Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog Samanta Elsener menjelaskan fenomena doom spending yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini merupakan bagian dari kebiasaan belanja impulsif atau impulsive buying. Perilaku impulsif sering terjadi pada orang yang mengalami stres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kondisi ekonomi dan tuntutan beban kerja dapat memicu orang menjadi stres. Kemudian, stres yang tidak ditangani dengan cara yang sehat akan membuat seseorang rentan mengalami impulsive buying,” kata Samanta ketika dihubungi pada Senin, 30 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Samanta, ketika seseorang sedang mengalami tekanan atau stress, ia seringkali akan kehilangan kontrol diri atau impulsnya. Ketika kontrol tersebut hilang, orang akan sulit untuk menahan dirinya dari keinginan berbelanja yang dapat memberikan kebahagiaan sesaat pada dirinya.
“Ingin merasakan kenaikan rasa senang dengan cepat atau instant dopamine booster,” ucapnya.
Hal ini, menurut Samanta, cukup berbahaya. Kebahagiaan yang dirasakan lewat belanja impulsif tersebut hanya akan bertahan sebentar sekali. Ketika kegiatan berbelanja selesai dan orang tersebut harus kembali bekerja, maka perasaan stres tersebut akan muncul lagi.
Perilaku ini, Samanta menjelaskan, akan berpotensi membuat kondisi keuangan personal orang tersebut akan terganggu ke depannya. Khususnya, bagi Generasi Z (Gen Z) yang biasanya masih di fase bebas tanpa adanya tanggungan ekonomi sehingga jarang berpikir ke depan.
“Sedang berada di usia yang sangat produktif dan bebas tanpa tanggungan, sehingga rentan sekali untuk terbawa tren FOMO (Fear of Missing Out). Apalagi didukung dengan kondisi stres atau beban kerja yang banyak,” ujar Samanta.
Seperti diberitakan sebelumnya, generasi Z (kelahiran 1997-2012) dan milenial (kelahiran 1981-1996) diprediksi akan terjebak dalam fenomena yang disebut sebagai doom spending. Tren yang sedang terjadi di kalangan anak muda tersebut diperkirakan menjadi pemicu masalah ekonomi dan keuangan.
Melansir Psychology Today, pengelola survei daring, Qualtrics dan anak usaha pelacak kredit Intuit, Credit Karma, melaporkan hasil studi yang menyebutkan bahwa sebanyak 27 persen anak muda Amerika Serikat melakukan doom spending. Tak hanya itu, 32 persen responden telah mengambil lebih banyak utang dalam enam bulan terakhir per akhir 2023.
Menurut firma kurator kepailitan, Allan Marshall & Associates Inc., doom spending adalah tindakan mengeluarkan uang secara impulsif atau berlebihan ketika seseorang sedang stres atau cemas. Pengeluaran yang sia-sia tersebut sering kali menjadi salah satu langkah yang diambil selama masa ekonomi sulit, seperti krisis global, masalah pribadi, atau memandang masa depan yang tidak pasti.
Melynda Dwi Puspita berkontribusi dalam penulisan artikel ini