juta hektare sejak dibentuk pada 2017 hingga Juni 2019 lalu.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, juga menyatakan pengesahan RUU Pertanahan perlu ditunda. Salah satu yang dia soroti terkait ketentuan luas penguasaan lahan yang dibatasi berdasarkan skala ekonomi. "Siapa nanti yang bisa menentukan skala ekonomi? Jika terlalu fleksibel, aturan ini bisa dimanupulasi," ujarnya.
Penasehat Majelis Hukum PP Muhammadiyah, Muchtar Luthfi, mengatakan pemerintah seperti hendak menghidupkan kembali konsep domein verklaring yang digagas pemerintah Belanda untuk merampas tanah masyarakat. "Tanah yang tak bisa dibuktikan kepemilikannya akan otomatis menjadi milik negara," ujarnya. Kebijakan ini akan merugikan masyarakat adat yang hingga saat ini kesulitan mendapat pengakuan dari negara.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Riza Patria, menyatakan DPR akan mengakomodir kritik terhadap RUU Pertanahan sebelum mengesahkannya. Rencananya masukan dan saran akan kembali dibahas dalam rapat panitia kerja. Selain itu, DPR juga masih menunggu pemerintah satu suara mengenai bank tanah.
Jika tak ada halangan, naskah akan dibahas di rapat paripurna pada 24 September nanti. "Pemerintah ada keinginan untuk mengesahkan RUU di periode DPR yang sekarang, tapi nanti kami lihat hasil rapat," katanya.
Pemerintah menyatakan pengesahan RUU Pertanahan kemungkinan akan tetap dilakukan pada September ini. Pasalnya pembahasan aturan sudah hampir rampung dan sejumlah kementerian yang terlibat telah sepakat mengenai isi beleid. Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil sebelumnya menargetkan pengesahan akan dilakukan pada akhir September mendatang. "Sejauh ini kami masih sesuai jadwal," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kementerian ATR, Horison Mocodompis.